Delapan pedagang buah srikaya tampak berjejer di terminal Alas pada Senin sore (3/3/2025).
Mereka menunggu pembeli dari sore hingga malam hari, memanfaatkan tingginya permintaan saat bulan Ramadhan.
Srikaya, yang dikenal sebagai "sakaya" dalam bahasa Sumbawa atau "nona" dengan nama latin Annona squamosa, berasal dari Kecamatan Utan, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Permintaan terhadap srikaya Utan meningkat seiring dengan musim panen yang berlangsung selama bulan suci ini.
"Permintaan srikaya Utan memang cukup tinggi, karena satu bulan ini lagi musim. Rasanya srikaya Utan beda dengan yang tumbuh di kecamatan lain seperti Moyo Hilir dan Rhee,” ujar Kamaria, salah seorang penjual saat ditemui.
Kamaria menambahkan bahwa srikaya Utan memiliki keunggulan dari segi rasa yang manis, legit, serta ukuran yang besar dan kulit yang lebih bersih tanpa bercak hitam.
"Bepergian ke Sumbawa ataupun bagi pendatang, buah srikaya ini sangat cocok untuk dibawa jadi buah tangan dan dijadikan takjil Ramadhan saat perjalanan," katanya.
Para pedagang srikaya sudah berjajar di pinggir jalan, memudahkan pembeli untuk mendapatkan buah manis ini.
“Banyak mobil atau motor yang berhenti untuk membeli buah ini, bisa dalam bentuk keranjang, atau juga eceran,” ujar Kamaria.
Ia mengungkapkan bahwa dalam sehari, ia bisa meraih keuntungan bersih antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000.
Srikaya yang dijualnya diperoleh dari petani dengan harga satu keranjang berkisar antara Rp 150.000 untuk ukuran besar dan Rp 100.000 untuk yang kecil.
"Sekarang ini musim buah, tetapi entah kenapa harganya naik, padahal saya membeli langsung pada petani. Akhirnya, saya juga menaikkan harga jual,” ungkapnya.
Harga srikaya di pasaran bervariasi. Satu keranjang besar berkisar Rp 170.000 hingga Rp 180.000, sementara untuk eceran, harga per buah berkisar Rp 1.500 hingga Rp 3.000, tergantung ukuran.
“Untuk anda yang akan bepergian agak jauh, sebaiknya cari yang setengah matang, namun kalau sudah siap dinikmati, bisa cari yang sudah benar-benar matang,” tambahnya.
Marni, pedagang srikaya lainnya, mengungkapkan tantangan dalam berjualan srikaya, yaitu buah ini mudah rusak dan harus dijual dengan cepat.
“Jika tidak segera dijual atau dibeli konsumen, buah gampang hancur,” katanya.
Meski begitu, Marni tidak kapok berjualan srikaya karena sering dicari pembeli, dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Srikaya, menurut Marni, termasuk buah langka karena hanya berbuah setahun sekali, dengan masa panen yang singkat sekitar satu bulan.
“Antara Januari sampai Februari lah puncaknya,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa harga beli srikaya dari petani tidak ada standar khusus, dan ia sendiri yang menentukan harga.
Pohon srikaya tumbuh tanpa perawatan khusus, bahkan bisa dikatakan sebagai pohon liar.
"Mereka (petani) enggak akan menolak," kata Marni, menjelaskan bahwa petani tidak menganggap srikaya sebagai komoditas utama.
Kebanyakan pohon srikaya tumbuh jauh dari pemukiman, dan jika ditanam dekat rumah, kualitasnya cenderung menurun.
Marni menjelaskan bahwa gesekan atau benturan pada buah srikaya dapat menyebabkan kulitnya menghitam saat matang.
“Jadi harus diambil dan ditata satu-satu, enggak boleh langsung ditumpahkan gitu aja,” ceritanya.
Untuk menjaga kualitas, ia mengemas srikaya dalam peti yang dilapisi daun jati, yang membantu proses pematangan buah.
Sementara itu, salah seorang pembeli bernama Cepy (24) mengaku sengaja menjadikan srikaya sebagai takjil karena rasanya yang manis dan musiman.
“Iya, suka makan srikaya sebagai takjil. Sebab jika bukan musim srikaya, sulit untuk mendapatkan buahnya,” tutupnya.