Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kisah Pratiwi Sudarmono, Astronot Indonesia yang Hampir ke Luar Angkasa Bersama NASA

Juli 07, 2024 Last Updated 2024-07-07T12:32:38Z


Indonesia pernah hampir mencatatkan sejarah dengan mengirimkan seorang astronot pertamanya.


Adalah Pratiwi Sudarmono, astronot pertama Indonesia yang hampir mengudara bersama Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).


Dikutip dari Kompaspedia, Pratiwi dijadwalkan untuk ikut dalam misi penerbangan ruang angkasa dengan menggunakan pesawat ulang-alik Challenger pada Juni 1986.


Misi tersebut rencananya akan membawa tiga satelit, termasuk satelit kebanggaan Indonesia, Palapa B-3 sebelum dibatalkan karena adanya sebuah insiden.


Lantas, bagaimana kisah Pratiwi Sudarmono yang batal mengudara bersama NASA?


Rencana penerbangan Pratiwi bersama NASA

Perempuan bernama lengkap Pratiwi Pudjilestari Sudarmono ini terpilih sebagai astronot pertama Indonesia yang akan ikut dalam penerbangan ruang angkasa dengan Challenger pada Juni 1986.


Ia berhasil lolos dari seleksi ketat, baik di dalam maupun luar negeri untuk misi penerbangan tersebut.


Selain Pratiwi, seorang Sarjana Teknik Telekomunikasi ITB, Ir Taufik Akbar juga menjadi astronot cadangan dalam misi tersebut.


Pratiwi dan Taufik berhasil menyingkirkan dua calon terbaik lain dalam seleksi, yaitu kapten pilot dari Dirjen Perhubungan Udara, MK Yusuf dan wartawan majalah mingguan Tempo, Ir Bambang Harymurti.


Pratiwi bersama astronot lain seharusnya terbang bersama NASA selama tujuh hari dalam penelitian Indonesian Space Experiment (Inspex).


Penelitian tersebut antara lain percobaan sel darah merah dalam kondisi tanpa bobot, pemantauan flora mikroba, dan pengembangan awal pertumbuhan sel binatang dan tumbuhan di luar angkasa.


Presiden Indonesia saat itu, Soeharto sangat berharap Pratiwi untuk berpartisipasi dalam misi tersebut sebagai landasan awal Indonesia dalam dunia antariksa.


Insiden Challenger meledak 1986


Namun, rencana Pratiwi untuk terbang bersama NASA pupus usai adanya insiden pesawat Challenger meledak yang menggemparkan dunia.


Pasalnya, insiden nahas itu disiarkan secara langsung melalui siaran televisi di seluruh dunia dan ribuan penonton yang diundang ke lokasi. 


Pesawat tersebut meledak setelah 75 detik diluncurkan di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS). Tjuh astronot asal Amerika Serikat meninggal dunia dalam insiden itu.


Pesawat Challenger itu sebenarnya sempat tiga kali ditunda mengudara dan jadwal penerbangan terakhirnya juga diundur selama dua jam.


Pesawat milik AS tersebut meledak diduga karena tangki bahan bakar yang berkapasitas 1,9 juta liter pecah.


Dikutip dari Kompas.com (16/3/2022), usai kejadian tersebut, kepastian kapan Pratiwi mengudara tak pernah jelas.


Meskipun demikian, Pratiwi masih tetap wajib menjaga kebugarannya karena program tersebut belum resmi dinyatakan bubuar.


Lima tahun kemudian, daftar nama calon astronot yang berasal Indonesia sudah tidak ada lagi di NASA.


Di sisi lain, satelit Palapa B-3 yang rencananya terbang bersama Pratiwi akhirnya diluncurkan pada 21 Maret 1987.


Satelit asal Indonesia tersebut dibawa dengan menggunakan Roket Delta tanpa awak yang dioperasikan oleh NASA.


Menjadi guru besar di UI 


Usai batal mengudara, perempuan kelahiran Bandung, 31 Juli 1952 ini kembali menekuni bidang ilmunya sebagai doktor mikrobiologi.


Pratiwi menghabiskan waktunya di laboratorium yang dikembangkan dengan Bantuan Presiden yang sering disebut “Laboratorium Indah.”


Ia memiliki minat utama pada mikrobiologi klinik, khususnya penyakit menular.


Dikutip dari Kompas.id (15/4/2024), Pratiwi pernah menjadi Kepala Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kedokteran yang bertanggung jawab pada Menteri Kesehatan (Menkes).


Sebelum pensiun pada Juli 2022, ia masih membimbing mahasiswa S3 dan menjadi Kepala Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran UI.


Pratiwi juga masih menangani sampel Covid-19 saat perlengkapan PCR masih terbatas pada 2020.


Pratiwi ikut menangani sampel dari 37 rumah sakit di Jakarta dan jumlahnya pernah mencapai 2.000-an sampel per hari.


”Pengerjaan kami lakukan dalam 2-3 shift, tapi asisten yang mengerjakan (yang jumlahnya ditambah dari beberapa hingga 30-an) di antaranya sempat merasa ’seram’ bekerja di gedung tua Lab Mikrobiologi,” ungkap Pratiwi.


Baca juga: Perbedaan Seragam Astronot Putih dan Oranye, Berikut Masing-masing Fungsinya

×