California, negara bagian Amerika Serikat, kini resmi menyalip Jepang sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia.
Gubernur California Gavin Newsom mengumumkan pencapaian itu sambil mengingatkan risiko yang bisa timbul dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump.
Data awal dari Biro Analisis Ekonomi Amerika Serikat (AS) mencatat, produk domestik bruto (PDB) nominal California mencapai 4,1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 66.000 triliun pada 2024.
Angka itu melampaui PDB Jepang yang tercatat sebesar 4,02 triliun dollar AS (sekitar Rp 64.700 triliun) pada periode yang sama menurut Dana Moneter Internasional (IMF).
Dengan pencapaian ini, California hanya berada di bawah Amerika Serikat, China, dan Jerman dalam daftar ekonomi terbesar dunia. Pertumbuhan ekonomi negara bagian tersebut tercatat mencapai 6 persen pada 2024.
“California tidak hanya mampu mengikuti dunia — kami justru yang menetapkan kecepatannya,” kata Newsom dalam keterangan tertulis, Rabu (23/4/2025), seperti dilansir Antara.
“Ekonomi kami tumbuh pesat karena kami berinvestasi pada manusia, mengutamakan keberlanjutan, dan percaya pada kekuatan inovasi,” sambungnya.
Meski begitu, Newsom menegaskan pertumbuhan itu sedang terancam. Ia menyebut kebijakan tarif yang diterapkan pemerintahan Trump sebagai bahaya serius bagi ekonomi California.
“Ekonomi California adalah penggerak utama ekonomi nasional. Dan itu harus dijaga,” tegasnya.
Sebagai negara bagian dengan populasi terbesar di AS—sekitar 40 juta jiwa—California menyumbang sekitar 14 persen dari total PDB nasional tahun lalu.
Kontribusi terbesar datang dari sektor teknologi di Silicon Valley, serta sektor properti dan keuangan.
Newsom pun mengambil langkah hukum. Pekan lalu, ia menggugat pemerintahan Trump atas kebijakan tarif global yang diberlakukan secara sepihak lewat penggunaan wewenang darurat presiden.
Gugatan itu diajukan pada 16 April di pengadilan federal. Newsom menilai Trump tidak punya dasar hukum untuk mengenakan tarif terhadap negara seperti Meksiko, China, dan Kanada, maupun menerapkan tarif dasar 10 persen terhadap seluruh impor dunia.
Menurut Newsom, kebijakan tersebut “telah menimbulkan kerugian langsung dan tidak dapat diperbaiki bagi California, negara bagian dengan ekonomi, sektor manufaktur, dan pertanian terbesar di AS.”
Ia menyebut tarif tersebut menyebabkan gangguan rantai pasok, lonjakan biaya produksi, dan kerugian miliaran dollar AS bagi negara bagian itu.
Dalam dokumen gugatan, pemerintah California menyebut penerapan tarif berdasarkan Undang-Undang Kekuatan Darurat Ekonomi Internasional atau International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) sebagai tindakan "melanggar hukum dan belum pernah terjadi sebelumnya."
Tindakan sebesar itu, menurut mereka, seharusnya hanya bisa dilakukan dengan persetujuan Kongres.
Sebagai informasi, IEEPA adalah undang-undang federal yang disahkan pada 1977 dan memberikan kewenangan luas kepada Presiden AS untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara asing, mengatur ekspor dan impor, serta membekukan aset, bila ada deklarasi keadaan darurat nasional.
Namun, pelaksanaannya tetap mengharuskan presiden untuk berkonsultasi dan melapor kepada Kongres.
California tercatat melakukan perdagangan dua arah senilai hampir 675 miliar dollar AS (sekitar Rp 10.875 triliun) sepanjang 2024.
Meksiko, Kanada, dan China menjadi tiga mitra dagang terbesarnya. Lebih dari 40 persen impor California berasal dari ketiga negara tersebut.
Total nilai impor dari mereka mencapai 203 miliar dollar AS (sekitar Rp 3.270 triliun), dari total impor California yang mencapai lebih dari 491 miliar dollar AS (sekitar Rp 7.905 triliun) pada tahun lalu.
Tak hanya California, sebanyak 12 negara bagian lain di AS juga mengajukan gugatan pada Rabu.
Mereka menyebut tarif yang dikenakan Trump sebagai tindakan menaikkan pajak secara ilegal kepada warga Amerika. Pemerintahan Trump membalas dengan menyebut gugatan itu sebagai “perburuan penyihir.”