Kota Semarang terkenal dengan peristiwa Lima Hari di Semarang pasca kemerdekaan RI.
Namun sejatinya, Kota Lumpia itu menjadi saksi sederet kejadian, temasuk pertempuran 75 ulama dan kiai di Tlogosari pada 1946 melawan pasukan Belanda.
Bangunan sisa brondongan peluru tentara Belanda kala itu masih bisa disaksikan di rumah milik Haji Mustofa di Tlogosari, Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Rumah milik Bapak Haji Mustofa, jadi markas atau basecamp, karena perlu penjagaan, bantuan pejuang terdiri dari ulama dan kiai," tutur juru kunci Makam Syuhada, Ponidi di lokasi, Kamis (15/8/2024).
Di belakangnya terdapat rumah milik Haji Mustofa dengan panjang sekitar 10 meter. Bangunan itu berdinding kayu jati yang diperkirakan berusia lebih dari seratus tahun.
Sepanjang dinding rumah di sebelah kiri masih terlihat jelas bekas brondongan peluru.
Pada dinding kayu itu memiliki puluhan lubang yang tersebar di bagian bawah, tengah, dan atas.
Kabar persembunyian pejuang diduga terungkap oleh mata-mata.
Menurut Ponidi, sebaran lubang di dinding itu menggambarkan situasi saat pertempuran terjadi.
Para pejuang yang terkepung di rumah itu disikat habis dengan peluru dari segala arah.
Sehingga pejuang yang tiarap maupun berdiri di dalam rumah akan tetap terkena peluru tersebut. Alhasil sebanyak 74 pejuang yang merupakan ulama itu gugur dan 1 selamat.
"Sempat melawan, tapi persenjataannya tidak imbang, hanya bambu runcing, pedang, samurai, sedangkan belanda pakai pistol, ini pelurunya besar-besar, yang di berdiri di atas kena, yang tiarap kena, jadi dari 75 mati 74," bebernya.
Dia menceritakan awalnya pasukan ulama itu membantu peperangan di Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Ketika mendengar serangan di Tlogosari, pasukan yang disebut Hizbullah dan Fisabilillah bergegas mendatangi lokasi. Namun kampung sunyi karena ditinggal mengungsi.
Menurut penelusuran sejarah yang dia peroleh, keterangan Kiai Ma'ruf, Ketua barisan Kyai seluruh Jateng menyebutkan sederet ulama yang gugur dalam peristiwa tersebut.
Di antaranya Kyai Anwar dari Solo, Kiai Tohar dari Boyolali, Kyai Sarju dari Kepatihan Solo, Hasan Anwar sebagai pimpinan Fisabilillah, serta Subakir dari Klaten yang merupakan pimpinan Hizbullah juga gugur sebagai Syuhada'.
"Kenapa dinamakan syuhada? Karena dalam peperangan orang Islam ada yang namanya mati syahid, karena jumlah orangnya banyak jadi disebut syuhada', ini (bangunan rumah) saksi bisu sampai sekarang masih asli," ungkapnya.
Dalam peristiwa itu, para pejuang yang gugur diseret dan dikubur oleh tentara Belanda dalam satu lubang besar di sebelah rumah yang kini menjadi Makam Syuhada'.
Ponidi mengatakan, saat situasi mendesak dan para pejuang merasa terkepung oleh tentara Belanda, mereka memilih melawan dengan peralatan terbatas meski harus gugur.
"Dalam keadaan terdesak itu timbul ikrar bersama, lebih baik mati sebagai syuhada daripada mati konyol tertahan musuh," terang Ponidi.
Kini peristiwa itu diperingati setiap minggu kedua bulan Muharram dengan mengaji dan mengirim doa bersama.
Penelusuran sejarah itu, dia dapat dari saksi satu-satunya pejuang yang selamat dalam serangan itu, yakni Haji Ali. Namun sosok itu telah wafat sekitar 10 tahun lalu.
Di samping itu, pada 1960 bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan, pemerintah memindahkan makam milik 40 orang pejuang ke Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.
Kemudian sepulangnya warga pasca serangan tentara Belanda di kampung itu, sebagian rumah hancur.
Namun rumah Haji Mustofa masih bisa diperbaiki dengan ditambal dari bagian dalam.
"Pulang dari pengungsian rumah udah hancur, yang depan sama belakang yang boleh diganti (direnovasi) saat itu oleh warga sini karena dianggap tempat bersejarah," lanjutnya.
Sehingga lubang bekas tembakan peluru di rumah limasan itu masih bisa disaksikan sampai sekarang. Kini rumah itu juga masih ditinggali oleh putri bungsu Haji Mustofa bernama Muslihatun yang menjadi ibu mertua Ponidi.
"Harusnya perlu pembenahan atau renovasi perawatan, jadi saya mohon pemerintah semarang ini bisa diabadikan atau diperhatikan lagi," harapnya.
Dia menambahkan saat hujan deras mengguuyur lokasi itu, rumah bersejarah terendam banjir. Hampir semua sisi dinding sudah dilapisi kayu ari dalam karena hampir roboh.
Sementara itu, Ponidi menyebut peziarah tak seramai dahulu karena kisah perjuangan syuhada kurang menyebar. Dia tetap berharap agar pemerintah memperhatikan rumah bersejarah itu agar generasi muda mau belajar.