Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, memberikan respons terkait status pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) beserta tiga anak usahanya. Perusahaan yang pernah menjadi kebanggaan Presiden Republik Indonesia ke-7 Joko Widodo itu terancam ditendang (delisting) dari pencatatan saham di BEI.
Sebelum dinyatakan bangkrut, BEI telah menghentikan sementara perdagangan saham SRIL di seluruh pasar sejak 18 Mei 2021. Penghentian ini disebabkan oleh penundaan pembayaran pokok dan bunga Medium Term Notes (MTN) Sritex Tahap III Tahun 2018, yang hingga kini masih berlanjut.
“Dengan demikian SRIL telah memenuhi kriteria untuk dilakukan delisting karena supensi atas efek SRIL telah mencapai 42 bulan,” kata Nyoman ketika dihubungi wartawan, Kamis (24/10).
Terkait putusan pailit Sri Rejeki Isman, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengirimkan permintaan penjelasan serta pengingat kepada SRIL untuk memberikan keterbukaan informasi kepada publik.
BEI juga meminta penjelasan terkait tindak lanjut dan rencana perseroan dalam menyikapi putusan pailit, termasuk langkah-langkah yang diambil untuk mempertahankan kelangsungan usaha (going concern).
Selain itu, Nyoman menegaskan BEI juga melakukan upaya perlindungan terhadap investor ritel. Salah satu langkah yang diambil adalah penerapan notasi khusus serta penempatan saham SRIL pada papan pemantauan khusus, jika perusahaan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan Peraturan Bursa I-X tentang Penempatan Pencatatan Efek bersifat Ekuitas pada Papan Pemantauan Khusus.
“Hal ini diharapkan bisa menjadi awareness awal bagi investor atas potensi adanya permasalahan pada perusahaan tercatat,” ucap Nyoman.
Selain itu, Nyoman mengatakan bagi emiten yang disuspensi, baik akibat sanksi maupun alasan lainnya, BEI menerapkan beberapa langkah perlindungan bagi investor ritel.
Langkah-langkah tersebut meliputi pengiriman reminder delisting kepada perusahaan yang efeknya telah disuspensi selama enam bulan, undangan hearing, serta permintaan penjelasan mengenai upaya perbaikan penyebab suspensi dan rencana bisnis ke depan.
Perusahaan juga diwajibkan menyampaikan pembaruan mengenai progres perbaikan tersebut setiap bulan Juni dan Desember. Selain itu, BEI akan mengeluarkan pengumuman potensial delisting setiap enam bulan, yang mencantumkan informasi tentang masa suspensi, susunan manajemen, pemegang saham terakhir, serta kontak perusahaan yang dapat dihubungi.
Ia menegaskan langkah-langkah ini bertujuan untuk menjaga transparansi dan memberikan perlindungan bagi para investor.
Dalam melakukan pemantauan terhadap SRIL, Bursa telah melakukan pengumuman potensi delisting setiap 6 bulan dengan rincian:
Pengumuman Bursa nomor Peng-00050/BEI.PP3/11-2021 tanggal 18 November 2021;
Pengumuman Bursa nomor Peng-00022/BEI.PP3/05-2022 tanggal 18 Mei 2022;
Pengumuman Bursa nomor Peng-00060/BEI.PP3/11-2022 tanggal 18 November 2022;
Pengumuman Bursa nomor Peng-00027/BEI.PP3/05-2023 tanggal 17 Mei 2023;
Pengumuman Bursa nomor Peng-00093/BEI.PP3/11-2023 tanggal 20 November 2023; dan
Pengumuman Bursa nomor Peng-00020/BEI.PP3/06-2024 tanggal 28 Juni 2024.
Nyoman juga menjelaskan bahwa sesuai dengan POJK 3/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan SE OJK No. 13/SEOJK.04/2023 terkait pembelian kembali saham perusahaan terbuka akibat dibatalkannya pencatatan efek oleh bursa karena kondisi signifikan yang berdampak negatif terhadap kelangsungan usaha, perusahaan yang terkena delisting karena kondisi tersebut wajib mengubah statusnya menjadi perusahaan tertutup.
Selain itu, perusahaan tersebut juga diwajibkan melakukan pembelian kembali (buyback) saham yang dimiliki publik sesuai dengan ketentuan dan harga yang ditetapkan dalam POJK 3/2021 dan SE OJK tersebut.
Berdasarkan ketentuan III.1 Peraturan Bursa I-N disebutkan bahwa delisting atas suatu saham dapat terjadi karena:
III.1.3.1 Perusahaan Tercatat mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, dan Perusahaan Tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai; dan/atau
III.1.3.3 Saham Perusahaan Tercatat telah mengalami Suspensi Efek, baik di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, dan/atau di seluruh Pasar, paling kurang selama 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
Sritex dan Tiga Anak Usahanya Bangkrut
Sritex dan tiga anak usahanya resmi dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Semarang (PN Semarang), Jawa Tengah. Hal tersebut tercantum dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg tertanggal Rabu, 28 Agustus 2024.
Kemudian berdasarkan putusan homologasi yang dirilis pada 25 Januari 2022, Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya dianggap telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon.
“Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya,” tulis petitum, dikutip melalui lama sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Semarang, Kamis (24/10).
Putusan tersebut juga secara langsung membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg yang dikeluarkan pada 25 Januari 2022, terkait pengesahan rencana perdamaian (Homologasi).
Selain dinyatakan bangkrut, Sritex juga terancam didepak atau delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal itu lantaran sahamnya telah disuspensi lebih dari 30 bulan. Perusahaan juga terlilit Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan laporan keuangan terakhir menunjukkan ekuitas negatif.