Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Aliansi di Timur Tengah Sedang Bergeser, Israel Tak Ikut Serta

Oktober 23, 2024 Last Updated 2024-10-23T07:21:51Z


SATU tahunlalu, Arab Saudi sudah bersiap untuk mengakui negara Israel melalui kesepakatan normalisasi hubungan yang akan secara signifikan mengubah tatanan Timur Tengah dan semakin mengucilkan Iran serta sekutu-sekutunya. Dalam rancangan kesepatan itu, tidak ada langkah nyata untuk memperjuangkan nasib Palestina sebagai sebuah negara.


Kini, rancangan kesepakatan itu semakin jauh dari kenyataan, bahkan setelah terbunuhnya pemimpin Hamas, Yahya Sinwar. Kematian Sinwar sebelumnya banyak dipandang sebagai kesempatan untuk memulai kesepakatan damai. Dalam perkembangan terkini, yang terjadi justru sebaliknya, Arab Saudi malah mendekatkan diri dengan musuh bebuyutannya, Iran.


Negara kerajaan itu juga menegaskan, setiap perjanjian diplomatik apapun dengan Israel kini harus didasarkan pada syarat adanya pengakuan Israel atas negara Palestina. Syarat itu merupakan perubahan sikap yang signifikan dari Arab Saudi.


Iran Mendekati Negara-Negara Teluk


Mencairnya ketegangan diplomatik tampaknya sedang berlangsung di Timur Tengah. Namun hal ini tidak seperti yang dibayangkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang mengatakan bahwa pemerintahannya akan mencapai kesepakatan dengan Riyadh.


Bulan ini, para menteri luar negeri negara-negara Teluk Persia bertemu untuk pertama kalinya sebagai kelompok dengan rekan mereka dari Iran. Ini merupakan pemulihan hubungan tahap awal yang rapuh dan hanya akan mengikis permusuhan sektarian yang telah berlangsung berabad-abad. Namun hal itu mencerminkan perubahan besar di kawasan yang selama puluhan tahun telah dicengkeram persaingan berdarah antara Riyadh dan Teheran.


Upaya diplomatik Teheran tak berhenti di situ. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, kemudian mengunjungi Arab Saudi sebelum menuju ke negara-negara lain di kawasan, termasuk Irak dan Oman, dalam upaya meredakan ketegangan. Dia juga mengunjungi Yordania sebelum melakukan perjalanan ke Mesir dan Turki. Kunjungan ke Mesir merupakan yang pertama yang dilakukan menteri luar negeri Iran dalam 12 tahun terakhir. 


“Di kawasan ini, kami saat ini mempunyai keprihatinan yang sama terkait ancaman perang yang meluas, dan perang di Gaza dan Lebanon serta para pengungsi,” kata Araghchi pada hari Jumat (18/10/2024), ketika mendarat di Istanbul sebagaimana dikutip The New York Times.


Sementara Netanyahu terus menolak pembentukan negara Palestina, para pejabat Saudi telah menggunakan surat kabar dan pidato publik untuk menempatkan solusi dua negara di meja perundingan. Hal itu, kata pihak Saudi, merupakan satu-satunya cara saat ini bagi Israel untuk mendapatkan dukungan dari Arab Saudi, yang sebagian besar dipandang sebagai pemimpin dunia Arab.


Kondisi Mengerikan di Gaza Picu Perubahan Sikap 


Apa yang berubah? Gambar-gambar dari Gaza bermunculan yang menunjukkan anak-anak terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan bangunan, ibu-ibu yang meratapi kematian bayi-bayi mereka, dan warga Palestina yang kelaparan karena Israel memblokir bantuan untuk memasuki wilayah tersebut. Semuanya itu membuat pihak Saudi tidak mungkin lagi mengabaikan isu pembentukan negara Palestina.


“Apa yang terjadi di Gaza telah menghambat integrasi Israel ke kawasan tersebut,” kata Ali Shihabi kepada Times. Shihabi merupakan pengusaha Saudi yang dekat dengan monarki dan anggota dewan penasihat Neom, kota futuristik yang merupakan proyek kesayangan Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman.


“Arab Saudi melihat bahwa sejak peristiwa Gaza, setiap hubungan apapun dengan Israel menjadi lebih berbahaya, kecuali Israel mengubah sikapnya dan benar-benar punya komitmen nyata terhadap negara Palestina, yang selama ini mereka tolak,” ujar Shihabi.


Saat ini, Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang menjadi mitranya masih skeptis terhadap ketulusan tawaran diplomatik Iran. Meskipun dua kelompok proksi Iran, yaitu Hamas dan Hizbullah, telah digempur Israel, Iran masih mempersenjatai dan mendukung sekutu ketiganya, yaitu Houthi di Yaman, yang telah menyerang Arab Saudi.


Namun “selama Iran terus berusaha mendekati Riyadh, kepemimpinan Saudi akan menerimanya,” kata Shihabi. Dia menambahkan, jika Iran serius, “hal itu akan menandai penataan ulang di Timur Tengah.”


Arab Saudi dan Iran telah lama berebut dominasi di kawasan itu, sebuah persaingan yang dipengaruhi oleh aliran-aliran Islam yang dianut oleh masing-masing negara itu. 


Perang di Gaza telah berkecamuk lebih dari setahun. Perang itu dimulai setelah Hamas melancarkan serangan berdarah pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menculik lebih dari 200 orang lainnya. Hal itu mendorong Israel untuk melancarkan invasi ke Gaza yang telah dikritik karena pengeboman yang tidak pandang bulu dan jumlah korban jiwa yang sangat besar: lebih dari 40.000 orang tewas, banyak dari mereka warga sipil.


Meskipun orang dalam istana seperti Shihabi mengakui bahwa Arab Saudi bukan negara demokrasi, Pangeran Mohammed sangat sensitif terhadap opini publik, yang telah bersikap keras terhadap Israel selama setahun terakhir.


Kawasan Teluk mempunyai populasi yang tergolong salah satu yang termuda di dunia. Usia rata-rata warga Saudi sekitar 29 tahun pada tahun 2022. Banyak warganya yang terkejut dengan banyaknya gambar mengerikan yang muncul dari Gaza di media sosial mereka, yang mengubah banyak sikap mereka yang tadinya positif, atau setidaknya ambivalen, terhadap kesepakatan dengan Israel.

 

Beberapa bulan sebelum 7 Oktober 2023, Arab Saudi merencanakan sebuah kesepakatan dengan Israel yang akan memberi Riyadh perjanjian pertahanan yang lebih luas dengan Amerika Serikat (AS) dan dukungan untuk program nuklir sipil sebagai imbalan atas normalisasi hubungan. Walau beberapa negara Teluk lainnya membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 2020 melalui kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Abraham, mereka tidak menggunakan pengaruhnya untuk mendorong Israel membentuk dan mengakui negara Palestina.

 

Meskipun Riyadh telah lama menjadi pendukung kuat solusi dua negara, tujuan tersebut tidak menjadi prioritas kebijakan luar negeri dalam beberapa tahun terakhir, karena putra mahkota memperkuat kekuasaannya dan membentuk kebijakan regional dan dalam negeri negara tersebut. Dalam perundingan tahun lalu untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, negara Palestina tidak pernah dijadikan syarat. Sebaliknya, Riyadh menuntut agar Israel mengizinkan Otoritas Palestina – yang memerintah Tepi Barat – untuk memperluas kendali dan kekuasaan teritorialnya.


Namun situasi di Gaza telah mengubah ambivalensi tersebut. Dalam komentar publik pertamanya yang mendukung pembentukan negara Palestina, Putra Mahkota Mohammed bin Salman menyampaikan dengan jelas tuntutan baru Riyadh itu.


“Kerajaan tidak akan menghentikan upayanya yang tak kenal lelah untuk mendirikan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, dan kami menegaskan bahwa kerajaan tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa negara tersebut,” kata putra mahkota pada 18 September kepada dewan penasihat seniornya.


Pertemuan bersejarah antara Iran dan negara-negara Teluk bulan ini terjadi sehari setelah Teheran meluncurkan 180 rudal balistik ke Israel. Serangan itu merupakan balasan atas pembunuhan terhadap Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah, bulan lalu, dan pembunuhan pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, awal tahun ini, yang merupakan sekutu utama Iran.


Nasib Perjanjian Abraham


Para pengamat bertanya-tanya apakah Iran kini lebih bersemangat untuk mencairkan hubungan dengan negara-negara Teluk karena operasi Israel yang telah membunuh sebagian besar pemimpin tertinggi Hizbullah dalam beberapa pekan terakhir. Kelompok milisi Lebanon itu telah lama menjadi sekutu dan proksi Iran yang paling kuat di Arab. Kelompok itu telah lama ditakuti Israel dan merupakan kunci utama dalam upaya Teheran untuk memproyeksikan kekuatannya di Timur Tengah. Kelompok itu juga menjadi benteng bagi Iran dalam melawan Israel. Tanpa Hizbullah, Teheran akan sangat lemah.


Perang di Gaza juga telah memaksa negara-negara yang telah menandatangani Perjanjian Abraham untuk mulai mendukung pembentukan negara Palestina, mungkin karena mereka khawatir dengan opini publik di dalam negeri.


 

Meskipun Uni Emirat Arab, negara terkuat kedua di kawasan Teluk, tetap mempertahankan hubungan dengan Israel selama setahun terakhir, hubungan tersebut semakin mengalami tekanan.


“Uni Emirat Arab tidak siap mendukung masa setelah perang (the day after) di Gaza tanpa pembentukan negara Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Emirat, Sheikh Abdullah bin Zayed, bulan lalu. Dia merujuk pada tuntutan Israel agar UAE memikul tanggung jawab membangun kembali Gaza setelah perang berakhir.


Sementara Netanyahu terus mengklaim bahwa kesepakatan besar sedang direncanakan dengan Riyadh, para pejabat Saudi justru membatahnya. Mereka justru menyoroti semakin lebarnya jurang pemisah antara kedua negara.


“Perjanjian Abraham hanya sekedar kosmetik; tidak ada hal substantif mengenai perjanjian tersebut dalam hal perjanjian perdamaian regional yang nyata dan abadi. Banyak negara yang menandatangani perjanjian itu karena mereka melihat Israel sebagai jalan untuk memberikan pengaruh di Washington,” kata Shihabi.


“Tetapi sekarang kita melihat bahwa AS tidak mempunyai kekuasaan atau pengaruh terhadap Israel – sampai pada tingkat yang memalukan.... dan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk mendirikan negara Palestina,” tambah Shihabi.

×