Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kisah hakim perempuan yang wafat usai diteror Mengapa ribuan hakim menuntut kenaikan gaji dan jaminan keamanan?

Oktober 09, 2024 Last Updated 2024-10-09T03:34:58Z



Sekelompok hakim dalam wadah bernama Solidaritas Hakim Indonesia menyatakan, “keberanian dan kesederhanaan” harus diciptakan oleh sistem yang menjamin kesejahteraan dan keamanan hakim.


Setidaknya 1.748 hakim sekitar 22% dari total hakim, sepakat melakukan aksi cuti bersama selama sepekan per 4 Oktober lalu. Mereka menuntut pemerintah memperbaiki kesejahteraan hakim.


Namun benarkah kesejahteraan bisa menjauhkan hakim dari suap? Kesejahteraan seperti apa yang dituntut para hakim tersebut? Dan bagaimana pemerintah merespons tuntutan tersebut?


BBC News Indonesia berbicara kepada para hakim dan merangkum kisah seorang hakim muda yang meninggal pada April 2021 silam.


Mendiang Artidjo Alkostar adalah satu dari sedikit figur hakim yang berulang kali dipuji berbagai kalangan karena “keberanian dan kesederhanaannya”. Dalam sebuah acara televisi, Artidjo pernah berkata, “tidak boleh takut mati kalau mau membela kebenaran”.


Pada acara gelar wicara Kick Andy itu pula Artidjo berkata, “saya bekerja di Mahkamah Agung bukan untuk mencari fasilitas, saya akan berbuat kidmat, menghabiskan usia saya untuk menegakkan keadilan.”


Namun tidak semua hakim memiliki keberanian dan kecukupan materi yang sama seperti Artidjo.


Sejak 2012, gaji pokok dan tunjangan hakim tidak naik, bahkan setidaknya untuk sekedar menyesuaikan inflasi tahunan. Para hakim tingkat pratama yang telah bekerja delapan tahun, misalnya, rata-rata menerima upah antara Rp12 juta sampai Rp14 juta setiap bulan.


Tidak sedikit hakim yang menganggap angka itu tidak layak, terutama karena mereka harus menyewa tempat tinggal dan ongkos pergi-pulang dari kampung halaman ke tempat bertugas.


Lebih dari itu, negara hanya menjamin fasilitas keamanan untuk hakim agung—yang bekerja di kantor MA dan mengadili perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Jaminan keamanan itu tidak diterima para hakim di pengadilan tingkat pertama dan kedua di seluruh Indonesia.


Situasi itu akhirnya berujung pada berbagai peristiwa malang yang menimpa hakim-hakim di daerah. Beban kerja yang tak proporsional diyakini telah memicu kematian sejumlah hakim.


Ancaman keamanan juga telah berulang kali membuat para hakim was was saat menyusun vonis suatu perkara.


Teror darah


Terdapat 55 hakim yang meninggal di berbagai wilayah Indonesia pada rentang 1 Januari-12 Juli 2021. Dari jumlah itu, 16 hakim wafat akibat mengidap Covid-19.


Hakim yang berumur 30 tahun, Putri Sartika Prematura, termasuk salah satu yang meninggal saat itu. Namun keluarganya yakin, bukan Covid-19 yang merenggut kehidupan Putri, melainkan tingginya beban pekerjaan dan minimnya kelayakan hidup seorang hakim.


Perempuan asal Bandung itu wafat April 2021, tak lama usai menangani sebuah perkara di Pengadilan Tanjung Pati, Sumatra Barat. Dia bertugas di kabupaten yang berjarak 55 kilometer dari Kota Padang itu sejak satu tahun sebelumnya.


Saat tengah menyusun vonis sebuah “perkara besar”, Putri dua kali mendapatkan teror di rumah kontrakannya. BBC News Indonesia diminta untuk tidak menyebut secara detail perkara tersebut.


Pada suatu pagi, saat hendak berangkat ke kantornya, Putri melihat darah tercecer di atas sepeda motornya. Dia juga melihat darah di tembok dan lantai terasnya.


Ibu Putri, Eti Rohayati, bilang tak ada yang tahu bagaimana darah bisa tercecer di kontrakan anakya. Namun mereka yakin, peristiwa itu adalah teror untuk Putri.


“Tiba-tiba ada banyak darah. Darah segar,” kata Eti.


Selang beberapa hari, Putri kembali mengalami teror yang sama. Kurang dari satu minggu kemudian, Putri sakit. Dia sempat pingsan. Tubuh Putri demam. Psikologisnya juga jatuh, kata Eti.


“Peristiwa itu terjadi ketika Putri sedang memegang banyak kasus,” ujar Eti. Dan seperti hari-hari kerja yang biasa bagi Putri, dia selalu pulang sebelum tengah malam.


“Sudah capai, ada teror juga. Itu jadi pikirannya dan akhirnya kesehatannya menurun,” kata Eti.


Putri lulus sebagai sarjana hukum dari Universitas Padjajaran pada 2015. Dua tahun berikutnya, dia mengikuti seleksi calon hakim yang diklaim Mahkamah Agung bebas dari suap dan nepotisme.


Dari sekitar 30 ribu pendaftar, Putri lolos bersama 1.606 calon hakim lainnya.


“Saya orang bodoh, keluarga saya enggak ada keturunan hakim. Saya pedagang kecil. Keluarga saya biasa-biasa saja,” kata Eti.


“Anak saya ini dari kecil ingin jadi pengacara atau hakim. Alhamdulilah jadi hakim.


“Tapi saya merasa aneh pas lihat pekerjaannya. Saya suka bilang, ‘memangnya kamu digaji berapa?‘,“ ujar Eti.


Usai mengikuti pendidikan calon hakim Putri mengucap sumpah. Putri dan para hakim pratama lainnya kemudian disebar ke 347 pengadilan di seluruh Indonesia.


Satu dari sepuluh hak dan fasilitas hakim yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 94/2012 adalah rumah dinas.


Namun hingga akhirnya wafat, Putri tidak tinggal di rumah dinas hakim. Saat menemani Putri pertama kali datang ke Tanjung Pati, Eti melihat rumah dinas yang diberikan untuk anaknya tidak dalam kondisi layak huni.


“Banyak yang harus diperbaiki. Rumputnya juga setinggi saya,“ kata Eti. Putri akhirnya memilih mengontrak rumah.


Kondisi rumah dinas yang tidak layak dan terbatas telah lama menjadi persoalan yang para hakim di berbagai wilayah. Seperti Putri, banyak hakim indekos atau menyewa rumah sebagai solusi.


Tinggal di perantauan, tidak sedikit hakim yang tinggal seorang diri. Setiap tahun, setidaknya sejak 2019, terdapat hakim yang ditemukan meninggal seorang diri di tempat tinggal mereka—salah satu penyebabnya adalah kesehatan.


Rudi Martinus (60 tahun), hakim Pengadilan Tinggi Jayapura, ditemukan dua hari setelah meninggal di kamar kosnya, akhir Desember 2019. Dia diduga kuat wafat akibat serangan jantung.


Satibi Hidayat Umar (63), Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, Sulawesi Selatan, ditemukan meninggal di indekosnya, 13 Agustus 2021. Dia sempat mengeluh sakit setelah berolahraga.


Unggul Tri Esthi Muljono, hakim PN Jakarta Timur, ditemukan meninggal di kontrakannya, 28 April 2022. Dia menghembuskan nafas terakhir dlaam kondisi duduk di kursi, mengenakan kaos dalam putih dan celana panjang.


Nanang Herjunanto (45), hakim Pengadilan Negeri Batam, meninggal di sebuah hotel, 5 November 2023. Dia ditemukan setidaknya satu hari setelah menghembuskan nafas terakhir.


Terakhir, Januar (62), hakim Pengadilan Agama Grobogan, Jawa Tengah, ditemukan meninggal di kamar kosnya, 17 September 2024. Polisi tidak menemukan tanda penganiayaan di tubuhnya. Adapun, Januar diketahui mengidap penyakit komplikasi.


Polisi tidak menemukan tanda kekerasan di tubuhnya. Nanang disebut memiliki riwayat kolesterol dan hipertensi.


'Pertanggungjawaban setelah wafat'


Selama dinas di Kabupaten Tanjung Pati, Putri tinggal sendiri. Dia terpisah jarak dengan suaminya yang bekerja di Aceh.


Walau begitu, Eti menyebut Putri sebagai sosok yang mandiri. Dia berkata, Putri tidak pernah patah arang dengan upah maupun fasilitas yang didapatkannya.


“Menjadi hakim adalah cita-citanya, makanya dia ingin menjadi hakim yang mengadili seadil-adilnya, yang sebenar-benarnya,” ujar Eti.


Setelah “teror” di rumahnya, Eti menyebut Putri merasakan ketakutan. Putri tidak pernah tidur nyenyak. Dia juga kerap mendapat mimpi buruk.


“Katanya di dalam mimpi itu ada orang yang datang ke rumah dengan membawa pisau, tapi menurut saya ini halusinasi karena badannya demam,” ujar Eti.


Dengan situasi seperti itu, Putri tetap terus bekerja. Eti berkata, Putri bahkan tetap pulang hingga tengah malam. Salah satu penyebabnya, Putri harus menyelesaikan putusan sebuah perkara sebelum hari penjatuhan vonis.


“Saya pikir jadi hakim itu tinggal ketok-ketok. Tapi Putri bilang enggak bisa begitu,“ ujar Eti.


“Tugas Putri harus beres. Ini jadi pertanggungjawaban Putri di akhirat nanti,” kata Eti mengulang perkataan anaknya.


'Beban kerja tinggi'


Itsnaatul Lathifah sedang menjalani opname di rumah sakit saat membagikan kisahnya kepada BBC News Indonesia. Perempuan berumur 30 tahun adalah hakim di Pengadilan Agama Jeneponto, Sulawesi Selatan.


Serupa Putri, Itsnaatul lulus seleksi hakim tahun 2017. Saat itu dia mendaftar karena ingin menjadi bagian dari ‘orang-orang baik’ yang bekerja di badan peradilan.


Keputusannya menjadi hakim juga muncul karena Itsnaatul merasa berutang budi kepada negara. Biaya perkuliahannya dibayar oleh pemerintah melalui Beasiswa Bidik Misi.


Namun Itsnaatul tidak pernah membayangkan bahwa profesi hakim harus dia jalani dengan tantangan besar: tinggal jauh dari kampung halaman, beban kerja yang berat, upah yang tidak kunjung naik, serta ancaman keamanan.


“Di tempat kerja ini, saya datang tanpa mengenal siapapun, harus mencari rumah sendiri, dan mengurus sendiri kebutuhan sehari-hari,” kata Itsnaatul.


Hal-hal tadi, kata dia, sulit dihadapi karena jam demi jam habis di kantor—memeriksa dan memutus perkara. Belum lagi, dia harus menyeimbangkan diri dengan potensi intimidasi dan tuntutan integritas.


“Seringkali yang menjadi dilemanya adalah para hakim yang butuh biaya transportasi untuk membeli tiket pulang ke rumah, terutama yang ditugaskan di Indonesia Timur,” ujarnya.


Itsnaatul lalu menceritakan salah satu pengalaman rekan hakim perempuannya di sebuah pengadilan agama.


“Di saat terhimpit isu ekonomi keluarga, ada pihak yang datang menawarkan uang Rp7 miliar kepada seorang ketua pengadilan. Hakim itu perempuan,” tuturnya.


“Yang menawarkan uang itu seorang komandan kodim, untuk mengatur perkara. Untungnya teman-teman di pengadilan itu masih punya akal sehat dan menolak uang itu,“ kata Itsnaatul.


Menurut Itsnaatul, tawaran uang suap itu rentan menggoyahkan hakim. “Banyak cicilan, banyak kebutuhan keluarga,“ ucapnya.


“Kalau sering muncul tawaran uang-uang seperti itu, lama-lama juga juga bisa mempengaruhi integritas hakim,” kata Itsnaatul.


Isu kesejahteraan, kata Itsnaatul, bukan semata tentang materi yang memungkinkan mereka hidup berfoya-foya.


Dia berkata, sejahtera perlu dipandang sebagai kehidupan layak—yang seimbang antara beban kerja dan kehidupan personal di luar urusan pengadilan.


Pengadilan Agama Jeneponto hanya memiliki tiga hakim. Selama tahun 2023, Itsnaatul dan dua koleganya harus mengadili 840 perkara. Adapun dalam sebuah perkara waris, dia pernah harus memeriksa 48 saksi.


“Kami semua kelelahan. Itulah alasan mengapa kami seperti langganan sakit,” ujarnya.


Tito Sinaga, hakim di Pengadilan Labuha, Halmahera Selatan, baru-baru ini dilarikan ke ruang gawat darurat. Gas elpiji di rumah kontrakannya meledak dan memicu kebakaran.


Tito merasa dia teledor. Namun karena tinggal seorang diri dan waktu yang tersita untuk mengurus perkara, Tito bilang tak punya waktu untuk mengurus urusan domestik, termasuk memeriksa gas di dapurnya.


Alhasil, kata Tito, rambut, alis mata, hingga kakinya mengalami luka bakar. Dia dioperasi, lalu ditempatkan di kamar rawat inap kelas satu di RSUD Labuha.


“Saya membayar seluruh biaya dengan BPJS,” ujar Tito.


Asuransi kesehatan sejak lama telah menjadi salah satu kegundahan para hakim. Mahkamah Agung baru pada 2023 meneken kerja sama dengan PT Asuransi Jiwa Inhealth untuk menyediakan asuransi kesehatan, selain BPJS.


Namun Tito tetap tak dapat merasakan manfaat asuransi baru tersebut. “Tidak bisa digunakan di Halmehera Selatan,” tuturnya.


Apa tuntutan para hakim?


Melalui gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, mereka menuntut presiden merevisi PP 94/2012 dan memperbaiki gaji serta tunjangan hakim.


Merujuk perhitungan inflasi, mereka menyebut gaji pokok ideal hakim untuk tahun 2024-2034 harus meningkat 242% dari gaji pokok tahun 2012. Persentase yang sama, kata mereka, juga harus diterapkan pada penyesuaian tunjangan jabatan hakim.


Mereka meminta hak keuangan dan fasilitas hakim ditilik setiap lima tahun “agar relevan dengan kondisi ekonomi dan biaya hidup yang berkembang”.


Para hakim juga mendesak pemerintah membuat peraturan yang memuat hak dan mekanisme perlindungan keamanan bagi mereka.


Untuk merealisasikan tuntutan itu, para hakim yang berada di gerakan itu mendesak MA dan Ikatan Hakim Indonesia—wadah perkumpulan hakim yang dibentuk MA—“berperan aktif mendorong revisi peraturan pemerintah”.


Dalam pernyataan tertulis, mereka menyebut “kesejahteraan mampu menjaga independensi dari intervensi dan godaan yang bisa merusak integritas peradilan”.


Apa respons pemerintah dan DPR?


Direktur Jenderal Anggaran di Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, membuat klaim institusinya mendengarkan tuntutan kenaikan gaji yang disampaikan para hakim.


Isa berkata, Kementerian Keuangan sepakat pada rancangan perubahan gaji dan tunjangan hakim yang disusun Kementerian PANRB.


"Masih dipakainya remunerasi dan peraturan lama juga menjadi perhitungan kami untuk memperbaikinya secara segmented dan parsial," ujar Isa pada dengar pendapat dengan perwakilan gerakan Solidaritas Hakim Indonesia di kantor MA, Jakarta, Senin (07/09).


Adapun merujuk keterangan Wakil Ketua MA, Suharto, pada acara itu, Kementerian PANRB mengusulkan gaji pokok hakim naik sebesar 8-15 persen, tunjangan naik 45-70 persen, uang pensiun naik 8-15 persen dari gaji pokok, dan tunjangan kemahalan naik 36,03 persen sesuai dengan inflasi sejak 2013-2021.


Namun usulan tersebut tidak sesuai dengan tuntutan para hakim. Namun Isa berkata, Kementerian Keuangan tidak bisa begitu saja menyetujui setiap tuntutan para hakim. Alasannya, kata Isa, pihaknya harus mempertimbangkan remunerasi dan gaji pejabat lainnya.


Presiden terpilih, Prabowo Subianto, secara langsung menyatakan sikapnya kepada para hakim yang beraudiensi dengan pimpinan DPR, Selasa kemarin.


Melalui sambungan telepon legislator dari Partai Gerindra, Sufmi Dasco, Prabowo membuat klaim “telah menaruh perhatian besar sejak lama terhadap para hakim”.


“Saya berpendapat bahwa yudikatif kita harus kuat,” kata Prabowo.


"Saya sangat berpendapat bahwa para hakim harus diperbaiki kualitas hidupnya dan harus dijamin sangat mandiri dan bisa menjalankan tugas sebagai hakim dengan sebaik-baiknya," ujar Prabowo.


Apakah kesejahteraan bisa hindarkan hakim dari kasus suap?


Berdasarkan catatan KPK, dalam rentang tahun 2010-2022 terdapat 21 hakim yang terjerat kasus suap dan korupsi.


Dua hakim agung, selama 2022-2024, juga terjerat kasus patgulipat. Hakim agung Sudrajad Dimyati telah divonis bersalah karena menerima suap sekitar Rp800 juta.


Sementara itu, hakim agung Gazalba Saleh kini tengah menjalani persidangan atas dugaan menerima suap sebanyak Rp37 miliar.


Hakim agung setiap bulan mendapat tunjangan jabatan sebesar Rp72,8 juta. Penghasilan hakim agung itu dapat meningkat, sesuai jumlah perkara yang mereka tangani.


Pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, September lalu, jaksa penuntut umum menyebut Gazalba telah mendapat pengahasilan Rp6,2 miliar selama Desember 2017 hingga November 2022.


Citra Maulana, pegawai MA yang bersaksi dalam kasus itu, membenarkan angka yang disebut jaksa.


Pada Pemilihan Presiden 2014, Prabowo menyebut kenaikan gaji, salah satunya untuk hakim, adalah solusi untuk mencegah korupsi, suap, dan nepotisme. Namun Indonesian Corruption Watch saat itu menilai gagasan Prabowo “terlalu menyederhanakan masalah”.


Emerson Yuntho, yang saat itu memimpin ICW, menyebut gaji hakim tergolong tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan polisi. Dua tahun sebelum Pilpres 2014, gaji hakim memang baru saja naik, lewat pengesahan PP 94/2012.


Sebelum 2012, gaji hakim terakhir kali dinaikkan oleh pemerintah pada tahun 2000.


“Gaji sebesar apapun tanpa diimbangi perbaikan sistem, seperti pembinaan dan pengawasan, tidak memberikan dampak apapun," kata Emerson saat itu.

×