Media arus utama di Inggris Raya kembali mendapat sorotan karenaatas bias pemberitaan tentang Gaza sejak dimulainya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober 2023. Media-media Barat hingga kini masih menerapkan standar ganda dalam pemberitaan mereka yang menyiratkan sebagai upaya menutup-nutupi kekejaman Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
Etika media kembali menjadi pusat perhatian sejak serangan 7 Oktober 2023, dengan banyak pihak yang mengkritik media arus utama karena pejabat dan pendukung Israel terus membuat pernyataan kontroversial tentang situasi bencana di Gaza, di mana jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 40.700 orang. Faisal Hanif, seorang analis media di Centre for Media Monitoring (CfMM), mengatakan kepada Anadolu bahwa pemberitaan tentang Gaza memiliki beberapa ciri yang mencolok, termasuk informasi yang menyesatkan dan fakta yang tidak akurat.
Bulan lalu contohnya, terjadi peristiwa bayi kembar yang baru lahir tewas dalam serangan Israel di wilayah yang terkepung saat ayah mereka pergi untuk mengambil akta kelahiran mereka. Bayi kembar berusia empat hari, yang lahir di Deir al-Balah, itu tewas dalam serangan udara di apartemen orang tua mereka di Gaza tengah.
Namun, beberapa media arus utama, termasuk BBC dan Sky News, memilih untuk tidak menyebutkan "serangan Israel" dalam judul berita mereka di media sosial, memicu reaksi keras dari banyak pengguna yang mempertanyakan "Dibunuh oleh siapa?"
"Pemberitaan tentang Gaza memiliki beberapa ciri yang mencolok. Ada beberapa kali publikasi informasi yang menyesatkan dan fakta yang tidak akurat selama 10 bulan terakhir," kata Hanif.
Hanif pun membandingkan saat media Barat memberitakan peristiwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengangkat isu ini dalam pidatonya di hadapan Kongres AS pada Juli. BBC kala itu melaporkannya secara verbatim tanpa memberikan konteks yang diperlukan bagi pembaca bahwa ini sebenarnya tidak benar dan telah ditemukan sebagai fabrikasi oleh jurnalis investigasi.
Hanif mengatakan, "penghilangan informasi" juga menjadi ciri yang mencolok dalam pemberitaan tentang Gaza oleh media arus utama Inggris. Yang paling mencolok adalah pengaburan di judul berita, terutama ketika Israel adalah pihak yang menyerang atau melakukan pembunuhan.
"Sering kali kita melihat ini tidak disebutkan, sedangkan dalam kasus Ukraina dan Rusia, Rusia dengan jelas diidentifikasi sebagai pihak yang melakukan pembunuhan," ujarnya.
Bagaimana AS Terlibat Genosida di Gaza?
Hanif mengkritik tidak hanya media tetapi juga pihak-pihak lain, termasuk politisi yang membela Ukraina terhadap serangan Rusia tetapi gagal mengambil sikap serupa ketika menyangkut Gaza.
"Banyak pembaca yang memperhatikan standar ganda ini dari beberapa penerbit dan outlet berita paling terkemuka," kata Hanif.
Ia menambahkan bahwa penggunaan bahasa atau pemilihan kata secara selektif merupakan "area yang sangat bermasalah" dan mengungkapkan bias yang dimiliki oleh perusahaan berita.
"Cara 7 Oktober dijelaskan dengan istilah yang emosional dan mengkhawatirkan seperti 'brutal,' 'barbar,' dan 'pembantaian' sangat kontras dengan pembunuhan lebih dari 40.000 warga Gaza, yang terkadang hanya disebutkan sebagai catatan kaki atau digambarkan sebagai 'kemalangan,'" kata Hanif.
Laporan Media Bias Gaza 2023-24, yang diterbitkan oleh CfMM pada Maret, mengungkapkan adanya "bias yang signifikan dalam pemberitaan media" di Inggris mengenai konflik Israel-Palestina. Media-media Inggris menggambarkan orang Israel sebagai korban serangan, 11 kali lebih sering dibandingkan dengan orang Palestina.
Diketahui, serangan yang terus berlanjut di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 40.700 warga Palestina, kebanyakan wanita dan anak-anak, serta melukai lebih dari 94.100 lainnya, menurut otoritas kesehatan setempat. Blokade di wilayah tersebut telah menyebabkan kekurangan parah makanan, air bersih, dan obat-obatan, yang meninggalkan sebagian besar wilayah dalam keadaan hancur.
Israel menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional, yang telah memerintahkan penghentian operasi militer di kota Rafah di selatan, di mana lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan sebelum daerah tersebut diserang pada 6 Mei.
Kritik terhadap media Barat sudah pernah juga diutarakan oleh Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Boroujerdi, tak lama setelah perang Israel-Hamas di Gaza pecah. Menurut Boroujerdi saat itu, Israel sedang berupaya mengubah kebenaran, yakni dengan mengubah tempat, korban dan pihak yang melakukan invasi dalam konflik Palestina-Israel.
"Mereka (negara Barat) ingin membuat framing bahwa yang melakukan invasi adalah Palestina dan yang menjadi korban adalah rezim Zionis Israel," kata Boroujerdi, akhir Oktober 2023 lalu.
Boroujerdi menjelaskan bahwa krisis di Palestina berlangsung sejak puluhan tahun silam. Yakni, ketika rezim Israel menduduki wilayah-wilayah Palestina dan mulai melakukan pembantaian, pembunuhan serta merampas hak bangsa Palestina dan bukan saat Hamas meluncurkan Operasi Badai Al Aqsa pada 7 Oktober.
"Tentu, salah satu hal yang bisa dianggap kesalahan adalah jika kita menganggap krisis di Palestina terjadi sejak beberapa pekan lalu, sejak Operasi Badai Al-Aqsa. Sedangkan masalah ini dimulai sejak puluhan tahun yang lalu," katanya.
Berdasarkan sejumlah naskah dan dokumen dari PBB, Palestina adalah wilayah yang sedang diduduki dan pihak yang mendudukinya adalah Israel. Berdasarkan kenyataan ini pembelaan sah adalah hak dari bangsa Palestina, kapan pun dan di manapun, katanya.
Menurut Boroujerdi, tujuan utama rezim Israel adalah genosida dan mereka ingin melakukan pembunuhan massal di Palestina, 'membersihkan' bangsa Palestina dan menyatukan pendudukan mereka.
"Menurutnya, rezim Zionis tidak mematuhi peraturan standar maupun regulasi apapun yang diakui secara internasional terhadap keadaan perang dan melakukan pembantaian terhadap masyarakat, menyerang rumah sakit, membunuh para pihak pihak yang tidak berdosa.
"Ini semuanya bertentangan dengan hukum internasional dan bertentangan dengan apa yang telah disepakati bersama."