Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Setahun Genosida di Palestina, Warga Gaza Pertanyakan Kenapa Dunia Tak Bisa Hentikan Mesin Pembunuh Israel

Oktober 10, 2024 Last Updated 2024-10-10T08:54:16Z


Warga Palestina berusaha membenahi kembali tempat tinggal mereka meski serbuan Israel belum kunjung berhenti. Namun ada satu hal yang menghambat mereka, seperti dikatakan sejumlah warga Yaitu perasaan takut mencari orang-orang terdekat mereka di antara reruntuhan bangunan.


Setidaknya ada 10 ribu orang hilang dan diyakini tewas tertimbun di bawah puing-puing bangunan di Gaza. Seorang akademisi dan ibu dari Kora Gaza, Abeer Barakat mengaku masih tersiksa dengan kenangan mencari empat orang keponakannya yang terbunuh oleh tentara Israel saat terjadi serangan di Gaza utara di Al-Ansar pada 9 Juli 2024.


"Ketika aku menemukan suamiku dan keluargaku yang lainnya sudah terbujur kaku di bawah puing-puing, tubuh mereka sudah hancur berkeping-keping," kenangnya.


"Ketika kita mengingat sata tubuh mereka masih utuh dan menjadi hancur maka pemandangan itu akan selalu terbayang dalam pikiran kita. Tiga malam setelah mereka semua terbunuh, aku terus memimpikan mereka," sambungnya. "Putraku ikut membantu proses evakuasi mayat keluarga kami. Dia juga merasa patah hati karena sepupu mereka sudah seperti adik dan kakaknya. Dia benar-benar terpukul."


Barakat mengaku selalu menangus tiap kali melihat orang-orang yang dikenalnya tewas atau kehilangan keluarganya. Ia bisa menangis terisak hingga terasa sakit sampai ke perutnya.


"Aku terus bertanya, kenapa hal ini menimpa kami? Bagaimana bisa seluruh dunia tidak bisa menghentikan mesin pembunuh (Israel)?” tanyanya. "Jangan biarkan kami hilang tanpa bekas atau tanpa jejak, dan jangan sampai darah kami kering dengan sia-sia," pungkasnya.



Anak-Anak Terbunuh dan Kehilangan Anggota Tubuh


Sementara, Otoritas kesehatan Jalur Gaza menyatakan, hampir 11 bulan perang Israel dan milisi Hamas berkecamuk, sedikitnya ada 41.084 warga Palestina meninggal dunia dan 95.029 lainnya mengalami luka-luka. (Eyad BABA/AFP)


Satu tahun lalu tepat tanggal 7 Oktober, Israel memulai agresinya, atau lebih tepatnya disebut genosida di Jalur Gaza usai serangan mendadak milisi Hamas yang menembakkan roket ke Israel. Setahun setelah agresi yang masih berlangsung hingga kini, nyaris 42 ribu nyawa melayang.


Setidaknya 16.756 anak Palestina terbunuh, jumlah tertinggi anak-anak yang tercatat dalam satu tahun konflik selama dua dekade terakhir. Lebih dari 17.000 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.


Meskipun ada kecaman global dan permohonan dari organisasi internasional dan kelompok hak asasi manusia, Israel terus melanjutkan serangan tanpa pandang bulu yang telah menebar teror di antara orang-orang di Gaza dan membunuh seluruh keluarga Palestina dari berbagai generasi.


Menurut PBB, setiap hari 10 anak kehilangan satu atau kedua kakinya, dan operasi dan amputasi dilakukan dengan sedikit atau tanpa anestesi karena pengepungan Israel masih berlangsung. Selain korban tewas dan luka-luka, lebih dari 10.000 orang dikhawatirkan terkubur di bawah reruntuhan.


Dengan langkanya peralatan untuk membersihkan puing-puing dan menyelamatkan mereka yang terjebak di bawah beton, para relawan dan pekerja pertahanan sipil hanya mengandalkan tangan kosong. Diperkirakan 75 ribu ton bahan peledak telah dijatuhkan di Gaza.


Para ahli memperkirakan dibutuhkan waktu bertahun-tahun, paling cepat delapan tahun, untuk membersihkan puing-puing yang berjumlah lebih dari 42 juta ton, yang juga penuh dengan bom yang belum meledak. Jika tentara Israel masih terus melancarkan aksi genosida mereka, maka waktu untuk pemulihan bakal semakin lama lagi.


Penderitaan Warga Gaza


Sekolah Al-Jawni merupakan salah satu dari sekian banyak sekolah yang dikelola oleh badan PBB untuk Palestina (UNWRA) yang telah mendapat beberapa serangan selama perang berlangsung. 


Sementara Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini mengatakan perang brutal selama 12 bulan telah mengubah Jalur Gaza menjadi lautan reruntuhan dan kuburan bagi puluhan ribu orang, mayoritas anak-anak.


"Setahun sudah berlalu dan tiada hari tanpa keluarga-keluarga di Gaza mengalami penderitaan yang tak dapat diungkapkan, karena pengungsian paksa, penyakit, kelaparan, dan kematian telah menjadi norma sehari-hari bagi dua juta orang yang terjebak di daerah kantong yang diisolasi dan dibombardir tersebut," kata Lazzarini lewat unggahan di Twitter atau X, Rabu.


"Di Gaza, warga sipil terus menanggung beban perang. Lebih dari 220 anggota tim UNRWA terbunuh: jumlah kematian tertinggi dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa," tambahnya. Dia menekankan bahwa anak-anak menjadi pihak pertama dan yang paling menderita.


"Selain pembunuhan dan luka, semua anak di Gaza mengalami trauma, dan banyak yang memiliki bekas luka tak kasat mata seumur hidup. Lebih dari 650.000 anak kehilangan setahun lagi untuk belajar. Alih-alih berada di kelas, mereka harus memilah-milah reruntuhan dengan rasa takut dan putus asa," ungkapnya.


Desakan Gencatan Senjata


PBB dan beberapa organisasi kemanusiaan internasional pada Senin, 7 Oktober 2024 memperingati setahun pecahnya konflik Gaza yang sedang berlangsung, dengan menyerukan gencatan senjata sesegera mungkin dan mengintensifkan upaya kemanusiaan di wilayah tersebut.


Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyoroti dampak buruk dari konflik tersebut. Menurut Penjabat Koordinator Bantuan Darurat PBB Joyce Msuya, krisis kemanusiaan itu sebagai "tidak terbayangkan."


Dalam pernyataannya, OCHA memerinci berbagai konsekuensi bencana dari operasi militer Israel di Gaza, yang telah mengakibatkan lebih dari 41.600 warga Palestina meninggal dunia dan memaksa hampir seluruh penduduk harus mengungsi. Msuya mendesak masyarakat internasional untuk menekan semua pihak yang terlibat agar mematuhi hukum humaniter internasional, memastikan pembebasan sandera, melindungi warga sipil, dan menjamin keselamatan para pekerja kemanusiaan.


Lazzarini memperingatkan bahwa penghancuran infrastruktur penting di Gaza sudah mencapai tingkat yang sangat parah. Dia menambahkan bahwa lebih dari dua pertiga bangunan UNRWA di Gaza sudah hancur dan tidak dapat digunakan dan sebagian besarnya dimanfaatkan untuk pengungsian di bawah bendera PBB.

×