Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terus menuai perhatian.
Pendiri Lokataru, Haris Azhar menekankan persoalan ini bukan sekadar kasus individu, melainkan bagian dari sistem yang telah berlangsung lama dan melibatkan berbagai pihak.
"Saya berharap yang ditangkap-tangkap ini yang menjadi whistleblower-nya atau justice collaborator," kata Haris, dalam Program Industrial Summit KompasTV, Rabu (26/2/2025).
Ia menegaskan, sistem yang memungkinkan praktik korupsi ini berjalan sudah terstruktur dan memiliki keterkaitan yang kuat.
"Ini bukan kasus yang baru. Ini sistem lho. Ini sistem yang panjang, interlock satu dengan yang lainnya. Semua ada PDF-nya, artinya ada buktinya, semua bisa dibuktikan," ujarnya.
Peran Pengawas dan Dugaan Keterlibatan Kementerian
Haris juga mempertanyakan peran pengawas dalam kasus ini. Menurutnya, meskipun ada berbagai lembaga pengawasan, praktik korupsi tetap terjadi secara terbuka.
"Tapi kenapa ini bisa terjadi di luar persekongkolan-persekongkolan di ruang yang tertutup? Karena ternyata ada banyak pengawasnya," tuturnya.
Lebih jauh, ia menyoroti fokus utama dalam kasus ini bukan hanya soal dugaan pengoplosan bahan bakar atau dampaknya bagi konsumen, tetapi lebih kepada bagaimana Pertamina digunakan untuk menguntungkan segelintir pihak.
"Saya mau bilang, fokus aja ke Pertamina itu bukan ngoplosnya, bukan yang merugikan konsumennya. Tapi bagaimana Pertamina ini dipakai untuk menguntungkan hanya segelintir orang," tegasnya.
Ia juga menyinggung peran Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam pengadaan impor minyak.
Menurutnya, kedua kementerian tersebut harus diperiksa dalam upaya mengungkap kasus ini secara menyeluruh.
"Saya mau mempertegas lagi. Ini pengadaan impornya itu bukan Pertamina, Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM. Itu kan harus diperiksa kalau kita mau bongkar ini. Dua kementerian ini kemana aja? Mana suratnya?," katanya.
Dalam konteks penegakan hukum, Haris menilai, upaya pengungkapan kasus ini harus lebih dalam.
Ia mengingatkan, tanpa pengusutan menyeluruh, penyelesaian kasus hanya akan sebatas pergantian aktor tanpa perubahan sistemik.
"Jadi menurut saya, kita fokus dari sisi penegakan hukum ini membongkar. Karena kalau tidak, tadi, ujung-ujungnya kan cuma ganti pemain, bahkan enggak ganti pemain. Yang menarik, bukan hanya ganti pemain, tapi aliran ini siapa aja yang dapat?" ujar Haris.
Seperti yang diketahui, industri minyak Indonesia tengah mendapatkan sorotan usai kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 yang merugikan negara Rp193,7 triliun.
Dalam kasus tersebut, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka.
Mereka adalah Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Kemudian AP selaku VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Ditambah dua tersangka baru yang diumumkan pada Rabu (26/2/2025) malam yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga.
Tim penyidik telah menahan para tersangka untuk 20 (dua puluh) hari ke depan.
Sebelumnya penyidik juga telah melakukan penggeledahan di kediaman pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid dan PT Orbit Terminal Merak (OTM) di Cilegon, Banten.
Perusahaan tersebut tercatat dimiliki tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) dan tersangka Gading Ramadhan Joedo (GRJ). Muhammad Kerry merupakan anak dari Riza Chalid.