Kelompok Hamas pada Minggu, 11 Agustus 2024, meminta tim mediator agar memaparkan sebuah rencana berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang telah dilakukan sebelumnya, bukannya membangun sebuah negosiasi baru untuk kesepakatan gencatan senjata dalam perang Gaza. Hamas saat ini pesimis bisa berpartisipasi dalam rapat pada Kamis, 15 Agustus 2024, yang diminta oleh tim mediator.
Sebelumnya pada akhir pekan lalu, Amerika Serikat, Mesir dan Qatar mendesak Israel serta Hamas agar mau kembali bernegosiasi pada 15 Agustus 2024. Pertemuan bisa dilakukan di Kairo atau Doha untuk memfinalisasi gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera.
Israel mengatakan siap mengirimkan tim negosiasi dalam rapat itu. Sedangkan Hamas awalnya mengatakan telah mempelajari tawaran tersebut, namun sekarang berubah fikir dengan tak mau terlibat dalam pembicaraan baru.
“Kami minta agar tim negosiator memapartkan rencana pelaksanaan apa yang sudah disetujui Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada 2 Juli 2024, di mana itu berdasarkan visi Biden dan resolusi Dewan Keamanan PBB,” demikian keterangan Hamas.
Menurut Hamas, tim negosiasi harus mau memberlakukan (rencana yang dipaparkan Biden) kepada Israel, bukannya membuka kembali negosiasi putaran baru atau menyorongkan proposal terbaru yang akan menutupi serangan Israel dan memberikan waktu lebih banyak pada Israel untuk melanjutkan genosida terhadap warga Gaza.
hamas bersifat fleksibel dalam proses negosiasi ini, namun Israel terus membantai warga Gaza, termasuk membunuh Kepala biro politik Hamas Ismail Haniyeh pada 31 Juli 2024. Hal ini mengindikasikan ketidakseriusan dalam mewujudkan kesepakatan gencatan senjata. Israel tidak menyangkal atau pun membenarkan pembunuhan pada Haniyeh.
Dalam proposal yang disorongkan Biden pada 31 Mei 2024, ada tahap gencatan senjata untuk menghentikan perang Gaza. Semenjak ada proposal itu, Washington dan tim mediator mencoba mewujudkan gencatan senjata demi dibebaskannya para sandera, namun upaya ini menghadapi tantangan yang sama berulang-ulang.
Saat ini terdapat risiko peningkatan perang di Timur Tengah setalah kejadian pembunuhan pada Haniyeh di Iran dan komandan militer Hizbullah Fuad Shukr di Beirut yang mengancam akan menyerang Israel.