Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Lima kartu sakti China hadapi perang dagang dengan AS

April 25, 2025 Last Updated 2025-04-25T06:52:38Z

 


Perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia sedang berlangsung. Ekspor China ke AS dikenakan tarif sampai 245%, dan Beijing sudah membalas dengan tarif masuk 125% untuk produk impor dari Amerika.


Konsumen, bisnis, dan pasar bersiap-siap menghadapi ketidakpastian lebih panjang di tengah ancaman resesi global yang semakin nyata.


Presiden China Xi Jinping berkali-kali bilang bahwa pemerintahannya terbuka buat berdialog. Tapi dia juga memberi peringatan bahwa, jika diperlukan, mereka bakal "berjuang sampai titik darah penghabisan."


Berikut ini adalah 'senjata' Beijing buat melawan tarif yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump.


China mampu hadapi risiko, sampai titik tertentu


China adalah kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Ini berarti mereka dapat meredam dampak tarif lebih baik daripada negara-negara kecil lainnya.


Dengan lebih dari satu miliar populasi, China juga memiliki pasar domestik yang besar yang dapat menetralisir sebagian tekanan dari eksportir yang babak belur akibat tarif.


Beijing masih belum menemukan jawaban kenapa orang China tidak banyak berbelanja.


Namun dengan berbagai insentif, mulai dari subsidi untuk peralatan rumah tangga hingga "kereta perak" untuk pensiunan yang gemar wisata, itu bisa berubah.


Tarif Trump bahkan memberi dorongan kuat kepada Partai Komunis China untuk membuka potensi konsumen negara itu.


Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.


Elite partai mungkin "lebih dari siap untuk menanggung rasa sakit daripada menyerah pada yang mereka yakini sebagai agresi AS," menurut Mary Lovely, pakar perdagangan AS-China di Peterson Institute di Washington D.C., kepada BBC Newshour awal bulan ini.


Sebagai negara otoriter, China juga memiliki toleransi sakit yang lebih tinggi. Negara juga tidak terlalu pusing dengan opini publik yang cuma sesaat.


Lagi pula, dalam waktu dekat tidak ada juga pemilu untuk menentukan para pemimpinnya. Tapi tetap saja, keresahan massal bisa jadi kekhawatiran, karena di China merebak ketidakpuasan atas krisis perumahan yang masih berlangsung dan pekerjaan yang semakin sulit.


Ketidakpastian ekonomi akibat tarif juga menjadi pukulan lainnya bagi anak-anak muda China—yang hanya mengenal China sebagai negara yang tengah meroket.


Partai Komunis China juga mendapatkan simpati nasional untuk membalas tarif balasan, yang diikuti seruan media pemerintah agar rakyat "menghadapi badai bersama-sama."


Presiden Xi Jinping mungkin cemas, tetapi sejauh ini, Beijing telah memberikan sinyal menantang dan percaya diri. Seorang pejabat meyakinkan seluruh negeri bahwa: "Langit tidak akan runtuh."


China telah berinvestasi untuk masa depan


Meski sudah punya reputasi sebagai pabrik seluruh dunia—China tetap menggelontorkan duit miliaran untuk menjadi pabrik yang jauh lebih maju.


Di bawah Xi, China bersaing dengan AS untuk mendominasi teknologi.


China sudah berinvestasi besar-besaran pada perusahaan teknologi lokal, mulai dari energi terbarukan, chip, hingga kecerdasan buatan alias AI.


Misalnya chatbot DeepSeek, yang diklaim sebagai saingan tangguh ChatGPT, dan BYD, yang tahun lalu mengalahkan Tesla dan menjadi pembuat kendaraan listrik (EV) terbesar di dunia.


Apple juga telah kehilangan pangsa pasar berharganya pada pesaing lokal seperti Huawei dan Vivo.


Baru-baru ini Beijing mengumumkan rencana untuk menghabiskan lebih dari US$1 triliun dalam satu dekade berikutnya untuk mendukung inovasi dalam AI.


Perusahaan-perusahaan AS telah mencoba memindahkan rantai pasokan mereka dari China, tetapi mereka kesulitan untuk menemukan skala infrastruktur dan tenaga kerja terampil di tempat lain.


Produsen-produsen China di setiap tahap rantai pasokan telah memberi negara itu keuntungan selama beberapa dekade dan akan makan waktu lama untuk disaingi.


Rantai pasokan yang tak tertandingi dan dukungan pemerintah telah membuat China menjadi musuh yang tangguh dalam perang dagang ini—dalam beberapa hal, Beijing sudah siap-siap sejak masa jabatan Trump sebelumnya.


Pelajaran untuk pemula dari Trump


Sejak tarif Trump menghantam panel surya China pada 2018, Beijing mempercepat rencananya untuk masa depan di luar tata dunia yang dipimpin AS.


China menggelontorkan miliaran dolar ke dalam program perdagangan dan infrastruktur yang kontroversial, yang lebih dikenal sebagai inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) untuk menopang hubungan dengan negara-negara berkembang di belahan selatan.


Perluasan perdagangan dengan Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika terjadi ketika China mencoba untuk melepaskan diri dari AS.


Sebelumnya, petani Amerika memasok 40% dari impor kedelai China—angka itu sekarang berkisar di 20%.


Setelah perang dagang terakhir, Beijing meningkatkan budi daya kedelai di dalam negeri dan memecahkan rekor dalam pembelian dari Brasil yang sekarang menjadi pemasok kedelai terbesarnya.


"Taktiknya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui."


"Langkah ini tidak cuma menghilangkan pasar tetap para petani Amerika, tapi juga memperkuat ketahanan pangan China," kata Marina Yue Zhang, profesor di Australia-China Relations Institute, University of Technology Sydney.


AS bukan lagi pasar ekspor terbesar China: posisi itu sekarang milik Asia Tenggara.


Faktanya, China adalah mitra dagang terbesar untuk 60 negara pada tahun 2023—hampir dua kali lebih banyak daripada AS.


China menjadi eksportir terbesar di dunia dan mencatat rekor surplus perdagangan sebesar US$1 triliun pada akhir 2024.


AS, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia, tetap menjadi mitra dagang penting bagi China.Tapi itu tidak berarti akan mudah bagi Washington untuk membuat China terpojok.


Menyusul laporan bahwa Gedung Putih akan menggunakan negosiasi perdagangan bilateral untuk mengisolasi China, Beijing telah memperingatkan negara-negara lain agar tidak "mencapai kesepakatan dengan mengorbankan kepentingan China".


Dan ini akan jadi pilihan tak masuk akal bagi sebagian besar negara-negara di dunia.


"Kami tidak bisa memilih, dan kami tidak akan pernah memilih [antara China dan AS]," kata Menteri Perdagangan Malaysia Tengku Zafrul Aziz kepada BBC pekan lalu.


Sekarang China tahu kapan Trump akan lengah


Trump kukuh bertahan dengan keputusannya saat harga-harga saham rontok menyusul pengumuman tarifnya pada awal April dan mengibaratkan kenaikan tarif gila-gilaan ini sebagai "pil pahit."


Tetapi dia segera banting stir, memberi jeda kenaikan tarif selama 90 hari setelah aksi jual besar-besaran obligasi pemerintah AS.


Dikenal juga dengan istilah "treasuries", obligasi ini sejak lama dianggap sebagai investasi yang aman. Tetapi perang dagang telah mengguncang kepercayaan pada aset tersebut.


Sejak itu, Trump memberi isyarat untuk menurunkan tensi ketegangan perdagangan dengan China, dengan mengatakan bahwa tarif barang-barang China akan "turun secara signifikan, tetapi tidak akan menjadi nol."


Dengan begitu, para pengamat menyebut Beijing sekarang tahu bahwa pasar obligasi dapat menggoyahkan Trump.


China juga memegang obligasi pemerintah AS sebesar US$ 700 miliar.


Jepang, sekutu setia Amerika, adalah satu-satunya pemegang non-AS yang memiliki jumlah lebih dari itu.


Beberapa pengamat berpendapat bahwa ini memberi Beijing keuntungan: media China secara teratur mewacanakan gagasan untuk menjual atau menahan pembelian obligasi AS sebagai "senjata".


Tetapi para ahli memperingatkan bahwa China bukannya tidak menghadapi konsekuensi dari situasi ini.


Langkah itu, sebaliknya, akan menyebabkan kerugian besar bagi investasi Beijing di pasar obligasi dan mengacaukan mata uang yuan China.


China hanya akan dapat memberikan tekanan dengan obligasi pemerintah AS "hanya sampai titik tertentu", kata Dr Zhang.


"China memegang alat tawar-menawar, bukan senjata keuangan."


Kendali atas mineral langka


Apa yang dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh China adalah monopoli nyaris sempurna dalam hal ekstraksi dan pemurnian mineral-mineral langka yang dibutuhkan untuk manufaktur teknologi canggih.


China memiliki deposit besar dysprosium, yang digunakan dalam magnet pada kendaraan listrik dan turbin angin, dan Yttrium, yang menyediakan lapisan tahan panas untuk mesin jet.


Beijing telah menanggapi tarif terbaru Trump dengan membatasi ekspor tujuh mineral langka, termasuk beberapa komponen dasar untuk membuat chip AI.


China menyumbang sekitar 61% dari produksi mineral langka dan 92% dari pemurnian mineral langka, menurut perkiraan Badan Energi Internasional (IEA).


Australia, Jepang, dan Vietnam sudah mulai menambang mineral langka, tapi butuh waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya mereka bisa memutus rantai pasokan dari China.


Pada 2024, China melarang ekspor mineral kritis lainnya, antimon, yang sangat penting untuk berbagai proses manufaktur. Harganya meningkat lebih dari dua kali lipat di tengah gelombang pembelian panik dan pencarian pemasok alternatif.


Kekhawatirannya adalah hal yang sama bisa terjadi pada pasar mineral langka, yang akan sangat mengganggu berbagai industri mulai dari kendaraan listrik hingga pertahanan.


"Semua yang dapat Anda aktifkan atau matikan kemungkinan menggunakan mineral langka ini," kata Thomas Kruemmer, direktur Ginger International Trade and Investment kepada BBC.


"Dampaknya pada industri pertahanan AS akan sangat besar."

×