Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

QRIS dan GPN Diambilalih Trump Wajib Kita Pertahankan

April 23, 2025 Last Updated 2025-04-23T06:28:08Z


Pada suatu pagi yang cerah di Nusantara, seorang ibu sedang membeli sayur di pasar. Dengan bangga, ia menempelkan ponselnya ke papan kode QR bertuliskan "QRIS Bangkit untuk Negeri". Dalam satu detik, transaksi terjadi, dompet digitalnya terpotong Rp12.500, dan ia melenggang sambil bersenandung lagu "Indonesia Raya." Namun, jauh di seberang lautan, terdengar suara geram dari Gedung Putih. "Mengapa bukan PayPal? Mengapa bukan Stripe? Mengapa bukan Visa?" pekik seorang pejabat Amerika sambil menggigit pena seperti tokoh antagonis sinetron.


Ya, inilah pangkal petaka: QRIS dan GPN. Dua singkatan yang tampaknya sepele, tapi ternyata cukup untuk membuat jantung ekonomi global berdetak tak teratur seperti lagu dangdut koplo dalam versi techno. Amerika Serikat, negeri dengan defisit dagang sebesar USD 775,6 miliar pada 2023, tiba-tiba merasa terancam oleh QR code buatan negeri +62. Mengapa? Karena ternyata kedaulatan negara adidaya bisa terpatahkan hanya dengan kamera ponsel dan koneksi 4G.


QRIS: Kode yang Membuat Paman Sam Meriang


Diluncurkan sejak 2019, QRIS kini telah digunakan oleh lebih dari 30 juta merchant di Indonesia. Volume transaksinya? Tembus Rp28 triliun per Maret 2025. Cukup untuk membiayai pengaspalan ulang jalan dari Sabang sampai Merauke, plus bonus pembangunan tugu QRIS setinggi Monas. GPN pun tak kalah mematikan---setelah diberlakukan, transaksi kartu domestik meningkat pesat, dan biaya yang biasa "terdampar" ke luar negeri kini berputar dalam negeri seperti ayam kampung yang tidak pernah migrasi.


Namun, AS melihat ini sebagai ancaman serius. Bukannya fokus pada inflasi mereka yang naik 3,4% atau harga telur yang mencapai USD 4 per lusin, mereka malah fokus pada satu hal: kenapa QR di Indonesia tidak mencetak dolar?


GPN: Gerbang Menuju Pengasingan Globalisasi


Bayangkan ini: sebuah sistem pembayaran yang tak memerlukan jaringan Visa-Mastercard, tak memotong biaya transaksi dalam USD, dan tak perlu memohon restu dari Silicon Valley. Ini jelas merupakan kudeta terhadap demokrasi kapitalis. Dan yang lebih tragis---Indonesia melakukannya sambil mengenakan batik, bukan jas Armani.


Menurut data Bank Indonesia, penggunaan GPN telah menghemat biaya transaksi lintas jaringan hingga Rp1,2 triliun per tahun. Itu berarti sekitar 4,8 juta porsi nasi padang (asumsi rendang Rp25.000/porsi)---atau setara dengan jumlah rendang yang cukup untuk menyogok seluruh Dewan Keamanan PBB agar tidak protes terhadap monopoli cabai oleh emak-emak.


Negosiasi Dagang: Drama Korea ala WTO


Ketika AS menyampaikan nota protes, Indonesia merespons dengan gaya ala sinetron jam 7: "Kami paham kekhawatiranmu, tapi ini demi anak cucu kami, demi merah putih kami!" Pemerintah kemudian menawarkan solusi damai: negosiasi selama 60 hari, atau setara dengan 8 siklus penukaran Shopee Coins. Namun, beberapa pejabat AS tetap berkeras bahwa "QRIS merusak kompetisi." Padahal kompetisi yang dimaksud barangkali adalah kompetisi siapa paling dulu men-charge biaya admin.


Prabowo, sang presiden yang konon nasionalis dan patriot, menatap tajam ke kamera (mungkin untuk vlog). "Kita bukan anti asing," katanya sambil menyeruput kopi. "Tapi kita cinta negeri ini. Kalau bayar gorengan pakai QR buatan sendiri dianggap pelanggaran WTO, mungkin kita perlu ubah logo Garuda jadi kode QR."


Kedaulatan dalam Genggaman


Lucunya, sementara AS meradang soal QRIS, rakyat Indonesia sedang sibuk scan barcode untuk beli boba, bukan senjata. Dan justru lewat QRIS, Indonesia belajar: bahwa kedaulatan bukan cuma soal mengusir penjajah, tapi juga mengusir biaya admin USD 1.50 per transaksi yang diam-diam menggrogoti devisa.


Menurut laporan dari Kemenkeu, sistem pembayaran domestik yang kuat berkontribusi pada peningkatan efisiensi fiskal sebesar 0,4% PDB. Dengan PDB Indonesia mencapai Rp21.000 triliun, itu berarti efisiensi sekitar Rp84 triliun---cukup untuk membangun 17 stasiun MRT atau membayar utang moral negara pada anak muda yang kehabisan kuota saat kuliah daring.


Penutup: QRIS untuk Dunia, atau Dunia untuk QRIS?


Maka, kita tiba pada pertanyaan filosofis: apakah bangsa merdeka boleh memilih cara bayarnya sendiri? Ataukah setiap transaksi harus dicek dulu oleh CIA? Jika QRIS dianggap senjata ekonomi, maka ibu-ibu pasar tradisional adalah kombatan tak bersenjata yang paling ditakuti Pentagon.


Indonesia tidak sedang menutup diri. Tapi juga tidak akan menyerahkan ekonomi digitalnya demi kartu plastik berlogo luar negeri. Jika perlu, kita buat slogan baru: "Dengan QRIS kami berbelanja, dengan GPN kami berdaulat!"


Dan jika tekanan tarif semakin tinggi, jangan kaget bila nanti muncul gerakan bawah tanah: "Kode QRIS Bukan Kudeta, Tapi Cinta!"---dilengkapi mars, bendera, dan mungkin... QRIS di kaus kaki.


Kalau kamu mau versi teatrikalnya buat dipentaskan di panggung rakyat, tinggal bilang aja!

×