Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kisah Sukses Kampung Samiler Pacu Ekonomi Lokal Berdaya Saing

Februari 13, 2025 Last Updated 2025-02-13T07:05:01Z

 


Dua perempuan duduk pada amben bambu yang terpajang di emperan sebuah rumah sederhana. Mereka tengah memungut kerupuk yang telah dikeringkan dalam sebuah alat pengering bambu. Kerupuk itu kemudian mereka masukkan dalam sebuah tampah bundar yang juga dari bambu.


Pintu rumah itu dibuka lebar-lebar. Di dalamnya nampak beberapa perempuan sibuk bekerja. Mereka tengah mencetak kerupuk dari adonan yang telah dipadatkan. Kerupuk yang dicetak bulat itu mereka tempel dalam plastik yang panjang.


Seorang perempuan seketika keluar dari dalam pintu itu ketika beberapa dari mereka memanggilnya. Ia pun duduk di amben bambu lain di emperan rumah itu. Badan perempuan itu terlihat kecil yang ditutup oleh daster berwarna jingga. Sementara beberapa area rambutnya mulai memutih dan garis-garis pada wajahnya tampak mengkeriput. Hanya saja senyum selalu tergaris pada bibirnya. Dan semangat untuk bekerja masih tertanam dalam jiwanya.


Perempuan itu bernama Lilik Yulistianingsih. Ia adalah salah satu pemilik Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kerupuk samiler di Desa Kahyangan, Kecamatan Diwek, Jombang. Di pagi yang cerah, perempuan berusia 60 tahun itu banyak bercerita soal usahanya, dari awal perintisan hingga perkembangannya sekarang. Ia senang membagikan cerita itu karena dapat membantu dan kemudian menopang perekonomian keluarganya selama 20 tahun dari usaha berbahan dasar singkong itu.


“Alhamdulillah, dengan usaha kerupuk samiler ini, saya akhirnya dapat beli macam-macam, termasuk daster juga,” ungkap Lilik diiringi dengan tawa ketika diwawancarai oleh Kontributor Tirto pada Selasa (4/2/2025).


Bermula dari 5 kg


Lilik sebelumnya adalah seorang buruh di salah satu UMKM Kerupuk Samiler yang ada di dekat tempat tinggalnya. Pekerjaan itu ia lakoni pada sekitar tahun 2000-an awal. Selama bekerja di sana, ia bukan hanya memperoleh segepok kecil uang rupiah, melainkan juga pengetahuan untuk membuat Kerupuk Samiler yang enak dan bisa dinikmati banyak orang.


Namun, Lilik berhenti menjadi buruh karena UMKM itu mengalami kebangkrutan. Akhirnya berhenti pula sumber keuangan yang selama ini mengalir untuk membantu menghidupi keluarganya.


Mengingat gaji suaminya yang berprofesi menjadi guru tak begitu cukup menopang kehidupan keluarganya, perempuan yang memiliki empat anak ini akhirnya memberanikan diri untuk membuka usaha Keripik Samiler. Tekad itu ia lakukan pada 2005. Namun, sebelum itu, ia mengikuti pelatihan packaging yang diadakan oleh Muslimat NU Jombang selama seminggu penuh.


“Di sana, saya dilatih untuk membuat bagaimana produk yang kita jual dapat terlihat cantik,” katanya.


Ketika memulai usaha itu, ia hanya membuat 5 kg Kerupuk Samiler pada saat produksi awal karena modal yang dimiliki tak cukup untuk membuat lebih banyak. Ia pun melakukan berbagai hal sendiri seperti mengupas singkong, mengkukus, menumbuk, membuat adonan, mencetak kerupuk, dan juga menjemur Kerupuk Samiler yang basah. Setelah kering, ia akan menjual kerupuk itu dengan harga Rp 6.000 per kg.


Namun, nasibnya cukup mujur karena baru berada di tempat penjemuran, orang-orang sudah datang untuk memesan kerupuk buatannya. Melihat perkembangan usahanya yang cukup konsisten itu, pada 2007, ia pun kemudian mendaftarkan usahanya ke Dinas Kesehatan Jombang untuk memperoleh sertifikasi Produksi Usaha Rumah Tangga (PIRT). Supaya, para pelanggan percaya akan keamanan produknya dan jangkauan pasarnya juga luas.


“Saya juga menaikkan produksi keripik semilir menjadi 10 kg. Karena kian berkembang, kemudian 20 kg. Pada waktu ini, saya mencari teman untuk membantu usaha ini. Nah kemudian pada tahun 2015, alhamdulillah saya sudah membuat 80-90 kg setiap produksi. Pada tahun itu belum banyak usaha Kerupuk Samiler seperti sekarang ini,” ceritanya.


Bagi-Bagi Rezeki


Pemerintah Desa Kahyangan kemudian meminta Lilik untuk melatih warga agar tertarik dan turut berwirausaha Kerupuk Samiler, karena usaha kerupuk ini meneguk banyak keuntungan. Lilik pun menyanggupi permintaan itu.


Akhirnya, selama beberapa kali, ia menjadi salah satu narasumber dalam acara pelatihan usaha Kerupuk Samiler di Balai Desa Kahyangan. Rupanya banyak warga yang antusias dan tertarik untuk menjadi pelaku UMKM kerupuk ini.


“Mulai tahun 2018 itu sudah banyak yang membuka usaha Kerupuk Samiler di desa ini,” ingatnya.


Memang, sejak saat itu keuntungan yang ia peroleh mulai menurun. Namun, ia tak terlalu merasa sedih karena perekonomian tetangganya ikut terangkat dan khususnya, perekonomian di desanya juga ikut berkembang.


“Bisa disebut bagi-bagi rezekilah. Karena kita sama-sama orang kecil. Namun, akhirnya perekonomian di desa ini juga menjadi berkembang,” akunya.


Ia pun menambahkan, sikap saling jatuh-menjatuhkan tidak ada di antara pelaku UMKM Kerupuk Samiler di desa ini, kendati kini jumlahnya membludak.


“Di sini persaingannya sehat. Setiap orang punya pelanggannya sendiri. Seumpama nih, yang punya UMKM sedang nggak memproduksi tapi pelanggan mau mengambil, ia bakal menawarkan ke UMKM lainnya atas dasar persetujuan pelanggan,” jelasnya.


Untuk saat ini, pelanggan yang mengambil Kerupuk Samiler ada yang berasal dari Jombang, Mojokerto, Ngawi, Kediri, Surabaya, dan Bondowoso.


“Sementara ini yang paling banyak itu dari Mojokerto, sekitar 1-2 kwintal mereka ambil per 2 minggu. Kadang nggak sampai 2 minggu itu sudah mereka ambil lagi. Nah, karena banyak produksinya itu, makanya sekarang yang membantu saya bekerja ada 6. Mereka bekerja dari pukul 7 sampai 12,” terangnya.


Untuk keuntungan yang ia peroleh, ia menakarnya dari satuan produksi. Maksudnya, setiap produksi 50 kg, ada 500 buah kerupuk semilir yang dihasilkan. Per hitungan itu, uang yang ia peroleh adalah sekitar Rp200 ribu rupiah.


Peran Asosiasi Kampung Samiler


UMKM Kampung Semiler di Desa Kahyangan kian berkembang ke arah yang lebih apik dan tertata pegiatnya membentuk perkumpulan bernama Asosiasi Kampung Samiler. Mardiansyah Triraharjo yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Kampung Samiler menuturkan bahwa asosiasi ini awalnya bernama Pokmas (Kelompok Masyarakat) yang didirikan pada akhir 2019 untuk mengolah hasil pertanian dari hulu ke hilir.


“Jadi industri hulu hilir, dari mulai petani Singkong kemudian supplier singkong sampai dengan produsennya,” jelas Mardi saat diwawancarai oleh Kontributor Tirto pada Minggu (9/2/2025).


Perkumpulan ini dibentuk untuk merespons masifnya warga yang menjadi pelaku UMKM Kerupuk Samiler. Kendati demikian, anggota Pokmas hanya sekitar 10 orang yang semuanya masih memiliki hubungan dekat, entah teman, saudara, atau tetangga.


“Jadi waktu itu kita memang enggak menggandeng secara terbuka karena khawatir pelaku UMKM lain kurang berminat. Akhirnya, pelaku UMKM yang diajak bergabung itu berdasar dari relasi terdekat. Maksudnya relasi terdekat itu ya mungkin ada unsur saudara, unsur tetangga atau mungkin unsur teman,” akunya.


Namun, kekhawatiran itu terpatahkan ketika banyak pelaku UMKM Kerupuk Samiler yang ingin bergabung dengan Pokmas. Ini terjadi karena Pokmas mulai merambah pada usaha peningkatan kompetensi UMKM Kerupuk Samiler melalui pelatihan peningkatan mutu produk, pelatihan digital marketing, pelatihan packaging, kemudian fasilitas desain kemasan, fasilitas perizinan usaha dan lain sebagainya.


Karena banyak dari pelaku UMKM Kerupuk Samiler yang bergabung, Pokmas kemudian berubah nama menjadi Asosiasi Kampung Samiler. Mardi kemudian ditunjuk sebagai ketua.


“Jadi, fungsi dari asosiasi tidak sebatas, mungkin dalam bahasa Jawa itu gerudak-geruduk, tapi ada banyak misi yang ingin dilakukan oleh teman-teman UMKM, ingin dicapai oleh teman-teman UMKM. Jadi dibanding dengan dulu sebelum ada asosiasi dengan sekarang ya perbedaannya jauh sekali,” ungkap Mardi.


Tak Terlena dengan Penghargaan


Menurut Mardi, kendala yang umum dihadapi oleh pelaku UMKM Kerupuk Samiler adalah persoalan cuaca. Bila cuaca buruk yang ditandai dengan hujan terus-menerus, maka produksi kerupuk akan terhambat.


“Kalau cuaca buruk, Kerupuk Samiler yang basah itu menjadi agak lama keringnya. Kalau misalkan, dalam 1 minggu jarang ada cuaca cerah, ya bisa bisa jadi dalam kurun waktu itu mereka cuma produksi dua kali. Dan kalau produksinya mereka terganggu cuaca, ya otomatis ketersediaan Kerupuk Samiler siap jual juga menjadi lambat,” terangnya.


Ini juga ditambah dengan harga bahan baku singkong yang acapkali fluktuatif. Sehingga, kata Mardhi, pelaku UMKM akan menambah biaya produksi ketika harga singkong naik. Apalagi untuk membuat Kerupuk Samiler singkong yang dijadikan baku haruslah memiliki mutu dan kualitas tinggi.


“Tidak asal pakai singkong atau asal ada singkong kemudian dipakai menjadi bahan baku Kerupuk Samiler. Jadi singkong yang dipakai itu harus usianya di atas 8 bulan. Kemudian harus kadar airnya rendah karena kalau kadar airnya tinggi biasanya kualitas kerupuk samilernya enggak begitu bagus," kata Mardi.


Di sinilah peran Asosiasi Kampung Samiler kemudian dibutuhkan. Mereka memfasilitasi pelaku UMKM untuk mencari bahan baku yang berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau, termasuk bawang putih dan minyak goreng.


“Kami membantu pelaku UMKM Kerupuk Samiler untuk mengakses minyak goreng yang sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Di sini kita bekerja sama dengan Pemkab Jombang, dalam hal ini Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Pada saat itu pernah kan beberapa tahun yang lalu minyak goreng sempat mengalami kelangkaan Harganya sangat mahal kan itu,” ceritanya.


Atas peran itulah, beberapa penghargaan akhirnya berhasil disabet oleh Asosiasi Kampung Samiler. Salah satunya adalah berhasil menjadi satu-satunya Industri Kecil Menengah (IKM) di Jombang yang berhasil masuk 89 besar dalam IKM One Village One Product (OVOP) yang diselenggarakan oleh Kementerian Perindustrian.


Kendati demikian, Asosiasi Kampung Semilir tak mau terlena dengan seremonial penghargaan itu. Masih ada pekerjaan rumah yang harus digarap oleh mereka agar UMKM Kerupuk Samiler di Desa Kahyangan menjadi jauh lebih berkualitas dan akhirnya, dapat dikenal di seluruh penjuru Indonesia.


“Kami sedang menggarap pemasaran kerupuk sambel yang one packing. Jadi bisa disebut communal branding, yang mana mereknya itu bisa dipakai oleh siapapun pelaku UMKM yang ada di Desa Kahyangan ini. Jadi, prototype-nya sudah beberapa bulan yang lalu kita uji coba dan alhamdulillah hasilnya lumayan bagus,” pungkasnya.

×