Kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) fokus diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Seiring dengan semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global. Khususnya, perkembangan politik di Amerika Serikat (AS).
Rapat dewan gubernur (RDG) BI pada 19-20 November 2024 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-rate) di level 6 persen. Risiko perekonomian global semakin tinggi disertai dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan fragmentasi perdagangan.
Perkembangan politik di AS diprakirakan akan diikuti dengan arah kebijakan fiskal lebih ekspansif. Serta strategi ekonomi berorientasi domestik atau inward looking policy. Termasuk penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi yang ketat.
"Perkembangan ini akan berdampak pada risiko melambatnya pertumbuhan ekonomi dan kembali meningkatnya inflasi dunia," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Di AS, proses penurunan inflasi akan berjalan lebih lambat. Sehingga penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diprakirakan juga akan lebih terbatas. Sementara, kebutuhan pembiayaan defisit fiskal yang lebih besar mendorong kembali meningkatnya yield US Treasury. Baik tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
Perubahan politik Negeri Paman Sam juga membuat mata uang dolar AS (USD) menguat secara luas. Yang mengakibatkan berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS.
Akibatnya, tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia semakin tinggi dan terjadi aliran keluar portofolio asing, termasuk dari negara emerging market.
"Penguatan respons kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan eksternal dari dampak negatif memburuknya rambatan global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia," ujar lulusan Iowa State University itu.