Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kenaikan PPN untuk Rakyat, Bebas Pajak untuk Konglomerat

Juli 11, 2024 Last Updated 2024-07-11T11:34:23Z


Salah satu warisan yang bakal dipikul oleh pemerintahan Prabowo Subianto dari pendahulunya, Joko Widodo (Jokowi) adalah kenaikan PPN menjadi 12%.


Kenaikan PPN 12% adalah konsekuensi logis dari implementasi Undang-undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP.


UU itu menetapkan bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Artinya, terdapat ruang agar tarif PPN turun, tetapi juga masih bisa terus naik.


Sejak UU itu berlaku, pemerintah telah menetapkan kenaikan PPN sebanyak 1 kali yakni pada 1 April 2022. Pada waktu itu terjadi kenaikan tarif sebesar 1% atau dari 10% menjadi 11%. Kemudian akan menjadi 12% pada 1 Januari 2025.


Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, PPN termasuk pajak objektif. Pengenaannya berdasarkan objek pajak, dalam hal ini barang konsumsi, dan tidak mengenal kondisi wajib pajak atau subjek pajak. Itu artinya mau kaya, kelas menengah, atau fakir miskin, tetap dikenakan PPN jika mengonsumsi atau menggunakan jasa kena pajak.


Persoalannya, rencana kenaikan PPN 12% terjadi di tengah indikasi terjadinya 


penurunan daya beli. Indikasi penurunan daya beli itu tercermin dari realisasi penerimaan PPN pada semester 1/2024. Penerimaan PPN dalam negeri tercatat terkontraksi hingga 11%.


Dalih pemerintah itu adalah penerimaan netto. Sementara PPN brutonya masih tumbuh 9,2%, meskipun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, sebenarnya terjadi pelambatan karena pada waktu itu masih tumbuh di angka 18,3%. 


Selain dari sisi penerimaan pajak, kenaikan PPN jelas akan mempengaruhi harga barang yang dikonsumsi masyarakat. Jika terjadi kenaikan harga barang, struktur pengeluaran masyarakat juga berpotensi terjadi pergeseran.


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Maret 2024, distribusi pengeluaran 20% masyarakat teratas, 40% masyarakat menengah, dan 40% masyarakat bawah masih sangat timpang. 


Penduduk 40% masyarakat terbawah hanya berkontribusi sebesar 18,4% dari total pengeluaran. Sementara itu penduduk 40% menengah di angka 35,69%. Penduduk 20% teratas berkontribusi paling besar yakni 45,91%.


Adapun soal kenaikan PPN, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Mei lalu mengungkapkan bahwa keputusan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 akan diserahkan pada pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.


“Mengenai [kenaikan tarif] PPN, kami serahkan pada pemerintahan baru,” katanya.


Sri Mulyani menyampaikan pihaknya akan terus melakukan komunikasi dengan tim dari presiden terpilih Prabowo Subianto terkait program-program yang akan dijalankan pada tahun depan.


Bebas Pajak untuk Konglomerat 


Di tengah sengkarut kenaikan PPN, pemerintah justru tengah sibuk membahas tentang family office bagi konglomerat. Gagasan tentang family office getol disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.


Luhut bahkan mengklaim bahwa konsep ini akan berimplikasi positif terhadap ekonomi Indonesia. Pasalnya family office akan meningkatkan peredaran modal yang ujung-ujungnya mengerek produk domestik bruto (PDB) Indonesia.


Rencananya Bali akan menjadi proyek utama family office. Nantinya, jika program ini benar-benar terealisasi, Luhut berangan-angan para keluarga konglomerat yang memiliki kantor keluarga di Bali akan memperoleh fasilitas pembebasan pajak.


"Mereka tidak dikenakan pajak, mereka harus investasi dan investasinya itu yang kita pajaki," klaim Luhut dalam penjelasan resminya yang dikutip, Senin (8/7/2024).


Kendati demikian, harapan Luhut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi saingan Indonesia, seperti Singapura dan Hong Kong, telah jauh lebih berpengalaman dalam pengembangan family office.


Singapura dan Hong Kong telah memiliki reputasi sebagai pusat keuangan global, jadi para investor atau keluarga konglomerat merasa aman menyimpan atau menginvestasikan uang mereka di negara tersebut. Dana atau investasi asing yang masuk ke Indonesia mayoritas juga berasal dari Singapura.


Saat ini ada sekitar 1.500 family office di Singapura dan sekitar 1.400 di Hong Kong. Kendati demikian, kebijakan-kebijakan ramah pajak tersebut, membuat Singapura maupun Hong Kong telah lama memiliki reputasi sebagai suaka pajak alias tax haven. Ada ratusan triliun harta milik warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di negeri Jiran tersebut, khususnya Singapura.


Para buronan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI sebagian juga tercatat memiliki aset atau tempat tinggal di Singapura. Bisnis juga mencatat beberapa perusahaan asal Indonesia memiliki anak usaha di Singapura (sebagian omsetnya lebih tinggi dibanding induknya di Indonesia), yang diduga tujuannya untuk melakukan penghindaran pajak.


Sementara itu Indonesia, kendati berangsur positif, tetapi reputasi pasar keuangan di Indonesia juga masih jauh panggang dari api dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong.


Belum lagi, ada persoalan yang cukup pelik jika family office itu benar-benar terealisasi. Bagaimana pemerintah bisa menjamin jika harta atau uang milik keluarga crazy rich murni dari proses bisnis. Alih-alih mendatangkan modal,  uang atau harta yang ditempatkan atau dikelola family office di Indonesia itu berasal dari hasil kejahatan entah itu pengemplang pajak, korupsi, atau kejahatan keuangan lainnya.


Selain itu, Indonesia juga memiliki persoalan klasik tentang kepastian hukum. Penegakan hukum kerap menimbulkan ketidakpastian. Padahal, orang berinvestasi atau mau menempatkan uangnya butuh kepastian baik dari sisi regulasi dan kepastian hukum terkait aset-aset yang nantinya mereka akan simpan. 


Pengalaman tax amnesty jilid 1, dimana hasilnya tidak terlalu berpengaruh terhadap struktur penerimaan pajak dan perekonomian secara umumnya, perlu menjadi warning bagi pemerintah. Jangan sampai family office mengulangi kesalahan tax amnesty jilid 1 yang yang direpatriasi masih sangat minim.


Adapun Luhut cukup pede, bahwa family office mampu menarik dana global dan mengambil celah dari ketidakpastian yang sedang dihadapi oleh Singapura dan Hong Kong. Di sisi lain, bekas Jenderal Komando Pasukan Khusus alias Kopassus itu juga menekankan perlunya kerja sama antar semua lembaga. 


Luhut berujar untuk menghindari uang yang dibawa merupakan hasil dari tindak kejahatan misalnya pencucian uang, pemerintah akan melibatkan aparat penegak hukum di antaranya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan.


“Semua kami libatkan nanti kami pergi, saya ajak mereka untuk melihat. Kami semua kerja tim jadi bukan satu aspek saja. Kalau tadi ada di Dubai, Singapura kenapa tidak bisa (Indonesia) kita jangan jadi alien, jangan pikir terus takut,” ucapnya dilansir dari Antara.


Penerimaan Pajak 'Crazy Rich' 


Di sisi lain, wacana family office yang rencananya akan memberikan insentif besar-besaran dari sisi perpajakan, seolah bertolak belakang dengan penerimaan pajak orang kaya yang direpresentasikan melalui penerimaan PPh 21 orang pribadi non karyawan.


Selama semester 1/2024, jumlah setoran pajak orang kaya ke negara hanya Rp10,3 triliun atau  1,1% dari total penerimaan pajak senilai Rp893,8 triliun.


Kontribusi PPh 21 Op terhadap penerimaan pajak nyaris tidak pernah berubah meski pemerintah telah menggelontorkan dua kali melakukan tax amnesty alias pengampunan pajak.


Setoran pajak 'orang kaya' juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan pajak yang disetor oleh karyawan yang mampu tembus senilai Rp138,4 triliun atau 15,4%. Data tersebut membuktikan bahwa nyaris tidak ada perubahan struktur penerimaan pajak meski pemerintah telah 2 kali melakukan pengampunan pajak.


Surga Pencucian Uang?


Secara terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan family office rentan menjadi tempat pencucian uang.


Orang yang menanamkan harta atau uang di family office, kata Bhima, memiliki banyak sekali layer investasi yang memang akan sulit dilacak oleh otoritas pajak. Selain di Singapura, Hong kong, dan London, mereka juga memiliki banyak sekali pembukaan kantor di negara suaka pajak.


"Ada Gibraltar, British Virgin Island, kemudian ada di Panama. Nah, itu salah satu ciri Family Office. Memang mereka sangat rentan menjadi tempat pencucian uang."


Bhima khawatir jika program itu dipaksakan masuk ke Indonesia justru akan merusak reputasi sektor keuangan RI karena Indonesia dianggap melakukan race to the bottom.


"Jadi race to the bottom ini adalah perlombaan ke dasar, dengan memberikan insentif perpajakan, kalau perlu bebas pajak ini seperti upaya desperate atau putus asa dalam menarik modal dari luar negeri untuk berinvestasi langsung."


Di sisi lain, family office kalaupun nantinya berhasil ditarik, sebagian besar asetnya berbentuk portofolio keuangan, bukan FDI atau Foreign Direct Investment.


Menurutnya, para pemilik dana atau harta nantinya hanya bermain di surat utang, saham. Artinya, tidak berinvestasi secara langsung dalam membangun pabrik. Padahal, menurut Bhima, yang dibutuhkan sekarang ini justru menarik investasi masuk ke Indonesia dalam bentuk relokasi industri yang bersifat padat karya.


Bhima menilai ada tujuan yang melenceng jauh dari upaya menarik investasi yang berkualitas. "Justru yang harus dikerjakan kerja sama perpajakan internasional, kemudian justru melakukan pajak bagi orang kaya atau wealth tax. Nah, itu yang harus dilakukan. Kalau ini [Family Office], kesannya seperti pengampunan pajak jilid 3 gitu ya berkedok family office."

×