Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

G30S Sudah Menculik 6 Jenderal, Mengapa Akhirnya Gagal?

Oktober 01, 2024 Last Updated 2024-10-01T01:25:52Z


Peristiwa berdarah 30 September 1965 terus menjadi teka-teki.


Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai biang peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S itu.


Menurut tulisan karya Fernanda Prasky Hartono di laman ensiklopedi Kemendikbud, G30S adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap enam orang jenderal TNI Angkatan Darat (AD) dan seorang ajudan berpangkat letnan.


Meski lebih kondang dengan sebutan G30S, sebenarnya peristiwa kelam tersebut terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari.


Mengutip John Roosa (2012: 27), tulisan yang disunting Dr. Sri Margana, M.Hum, itu menuliskan penculikan dan pembunuhan tersebut melibatkan perwira menengah TNI AD, TNI Angkatan Udara (AU), dan pimpinan PKI beserta organisasi sayapnya.


G30S dipimpin oleh tiga perwira militer dan dua politisi sipil.


Letkol Untung Sutopo, Kolonel Abdul Latief, dan Mayor Sujono merupakan perwira-perwira menengah TNI yang memimpin aksi G30S.


Saat itu, Untung yang juga dikenal dengan nama Untung Syamsuri merupakan komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden).


Adapun Kolonel Abdul Latief ialah komandan Garnisun Kodam Jaya.


Selanjutnya ialah Sujono, perwira TNI Angkatan Udara (AU) yang menjabat komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusuma.


Dua politisi sipil yang dianggap terlibat langsung dalam G30S ialah Sjam Kamaruzaman dan Supono Marsudidjojo.


Sjam merupakan kepala Biro Khusus PKI, sedangkan Supono ialah asistennya.


Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Letkol Untung menggerakkan pasukan Tjakrabirawa untuk menculik Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen A Yani, Deputi II Panglima Angkatan Darat Mayjen Soeprapto, Deputi III Menteri Panglima Angkatan Darat Mayjen MT Haryono, Asisten I Panglima Angkatan Darat Mayjen S Parman, Asisten IV Panglima Angkatan Darat Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, dan Oditur Jenderal Angkatan Darat Brigjen Soetoyo Siswomihardjo.


Para penculik berupaya mengelabui para korbannya dengan satu dalih, yakni membawa pesan kepada para jenderal tersebut untuk menghadap Presiden Soekarno.


Namun, tak semua jenderal yang menjadi sasaran penculikan percaya pada pesan itu.


Tiga jenderal, yakni Ahmad Yani, MT Haryono, dan DI Pandjaitan meninggal di rumah masing-masing karena dihujani peluru oleh anak buah Untung.


Adapun tiga jenderal lainnya dibawa hidup-hidup oleh gerombolan penculik  ke perkebunan di kawasan Lubang Buaya di sekitar Laud Halim Perdanakusuma.


Salah satu target utama dalam aksi penculikan itu ialah Jenderal Abdul Haris Nasution.


Namun, menteri pertahanan cum Kepala Staf Angkatan Bersenjata itu berhasil lolos dari siasat penculik.


Anak buah Untung justru menciduk Pierre A Tendean yang saat itu bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution.


Tentara berpangkat letnat satu itu bertindak berani dengan mengaku sebagai Nasution di hadapan para penculiknya sehingga ikut dibawa ke Lubang Buaya.


Syahdan, tiga jenderal dan Pierre yang masih hidup dibunuh di Lubang Buaya. Jasad mereka dimasukkan ke dalam sumur kering.


J.M. van Der Kroef dalam tulisannya yang berjudul ‘Origins of the 1965 Coup in Indonesia: Probabilities and Alternatives’ di Journal of Southeast Asian Studies Volume 3, Nomor 2, terbitan September 1972 menulis tujuan G30S, khususnya bagi pimpinan PKI, ialah menyelamatkan negara/Presiden Soekarno dari kudeta para jenderal kanan (Dewan Jenderal).


Namun, gerakan itu rontok. Pada 1 Oktober 1965, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Letkol Sarwo Edhie Wibowo berhasil merebut Radio Republik Indonesia (RRI) dari G30S.


Sebelumnya, RRI menjadi corong G30S. Setelah menyiarkan warta berita yang usai pukul 07.15, RRI mengudarakan maklumat Letkol Untung Syamsuri tentang Dekrit No 1 Dewan Revolusi.


Untung juga mengumumkan mengenai dirinya menjadi pemegang komando G30S yang memiliki wakil komandan dari empat angkatan, yakni Brigjen Soepardjo, Kolonel Laut Sunardi, Letkol Udara Heru Atmodjo, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas.


Isi maklumat Untung menyatakan pembersihan terhadap para anggota Dewan Jenderal. Dekrit itu juga mendemisionerkan Kabinet Dwikora.


Pada pukul 10.00, RRI menyiarkan perintah harian Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksdya Omar Dhani yang isinya bernada dukungan untuk G30S.


Syahdan, pada pukul 14.00, RRI menyiarkan dua keputusan Dewan Revolusi Indonesia. Keputusan Nomor 1 tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia, sedangkan Keputusan Nomor 2 mengenai penurunan pangkat tentara di atas letkol.


Di sisi lain, Soeharto yang waktu itu sebagai Panglima Kostrad menyatakan diri sebagai pemegang komando TNI AD.


Berpangkat mayor jenderal, Soeharto pada waktu itu  memerintahkan Letkol Sarwo Edhie Wibowo mengambil alih RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.


Pengambilalihan RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi dilakukan begitu jam malam berlaku pada pukul 18.00 WIB.


Sarwo memerintahkan anak buahnya di bawah komando Sintong Pandjaitan mengambil alih dua fasilitas penting tersebut.


Kurang dari setengah jam, RPKAD sudah menguasai RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi. RRI pun beralih menjadi corong bagi Soeharto.


Keesokan harinya atau pada 2 Oktober 1965 pagi, RPKAD berhasil menguasai markas para pemimpin gerakan di sekitar Lanud Halim Prdanakusuma.


Lantas, mengapa G30S yang sudah menculik dan membunuh jenderal-jenderal penting justru gagal?


Julius Pour dalam bukunya yang bertitel ‘Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang’ mendedahkan analisis Brigjen Soepardjo tentang G30S yang berantakan.


Saat peristiwa itu, seharusnya Soepardjo sebagai salah satu komandan tempur Komando Mandala Siaga (Kolaga) berada di Kalimantan Barat.


Namun, pada 1 Oktober 1965, Soepardjo justru berada di Jakarta.


Sekitar pukul 10 pagi, Panglima Komando Tempur II Kolaga itu menghadap Bung Karno di Istana Bogor untuk melapor.


Laporan Soepardjo berisi soal para perwira muda TNI telah mengadakan aksi terhadap Dewan Jenderal.


Laporannya juga menyebut soal Jenderal Nasution lolos dari aksi para perwira muda TNI.


Ternyata Bung Karno yang tidak mau ada pertumpahan darah memerintahkan Soepardjo menghentikan gerakan itu.


Soepardjo akhirnya kabur karena diburu pasukan di bawah komando Soeharto.


Dalam masa pelarian itu, tentara yang dianggap prokomunis tersebut menulis analisis setebal 12 halaman.


Soepardjo menyimpulkan G30S gagal karena tidak dirancang dan dikelola secara profesional. Tudingannya menyasar Letkol Untung.


“Untung seorang perwira salon, tidak menguasai situasi, gagal mengndalikan anak buah, dan langsung tidak berdaya,” demikian tertulis dalam analisis itu.


Soepardjo menyinggung tentang Untung yang tidak langsung bergerak ketika tahu Jenderal Nasution berhasil melarikan diri.


Sebagai pimpinan, Untung malah terperanjat, kehilangan akal, dan tidak berbuat apa-apa.


“Meski saya telah memberi saran untuk segera melakukan ofensif balasan, hanya dijawab ‘ya’, tetapi pada kenyataannya tidak pernah dia lakukan…,” imbuh Soepardjo dalam analisisnya.


Menurut Soepardjo, sebenarnya Untung memiliki waktu 12 jam atau sehari penuh saat lawan dalam kondisi panik. Namun, Untung tetap tidak bergerak.


“Semua tentara di Jakarta diliputi berbagai macam tanda tanya, malahan tidak sedikit yang sudah mulai dalam kondisi kebingunan, tetapi pimpinan gerakan tidak berani mengambil sikap,” demikian telaah mantan tentara yang akhirnya dihukum mati itu.


Letkol Udara Heroe Atmodjo yang pada saat G30S menjabat Aisisten Direktur Intelijen AURI juga merasa heran dengan penunjukan Untung sebagai komandan operasi.


“Soepardjo jauh lebih berwibawa dan mempunyai teknis kemampuan militer melebihi Untung,” ujar Heroe yang juga Wakil Komandan Dewan Revolusi sebagaimana tertulis dalam buku Julius Pour tersebut. 

×