Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Cerita generasi terakhir ‘putri duyung’ Korea Selatan

Oktober 30, 2024 Last Updated 2024-10-30T06:44:43Z


Haenyeo, para penyelam dari Pulau Jeju di Korea Selatan adalah komunitas perempuan yang selama berabad-abad melakukan selam bebas tanpa tabung oksigen untuk memanen hasil laut.


Setiap harinya, perempuan-perempuan tangguh ini mampu menyelam ke bawah laut sebanyak puluhan kali.

Tradisi dan cara hidup mereka terancam karena semakin sedikit perempuan muda di Jeju yang memilih profesi ini. Selain itu, kondisi lautan kini sudah banyak berubah.


Saat ini, sebagian besar penyelam haenyeo sudah berusia sekitar 60-an hingga 80-an tahun.


Fakta-fakta ini mendorong pembuat film AS berdarah Korea, Sue Kim, untuk bekerja sama dengan pemenang Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, untuk berkolaborasi dalam film bertajuk The Last of the Sea Women.


Sebagai anak imigran Korea, Kim pertama kali bertemu dengan para haenyeo saat berlibur ke Korea Selatan sewaktu masih kecil.


"Saya sangat terkesan dengan mereka karena alasan yang sama seperti yang Anda saksikan di film ini—mereka sangat berani, penuh semangat, dan percaya diri.


Melalui suara lantang, cekcok, dan tawa, para perempuan haenyeo memancarkan energi yang sangat besar dan cuek," kata Kim.


"Saya jatuh cinta dengan seluruh suasana dan energi besar itu ketika saya masih kecil. Jadi saya tumbuh terus terpesona dengan mereka."


"Mereka adalah versi perempuan Korea yang menginspirasi saya dan ingin saya tiru," tambahnya.


"Saya kaget begitu diberitahu tentang haenyeo. Saya langsung mengiyakan [ide pembuatan film]," jelas Malala, produser film.


Generasi terakhir haenyeo


“Ada urgensi untuk mengisahkan haenyeo karena sekitar 10 tahun lalu saya mendapat kabar bahwa ini mungkin generasi terakhirnya,” terang Kim.


“Selagi mereka masih ada dan bisa menceritakan kisah mereka sendiri dengan kata-kata sendiri… harus ada yang bisa mendokumentasikannya.”


Film ini mengisahkan keseharian perempuan-perempuan haenyeo yang menjalani pekerjaan berat selama musim panen.


Cuplikan gambar demi gambar menelaah tantangan yang dihadapi baik di dalam maupun di luar air.


Para penyelam haenyeo berangkat ke laut pukul 6 pagi tiap harinya. Perempuan-perempuan ini mampu menahan napas selama beberapa menit, kembali ke permukaan, dan kembali turun lagi.


Dalam satu sesi memanen hasil laut, penyelam haenyeo bisa menyelam kira-kira sebanyak 100 kali.


Kebugaran perempuan-perempuan ini diragukan lagi. Bayangkan, mereka memanen di bawah permukaan laut selama empat jam. Kemudian menghabiskan tiga atau empat jam lagi untuk mengupas dan menyiapkan tangkapan.


Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.


Beberapa haenyeo dapat menghabiskan hingga tujuh jam di laut.


Ada berbagai teori tentang mengapa para perempuan mulai mengambil alih pekerjaan yang secara tradisional dilakukan para pria ini.


Situs pariwisata Jeju menunjukkan bahwa jumlah pria di pulau itu rendah karena sebagian besar dari mereka meninggal di laut yang ganas saat memancing dengan perahu.


Akibatnya, tidak banyak pria yang dapat memanen laut. Secara bertahap, kaum perempuan mengambil alih pekerjaan tersebut.


Komunitas yang menua tapi menyala


Kim mengaku sempat kesulitan untuk mendapatkan akses ke komunitas haenyeo karena "mereka sangat tertutup".


"Haenyeo adalah warga pedesaan yang tinggal di desa nelayan. Mereka tidak banyak berinteraksi dengan kota-kota di Jeju."


Kim akhirnya menemukan peneliti yang pernah berkali-kali bekerja sama dengan LSM dan punya kontak di komunitas tersebut.


“Dia yang memperkenalkan kami. Dari situ, saya berangkat ke desa nelayan dan menghabiskan dua minggu untuk bergaul dengan komunitas Haenyeo secara seksama dan benar-benar mendapatkan kepercayaan mereka,” ujar Kim.


“Hal ini saya lakukan dengan banyak-banyak mendengarkan. Haenyeo sebenarnya bicara banyak: tentang fakta bahwa mereka merasa berada di ambang kepunahan.


"Mereka juga ingin berbicara tentang perubahan kondisi lautan yang tampaknya tidak diketahui atau dipedulikan siapa pun."


Kim harus meyakinkan perempuan-perempuan itu bahwa dia tidak akan melabeli mereka dengan stereotip atau mengasihani mereka karena masih bekerja di usia senja.


"Mereka suka bekerja! Bekerja membuat mereka merasa kuat dan berdaya."


Kim meyakinkan para haenyeo bahwa dia ingin menunjukkan "kekuatan sejati mereka" dalam film ini.


"Saya berjanji tidak akan membuat mereka terlihat seperti nenek-nenek renta yang tak berdaya. Saya justru melihat mereka sebagai pahlawan," ujarnya.


"Setelah itu, kami menjadi keluarga."


Menjadi penyelam haenyeo risikonya amatlah besar. Tidak ada asuransi yang tersedia untuk pekerjaan tersebut karena terlalu berbahaya.


Selain itu, lautan dan mata pencaharian para haenyeo dalam kondisi terancam.


Pemanasan global menyebabkan berkurangnya spesies di laut, terutama di perairan dangkal. Sementara, sulit untuk menyelam di perairan yang lebih dalam tanpa tabung oksigen.


Sebagian besar film memusatkan perhatian ketika para perempuan haenyeo melancarkan protes terhadap air radioaktif dari pembangkit nuklir Fukushima Jepang yang dilepaskan ke laut. Jeju berbatasan dengan Jepang.


Kondisi ini membawa salah satu haenyeo, Soon Deok Jang, langsung ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa.


Para ahli kebanyakan menyebut pelepasan air radioaktif itu aman dan mendapat lampu hijau dari Badan Energi Atom Internasional—namun tak semua ilmuwan sepakat tentang dampaknya.


Walaupun haenyeo memanen di laut, ada peraturan tentang kapan mereka diizinkan untuk memanen demi melindungi ekosistem.


Menurut Kim, para perempuan haenyeo memilih tidak menggunakan tangki oksigen karena mereka “yakin menahan napas secara alami membuat jumlah panen mereka juga alami”.


Dengan kata lain, para perempuan haenyeo dari generasi ke generasi telah menghindari penangkapan ikan berlebihan.


Di sisi lain, ancaman kepunahan yang lebih besar datang dari internal komunitas sendiri: semakin sedikit perempuan muda yang memilih profesi sulit ini.


Pada awal tahun 2000-an, sebuah sekolah pelatihan haenyeo didirikan untuk mencoba menghentikan jumlah yang menyusut itu. Namun, hanya 5% lulusannya yang benar-benar menjadi haenyeo.


Tetap saja masih ada haenyeo muda—sekalipun jumlahnya kecil.


Film ini memperkenalkan dua perempuan muda asal pulau lain yang banyak diikuti di media sosial dan menunjukkan jam kerja fleksibel haenyeo dan penghasilannya mencukupi untuk keluarga.


Salah satu dari mereka harus belajar berenang pada usia 30 untuk melakukan pekerjaan tersebut.


Para perempuan yang lebih tua memanggil mereka "buah hati" sementara keduanya memanggil senior mereka "bibi".


Malala Yousafzai pun terinspirasi.


"Ketika saya melihat haenyeo dan bagaimana mereka bekerja bersama… ini mengingatkan saya akan kerja kolektif yang dilakukan perempuan di tempat lain, termasuk advokasi yang dilakukan perempuan Afghanistan untuk meningkatkan kesadaran tentang penindasan sistematis yang mereka hadapi."


“Perempuan muda di dokumenter ini… saya ingin dia percaya pada dirinya sendiri dan menyadari bahwa dia bisa melakukan apa saja. Buktinya, dia mampu berada di bawah air selama dua hingga tiga menit tanpa oksigen,” ujar Malala.


“Sementara saya masih harus ikut kelas berenang! Kemampuan saya masih nol besar, tetapi sekarang saya jadi terinspirasi untuk belajar.

×