Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

PERS RILIS “DPR RI Tidak Efektif dalam Mewakili Rakyat”

Juli 16, 2024 Last Updated 2024-07-16T11:53:54Z


Pada akhir tahun 2023, Pusat Parlemen Indonesia menerbitkan sebuah laporan akhir tahun yang membahas tentang catatan pelaksanaan fungsi DPR RI sepanjang sidang tahun 2022-2023.
Berdasarkan publikasi tersebut, IPC menemukan sejumlah refleksi fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan diplomasi parlemen yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan oleh DPR RI.


Catatan Fungsi Legislasi


Produk legislasi DPR pada tahun 2023 didominasi oleh RUU Kumulatif Terbuka. Terdapat 18 RUU Prioritas Tahun 2023 yang disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah. 15 RUU di antaranya merupakan RUU Akumulasi Terbuka. Proporsi ini tidak jauh berbeda dengan produk legislasi pada tahun sidang 2021-2022, dimana persetujuan RUU Kumulatif Terbuka menjadi UU mendominasi dengan 22 RUU, sedangkan 10 sisanya merupakan inisiatif DPR, DPD, atau Pemerintah. Praktiknya, pembentukan RUU kumulatif terbuka, minim partisipasi dan dibentuk dalam waktu yang relatif singkat.  


Berdasarkan 18 RUU yang telah disahkan menjadi UU, transparansi pembahasannya sangat minim, yaitu:

  • Hanya 2 RUU dari 18 RUU, yang diumumkan RUU dan naskah akademiknya. 
  • Hanya 1 RUU dari 18 RUU, yang diumumkan risalahnya yaitu RUU tentang Landas Kontinen (UU No. 16 Tahun 2023)
  • 18 RUU ini merupakan RUU prioritas tahun 2023 yang telah disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah


Data di atas selaras dengan hasil pemantauan IPC terhadap RUU Prolegnas Prioritas 2023 yang menunjukkan bahwa transparansi dokumen pembentukan undang-undang tidak mencapai setengahnya, yaitu:

 

Dokumen Persentase
Naskah Akademik 23,7%
Draf RUU 34,21%
Laporan Singkat 48,23%
Catatan Rapat 18,58%
Risalah 4,42%

sumber: diolah berdasarkan hasil publikasi sileg DPR RI hingga Desember 2023


Beberapa produk DPR RI yang disahkan pada tahun 2023 menuai respon yang problematis. Seperti: 

  1. Pengesahan PERPPU Cipta Kerja (PERPPU No. 2 Tahun 2022) menjadi UU Cipta Kerja yang berdampak pada putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Melalui putusan tersebut, seharusnya dilakukan upaya revisi UU Cipta Kerja oleh DPR RI namun Pemerintah justru menerbitkan PERPPU dan kemudian disahkan menjadi UU oleh DPR RI. Proses ini juga tidak mampu menjawab partisipasi bermakna dan transparansi dalam proses pembahasannya. 
  2. Kurangnya transparansi dan partisipasi juga terjadi dalam pembahasan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan RUU Perubahan Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  3. Pembentukan RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) justru mengandung degradasi demokrasi. Pada pasal 19, RUU tersebut terbuka kembali ruang bagi TNI dan POLRI aktif untuk mendudukan jabatan ASN tertentu. Pasal ini jelas bertentangan dengan UU Polri dan UU TNI itu sendiri (Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (1) UU TNI). 


Di sisi lain, ada beberapa RUU yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat namun tidak ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh oleh DPR dan Pemerintah, meliputi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. 19 tahun RUU PPRT dan 14 tahun RUU Masyarakat Hukum Adat tak kunjung selesai. Meskipun tahap harmonisasi telah selesai di Badan Legislasi. Artinya kedua RUU tersebut tinggal menunggu persetujuan pimpinan DPR untuk dapat dilanjutkan pembahasannya ke tahap pembicaraan tingkat I. Fakta ini berbanding terbalik dengan getolnya Revisi UU Ibu Kota Negara (IKN) yang hanya butuh waktu 153 hari sejak diundangkan untuk dibahas kembali di DPR RI. 


Meskipun perlu didalami lebih lanjut, namun pembahasan undang-undang yang terburu-buru, minim transparansi dan partisipasi, serta penundaan pembahasan yang berlarut-larut terhadap RUU tertentu telah menunjukkan pelaksanaan fungsi legislasi DPR yang “Setengah hati”. Menurut Briab Z Tamanaha (2004) kondisi ini disebut dengan rule by law yang berarti undang-undang telah menjadi alat kekuasaan dan kepentingan ekonomi tertentu. 


Prolegnas Prioritas tahun 2024 sebagian besar adalah Carry Over atau luncuran dari tahun sebelumnya. RUU luncuran sejak tahun 2022, sebanyak 51% atau 24 RUU. 28% merupakan carry over dari prioritas tahun 2023. Sementara hanya 21% atau sekitar 10 RUU merupakan usulan baru yang masuk dalam prioritas 2024. Tahun ini juga menjadi tahun politik, dimana terdapat 89% caleg incumbent. Artinya ada 508 dari 575 anggota DPR maju kembali dalam perebutan kursi legislatif 2024. Kondisi ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi DPR RI untuk dapat menyelesaikan amanat dan aspirasi rakyat secara efektif dalam sisa periode 2019-2024. 


Catatan Fungsi Anggaran 


1.Peran check and balances DPR dalam pembahasan RAPBN belum maksimal. 


Pada RPJMN 2020-2024 menyebutkan bahwa terdapat 41 Proyek Prioritas Strategis  (Major Project) atau PPS yang sebagian besar adalah pembangunan infrastruktur, mulai dari jalan, transportasi, bandara, pelabuhan dan sebagainya. Tentu saja, dalam pelaksanaan PPS dibagi dalam beberapa tahun. Mengacu pada kerangka PPS dalam RPJMN 2020-2024 ini alokasi belanja APBN 2023 mengarah pada kementerian yang bergerak pada bidang infrastruktur. Pada faktanya, alokasi terbesar belanja K/L jatuh pada Kementerian Pertahanan yang tidak memiliki mandat dalam pembangunan infrastruktur sipil atau infrastruktur publik.


Ada ketidakseimbangan pengalokasian yang perlu dilihat oleh DPR dalam pembahasan APBN 2023 ini. Tidak ada penjelasan mengapa DPR mengalokasikan satu kementerian lebih besar dibanding kementerian yang lain. Karena, secara logika setiap pengalokasian anggaran di satu bidang, akan mengorbankan kepentingan publik di bidang yang lain. Argumentasi yang kuat memberikan pemahaman kepada publik tentang mengapa pajak yang mereka bayarkan digunakan dengan baik sebagaimana mestinya. 


2.Pengelolaan aspirasi pembangunan yang tidak transparan, partisipatif dan akuntabel


Salah satu instrumen yang dipergunakan DPR untuk dapat mengintervensi RAPBN adalah Usulan Program dan Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Gagasan ini dituangkan dalam Peraturan DPR Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. UP2DP diusulkan oleh Anggota DPR atau sekelompok Anggota DPR yang bersumber dari inisiatif pribadi, pemerintah daerah maupun masyarakat di daerah pemilihan. DPR mengagendakan pembahasan UP2DP dalam rapat paripurna pada bulan Maret setiap tahunnya.


UP2DP ini memiliki peluang besar untuk dapat direalisasikan karena disampaikan langsung oleh Pimpinan DPR kepada Presiden agar dimasukkan dalam usulan RAPBN. Anggota DPR menerima dalam bentuk program kegiatan untuk daerah pemilihannya. Dengan UP2DP ini sekaligus Anggota DPR menunjukkan bahwa sebagai wakil rakyat dia telah memenuhi harapan konstituennya, meskipun usulan yang diperbolehkan masih terbatas pada pembangunan fisik.


Kejelasan mekanisme dalam UP2DP ini sayangnya tidak diikuti dengan mekanisme yang lebih transparan, partisipatif dan akuntabel dimana masyarakat di dapil dapat memberikan usulan aspirasi secara langsung, terbuka bagi publik dan dapat dipertanggungjawabkan proses dan hasilnya. Dampaknya, alokasi untuk UP2DP ini hanya dapat diakses secara terbatas di daerah pemilihan.


Praktik “dana optimalisasi” yang masih berlaku, terutama pada pembahasan APBN-P, pada kenyataannya tidak diketahui publik kemana realokasi dana hasil optimalisasi tersebut. Dana optimalisasi adalah anggaran yang muncul karena penyisiran atas pendapatan dan belanja dalam Rancangan APBN. Anggaran ini tidak ada dalam Rancangan APBN dan baru muncul saat pembahasan antara pemerintah dan DPR.


Jika dilihat lebih lanjut, “dana optimalisasi” ini peluang besar bagi DPR untuk dapat lebih leluasa me-realokasi untuk kepentingan konstituen di daerah pemilihan. Terlepas dari kebutuhan pemerintah untuk menutupi defisit anggaran, dana optimalisasi ini dapat dipergunakan untuk merealisasikan aspirasi masyarakat di dapil yang tidak tertampung dalam RAPBN.


3.Alokasi anggaran untuk DPR mengalami kenaikan anggaran dari tahun ke tahun dan Tidak Transparan. 


Pada 2021 DPR mengelola anggaran sebesar Rp. 5.416.163.047,130, lalu naik pada  2022 sebesar Rp. 5.602.921.531,931. Pada 2023 DPR mengelola anggaran sebesar dengan rincian 4.484.229.865.000 untuk fungsi kedewanan dan Rp. 1.613.982.690.000 untuk sekretariat Jenderal DPR RI.


Catatan Pengawasan 


DPR RI melalui Alat Kelengkapan Dewan sepanjang tahun 2023 telah melaksanakan 607 kali rapat serta telah membentuk 50 Panitia Kerja dan 9 Tim Pengawas DPR RI. Berikut merupakan data jumlah rapat yang didapatkan melalui laporan singkat di website DPR RI.


Berdasarkan data tersebut Komisi X memiliki tingkat intesitas tinggi dalam melakukan rapat pengawasan  terhadap mitra kerjanya dengan jumlah 106 kali rapat dan Komisi IX sedikit melakukan rapat pengawasan terhadap mitra kerjanya dengan jumlah 23 kali rapat. 


Padahal jika ditelisik kembali instruksi DPR RI kepada Pemerintah di Rapat pengawasan banyak tidak dijalankan sehingga perlu menggunakan mekanisme pengawasan yang investigatif seperti mengajukan hak angket dan hak interpelasi, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh DPR RI sehingga efektifitas pengawasan DPR RI kepada Pemerintah cukup lemah, berikut merupakan data perbandingan tentang jumlah instruksi DPR RI kepada Pemerintah yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan.


Dari data tersebut bisa melihat bahwa hasil rapat pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI untuk memberikan instruksi hanya sekitar 20% yang dilaksanakan oleh Pemerintah sisanya 80% tidak dilaksanakan. Hal ini menandakan kurangnya kontrol DPR RI terhadap instruksi yang telah diberikan kepada Pemerintah membuat kebijakan yang dibuat selama ini hanya berdasarkan keinginan Eksekutif tanpa validasi oleh legislatif. 


Selain itu ada Panitia Kerja yang dibentuk khusus oleh Alat Kelengkapan Dewan untuk mengawasi isu spesifik mengenai kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Berikut merupakan data panitia kerja yang telah selesai melakukan tugas pengawasan dan belum selesai melaksanakan pengawasan. 


Pada tahun 2023, total terdapat 50 Panja Pengawasan DPR RI. Dari jumlah tersebut, sebanyak 29 Panja (58%) belum selesai dan sebanyak 21 Panja (42%) sudah selesai. Panja Pengawasan DPR RI dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan program pemerintah. Panja Pengawasan DPR RI dapat dibentuk oleh Badan Legislasi (Baleg) atau komisi-komisi di DPR RI. 


Selain Panitia Kerja, Pimpinan DPR RI juga membentuk tim pengawas untuk menyelesaikan pengawasan yang sifatnya tidak terselesaikan melalui panja. Ada 9 (Sembilan) Timwas dan ini sudah dibentuk dari tahun sebelumnya yakni tahun 2021. Berikut tabel mengenai timwas DPR RI.


No Timwas Kesimpulan
1 Implementasi Reformasi DPR Belum tuntas 
2 Tim Open Parliament
Indonesia
Belum tuntas 
3 Tim Pemantau DPR terhadap Implementasi Otonomi Khusus DIY Yogyakarta. Belum tuntas 
4 Tim Pemantau DPR terhadap Implementasi Otonomi Khusus DKI Jakarta. Belum tuntas 
5 Tim Pemantau DPR terhadap Implementasi Otonomi Khusus Provinsi Aceh. Belum tuntas 
6 Tim Pemantau DPR terhadap Implementasi otonomi khusus Papua Barat. Belum tuntas 
7 Tim Pemantau DPR Terhadap Implementasi Otonomi Khusus Provinsi Papua Belum tuntas 
8 Tim Pengawas DPR terhadap Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia (Timwas PPMI)
Belum tuntas 
9 Tim
Pengawasan Pembangunan Wilayah Perbatasan
Belum tuntas 

Sumber data : Laporan Akhir Tahun DPR RI di website www.dpr.go.id data yang diolah oleh Indonesian Parliamentary Center 


Berdasarkan temuan di atas bahwa Tim Pengawas DPR RI yang dibentuk oleh DPR RI sepanjang tahun 2021-2023 hanya tuntas satu saja yakni Timwas mengenai haji. Hal ini diukur pengawasan melalui Timwas juga tidak berjalan efektif dikarenakan ketidakmampuan Pimpinan DPR RI untuk mengkoordinir anggota Timwas DPR RI yang telah dibentuk. [sb]

×