Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Hampir satu juta sushi dibuang dalam sehari oleh minimarket di Jepang, apa penyebabnya?

Juli 23, 2024 Last Updated 2024-07-22T23:09:25Z

Minimarket di seantero Jepang selalu berujung membuang banyak sekali makanan yang masih layak dikonsumsi. Para pegiat di Tokyo pun berupaya mengubah kebiasaan itu.


Riko Morinaga, seorang lulusan SMA di Tokyo, biasanya menghabiskan malam minggunya dengan berkumpul bersama teman-temannya.


Namun pada 3 Februari lalu, ada yang berbeda. Malam itu adalah hari libur Setsubun, yakni perayaan menyambut musim semi. Hari itu juga merupakan hari pembuangan sampah makanan terbesar di Jepang.


Setiap tahun pada hari Setsubun, toko-toko di seluruh Jepang menyediakan sushi yang disebut ehomaki. Pada penghujung malam, ratusan ribu sushi ini berakhir di tempat sampah.


“Toko-toko selalu menyediakan apa yang diinginkan pelanggan, jadi rak-rak mereka harus selalu terisi,” kata Morinaga.


“Itu menyebabkan makanan-makanan terbuang.”


Pada Setsubun lalu, Morinaga dan pilihan relawan lainnya mengunjungi 101 minimarket di Jepang untuk mencatat jumlah ehomaki yang tersisa di rak-rak setelah lewat pukul 21.00.


Jumlahnya ternyata sangat mengejutkan.


Ketika Morinaga mampir ke FamilyMart di dekat stasiun Shibuya pada pukul 21.06, dia menghitung ada 72 gulung sushi. Kemudian di 7-Eleven pada pukul 21.18, dia menemukan 93 gulung sushi.


Berdasarkan data yang dikumpulkan para relawan itu, Rumi Ide—peneliti independen, aktivis dan jurnalis yang mengkoordinasikan survey tersebut—memperkirakan bahwa 55.657 minimarket di Jepang telah membuang 947.121 ehomaki senilai 700-800 juta yen (Rp70,7 - Rp80,8 miliar).


Ide kemudian mempublikasikan hasil survey ini di situs berita Yahoo Jepang demi meningkatkan kesadaran orang-orang soal masalah tersembunyi ini.


Ini bukanlah persoalan yang muncul hanya saat itu. Sushi ehomaki menggambarkan masalah yang lebih luas mengenai limbah makanan di Jepang.


Ehomaki juga memperlihatkan bagaimana minimarket yang tersebar di mana-mana di Jepang, yang terkenal dengan makanan cepat basi seperti sushi, sandwich dan makan malam siap saji berkontribusi pada persoalan ini.


Banyak dari minimarket ini buka 24 jam selama 365 hari dalam setahun. Namun di balik kenyamanan yang ditawarkan, Ide mengatakan “terdapat sampah makanan berjumlah besar yang tidak disadari oleh para konsumen”.


Pada suatu malam ketika saya mengunjungi beberapa minimarket di Tokyo bersama Ide dan Morinaga, rak-raknya seperti biasa dipenuhi dengan onigiri, sandwich, salad, makanan cepat saji yang bisa dipanaskan dengan microwave, dan makanan manis.


Meskipun sebagian dari makanan ini akhirnya dibeli sebelum malam berakhir, namun menurut Morinaga, banyak juga yang dibuang ke tempat sampah.


“Sebagian masalahnya adalah karena kita sudah menganggap biasa membuang makanan,” kata dia.


Sulit untuk mengukur seberapa besar masalah ini karena perusahaan-perusahaan minimarket Jepang biasanya tidak transparan mengenai kerugian mereka.


Perwakilan dari 7-Eleven dan Lawson, dua jaringan minimarket besar di Jepang, mengatakan kepada BBC bahwa mereka tidak mengungkap jumlah limbah makanan yang dihasilkan oleh toko-toko mereka.


Perwakilan dari FamilyMart, jaringan minimarket besar lainnya, tidak menanggapi permintaan wawancara BBC. Namun perusahaan ini mengungkapkan melalui situsnya bahwa mereka menghasilkan 56.367 ton limbah makanan per hari.


Pada 2020, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Jepang memperkirakan bahwa jaringan swalayan besar di Jepang membuang makanan senilai rata-rata 4,68 juta yen per tahun. Itu setara dengan perkiraan kerugian tahunan mereka sebesar lebih dari 260 miliar yen.


“Sungguh gila betapa banyaknya makanan yang kita buang,” kata Ide.


Padahal, kata dia, Jepang mengimpor 63% makanannya dari luar negeri. Ini berarti pemborosan uang dan sumber daya, juga berkontribusi terhadap perubahan iklim karena proses produksi, transportasi dan pembuangan sampahnya (dengan cara dibakar) menghasilkan emisi.


Jepang telah berkomitmen untuk mengurangi separuh sampah makanannya menjadi 4,9 juta ton pada tahun 2030, sebagai bagian dari komitmennya terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB.


Pada tahun 2000, Jepang menghasilkan 9,8 juta ton sampah makanan. Namun trennya menunjukkan perbaikan. Pada tahun 2012, jumlah sampah makanan telah turun menjadi 6,4 juta ton, lalu turun lagi menjadi 5,23 juta ton pada 2021.


Namun menurut beberapa aktivis, itu belum cukup. Untuk mencapai target SDG terkait sampah makanan, negara harus menyusun targetnya berdasarkan data pada tahun 2015. Dengan menyandingkan trennya dengan data tahun 2000, ketika jumlahnya lebih besar, Ide menuding Pemerintah Jepang “menggunakan pendekatan yang curang”.


Dia dan para aktivis lainnya mengharapkan perubahan yang lebih signifikan. Menurut mereka, langkah pertama yang krusial bisa dilakukan dengan menargetkan sampah makanan dari minimarket-minimarket.


Sebagian solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah ini sangat spesifik untuk situasi di Jepang, namun ada juga solusi-solusi yang bisa diterapkan negara-negara lain di seluruh dunia.


Harga dari sebuah kenyamanan


Ide menyadari persoalan limbah makanan pada tahun 2011, ketika bencana pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima terjadi.


Saat itu, dia bekerja di Kellog Jepang. Atasannya menugaskan Ide untuk mengkoordinasikan bantuan ke pusat-pusat pengungsian.


Dia kaget ketika mengetahui bahwa makanan yang dibawa ke pengungsian kerap dibuang, bukannya sampai ke tangan para pengungsi yang membutuhkan.


Suatu waktu, para sukarelawan mengantarkan ribuan bento dan produk roti. Tetapi karena berbagai masalah birokrasi, termasuk kurangnya standarisasi makanan, Ide mengatakan banyak makanan akhirnya tidak sampai ke para korban bencana.


“Saya tidak tahu kenapa,” kata Ide sambil menggelengkan kepalanya.


“Itu sangat konyol.”


Apa yang terjadi saat itu menginspirasi Ide untuk menggali lebih dalam persoalan tersebut.


Dia sangat marah dengan temuannya, sehingga dia memutuskan mengundurkan diri dari Kellog. Ide kemudian bekerja penuh untuk memecahkan masalah limbah makanan.


Lebih dari satu dekade kemudian, hampir semua orang di Jepang yang peduli dengan isu ini mengenal Ide melalui media, buku, artikel dan seminar yang dia gelar di berbagai tempat.


Menurut Morinaga, “Ide adalah orang yang sangat terkenal.”


Namun bagi para pegawai minimarket seperti Masafumi Kawano yang bekerja di 7-Eleven, kritik Ide justru membuat perempuan itu menjadi “salah satu orang yang paling tidak disukai di negeri ini”. Kawano merupakan ketua serikat pekerja di 7-Eleven dan jaringan minimarket lainnya.


Ide bukan satu-satunya yang berkomitmen menyelesaikan persoalan ini.


Dia bekerja sama dengan jejaring luas masyarakat dan orang dalam industri yang ingin mereformasi sistem, serta membantu mengumpulkan data tentang bagaimana praktik yang buruk di industri telah berkontribusi pada timbulnya sampah makanan.


Sakura Kinjo, yang baru saja lulus SMA dan bekerja bersama Ide, sangat peduli dengan persoalan sampah makanan sehingga dia bekerja paruh waktu di sebuah cabang kecil dari jaringan minimarket besar di Osaka demi mengumpulkan informasi. Namun dia menolak menyebutkan nama jaringan tempat dia bekerja.


Menurut Kinjo, satu jam sebelum toko tutup, dia dan rekan-rekannya mulai mengambil makanan dari rak. Biasanya ada sekitar 50-70 produk per hari termasuk sushi, bento, onigiri, sandwich, dan makanan manis.


Melihat semua sampah makanan itu “membuat hati saya sakit”, kata Kinjo.


Semua makanan yang dia singkirkan dari rak-rak itu kemudian dibuang ke tempat sampah. Ketika dibuang, makanan-makanan itu masih layak dikonsumsi.


Itu karena makanan diambil dari rak bukan saat kadaluawrsa, tapi ketika makanan tersebut sudah mencapai dua pertiga dari waktu produksi menuju kadaluwarsa. Ini adalah strategi yang bertujuan untuk menjamin kesegaran makanan bagi para pelanggan.


“Beberapa produk dibuang tiga atau empat hari sebelum tanggal kadaluwarsa,” kata Kinjo.


Karyawan tidak diizinkan untuk memakannya atau membawa pulang makanan yang akan dibawa pulang, sebab pemilik waralaba ingin para pekerjanya membeli makanan itu.


Suatu hari, Kinjo mengaku pernah menyelinapkan makanan dari kantong sampah, lalu memakannya di belakang agar tidak ada yang melihat.


Biaya tambahan untuk sampah


Ide mengatakan bahwa persoalan limbah makanan ini ternyata turut membebani konsumen.


Para pembeli membayar harga makanan yang lebih tinggi untuk melindungi perusahaan ritel dari kerugian yang tidak terelakkan, sebagai imbas dari membuang makanan sebelum waktu kadaluwarsanya.


Belum lagi pajak yang dikenakan untuk menutupi biaya pembakaran sampah lokal.


"Kalau orang-orang menyadari bahwa mereka menghabiskan banyak uang untuk sampah makanan, saya rasa pandangan dan sikap mereka akan berubah," kata Ide.


Bagi sebagian besar konsumen, dampak ekonomi dari sampah makanan mungkin tidak terlihat secara jelas. Namun bagi pemilik waralaba minimarket, dampaknya cukup besar.


Para pemilik waralaba membeli makanan dari kantor pusat dan menanggung sebagian besar biaya untuk setiap makanan yang terbuang.


Juru bicara 7-Eleven mengonfirmasi bahwa pemilik waralaba menanggung 85% biaya limbah makanan, sementara kantor pusat hanya menanggung 15%.


Masafumi, ketua serikat pekerja 7-Eleven, mengatakan bahwa kantor pusat tetap untung terlepas dari makanan-makanan itu terjual atau dibuang.


Menurut Ide, perusahaan mendorong pedagang waralaba untuk memesan makanan berlebihan dengan cara memberi insentif. Sistem yang disebut sebagai “sistem akuntansi minimarket” ini digunakan oleh semua jaringan minimarket di Jepang.


“Kantor pusat mendapatkan lebih banyak keuntungan karena mereka memasok lebih banyak makanan ke toko-toko, terlepas apakah makanan itu akan terbuang atau tidak,” kata Kawano dari serikat pekerja.


“Dari sudut pandang kantor pusat, pemborosan semacam ini tetaplah keuntungan bagi mereka.”


Menurut Kawano, pemilik waralaba mengatakan bahwa mereka menghadapi tekanan untuk memesan makanan harian secara berlebihan. Begitu pula untuk barang musiman dari tahun ke tahun.


Contohnya saat persiapan jelang Setsubun, Kawano mengeklaim bahwa kantor pusat 7-Eleven mengirim pemberitahuan pada bulan Desember yang mendorong semua waralabanya untuk memesan ehomaki sebanyak 1,5kali lipat lebih banyak dari yang terjual pada tahun sebelumnya.


Hal yang sama juga terjadi pada kue Natal, yang biasanya dimakan pada tanggal 24 atau 25 Desember.


"Setiap tahun, kantor pusat menetapkan target [yang lebih tinggi] untuk kue Natal" dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kata Kawano.


"Jumlah itu harus dipenuhi."


Sebagian pemilik waralaba membeli sendiri makanan musiman yang tersisa demi mengurangi pemborosan dan jumlah sampah.


Salah satu anggota serikat pekerja mengatakan kepada Kawano bahwa dia harus membeli sekitar 100 sushi ehomaki, sementara yang lain pernah membawa pulang 25 kue Natal.


Menurut Kawano, mereka melakukan itu demi menghindari teguran kantor pusat dan takut kontrak mereka diputus.


Tekanan semacam ini juga berdampak pada kesehatan mental yang serius.


Kawano mengaku mengenal beberapa manajer toko yang bunuh diri, termasuk seorang rekan kerjanya berusia 27 tahun yang gagal menjual cukup banyak odeng.


“Saat itu adalah tahun pertama dia bekerja, dan dia sudah ditegur karena tidak mencapai target,” kata Kawano.


“Dia merasa sangat bertanggung jawab atas hal itu,” sambungnya.


Juru bicara 7-Eleven Jepang membantah adanya kuota yang ditetapkan kepada waralaba mereka.


Meskipun Kawano setuju bahwa para pedagang secara teknis tidak diwajibkan untuk mengikuti instruksi dari kantor pusat, namun dia mengatakan sebagian besar dari waralaba nyatanya mengikuti instruksi tersebut.


"Ini adalah masalah struktur kekuasaan. Ketika kantor pusat mengatakan sesuatu, cabang-cabang hampir dipaksa untuk mematuhinya,” tutur Kawano.


Namun, beberapa minimarket mencoba melakukan hal yang berbeda.


Toko eksperimental


Di distrik Toshima, Tokyo, ada sebuah minimarket yang berbeda dengan toko-toko lainnya.


Dari luar, minimarket ini tampak merupakan bagian dari jaringan minimarket Lawson, perusahaan yang awalnya berasal dari Amerika Serikat, namun kini berkantor pusat dan beroperasi di seluruh Jepang.


Akan tetapi, para pelanggan yang jeli akan mengetahui ada yang berbeda dengan minimarket satu ini.


Ketika saya mengunjunginya pada suatu hari yang hujan saat musim semi, tulisan biru dan putih cerah khas Lawson telah diganti dengan gambar warna-warni yang meriah. Warnanya sesuai dengan warna-warna SDGs PBB.


Saat saya memasuki pintu kaca gesernya, robot penyambut di dalam menjelaskan dalam bahasa Jepang: ini adalah “Green Lawson” andalan perusahaan, sebuah toko eksperimental yang bertujuan untuk mengurangi limbah makanan.


“Kami ingi menunjukkan apa yang bisa dilakukan oleh minimarket untuk mencapai target [SDGs],” ujar Yayoi Sugihara, manajer senior komunikasi Lawson.


Dia dan rekan-rekannya mengeklaim telah menerapkan berbagai macam solusi untuk mencapai target itu, termasuk “sejumlah pendekatan drastis”.


Jumlah dan jenis makanan segar yang diletakkan di rak, misalnya, ditentukan oleh sistem kecerdasan buatan (AI) yang dapat memprediksi faktor-faktor seperti prakiraan cuaca, peristiwa terkini, serta capaian penjualan sebelumnya.


AI juga memutuskan kapan harus memberikan diskon untuk mencoba menjual barang yang belum laku.


Solusi lainnya adalah menggunakan teknologi yang sederhana. Dibanding menggunakan kulkas yang terbuka, mereka menggunakan lemari es tertutup untuk menjaga suhu makanan tetap dingin.


Toko ini juga mendaur ulang minyak goreng jelantah ke perusahaan biogas lokal. Pelanggan juga mendapat diskon jika membawa gelas kopi mereka sendiri.


Pelanggan juga bisa menyumbangkan tas belanja kertas ke rak komunitas untuk digunakan orang lain, dan membawa makanan yang tidak cepat basi untuk bank makanan bagi orang-orang miskin.


Namun, eksperimen itu juga menimbulkan masalah. Sugihara mengatakan bahwa sebagian pelanggan “tidak senang” karena tidak ada kantong plaastik atau alat makan gratis sekali pakai di toko ini.


Mereka bisa membeli alat makan bambu sekali pakai, tapi ini tetap dibungkus dengan plastik.


Sistem AI juga terkadang kesulitan untuk menemukan titik temu antara mengurangi sampah makanan dengan menyediakan stok sushi dan sandwich yang cukup agar memberikan pilihan yang menarik bagi pelanggan.


“Orang-orang cenderung menghindari rak-rak yang kosong, jadi ada kebimbangan dalam hal ini,” kata Sugihara.


Untuk saat ini, Lawson tidak berencana menambah Green Lawson, salah satunya karena kurangnya minat pelanggan.


Namun Sugihara mengatakan bahwa toko-toko lainnya “berupaya sedikit demi sedikit” untuk mengurangi limbah makanan. Caranya antara lain dengan menawarkan lebih banyak makanan beku, memberikan diskon untuk makanan yang hampir masa simpannya, dan berpartisipasi dalam kampanye yang disponsori pemerintah untuk mendorong pelanggan memilih makanan di rak paling depan.


Dengan menerapkan metode-metode ini, Sugihara mengatakan bahwa Lawson telah mengurangi sampah makanan sebesar 23% pada 2018 hingga 2022.


Menurut Ide, Lawson adalah yang paling progresif di antara jaringan minimarket Jepang. Perusahaan lain lebih lambat untuk berubah, meskipun ada beberapa perkembangan positif.


Seperti Lawson, juru bicara 7-Eleven mengatakan perusahaannya telah mengizinkan waralabanya memberikan diskon untuk makanan yang mendekati masa kadaluwarsanya.


Ini merupakan perubahan signifikan dari kebijakan perusahaan sebelumnya, kata Kawano, yang melarang pengurangan harga.


Beberapa perkembangan positif juga terjadi pada sisi regulasi. Pada tahun 2019, lobi-lobi dari Ide berkontribusi pada pengesahan undang-undang mengenai makanan yang terbuang dan pemborosan makanan.


UU itu mendorong pemerintah Jepang, baik di level pusat dan lokal, mencari solusi untuk mengatasi pemborosan makanan. Meski demikan, UU itu belum sempurna.


Sebagai contoh, UU tersebut mendorong perusahaan untuk menyumbangkan produk yang belum kadaluwarsa ke bank makanan, tetapi perusahaan sering kali ragu melakukannya karena enggan bertanggung jawab kalau ada yang sakit karena makanan sumbangan mereka.


Salah satu cara menyiasatinya, menurut Kinjo, adalah dengan membuat versi Jepang dari Bill Emerson Good Samaritan Food Donation Act. Ini adalah undang-undang di AS yang disahkan pada tahun 1996 untuk memberikan perlindungan bagi para penyumbang makanan.


Kinjo memulai kuliah hukum di Universitas Kwansei Gakuin pada bulan April, tetapi dia sudah mengambil langkah konkret untuk menggerakkan Jepang menuju perubahan legislatif yang serupa: dia telah menghubungi bank makanan, perusahaan makanan, balai kota, pengacara, dan politisi untuk mengundang mereka membentuk kelompok kerja dan membahas masalah ini.


Sementara itu menurut Ide, mengubah sistem di jaringan minimarket juga bisa mengurangi sampah makanan.


Namun perwakilan Lawson dan 7-Eleven mengatakan kepada BBC bahwa mereka sedang tidak mempertimbangkan perubahan dari sistem mereka.


Meski demikian, Kawano optimistis kekuatan para pemilik waralaba yang Bersatu dapat mendorong perubahan ini. Dia merujuk pada kesuksesan serupa tahun 2020, ketika para pemilik waralaba bersatu agar bisa mengatur jam kerja mereka sendiri, sehingga tidak lagi wajib untuk tetap buka selama 24 jam.


Membongkar sistem akuntansi toko swalayan bisa menjadi langkah mereka berikutnya, kata Kawano.


Dia sudah memiliki satu data kecil namun signifikan yang menopang harapan itu. Pada tahun 2024, para pemilik waralaba 7-Eleven menegosiasikan target penjualan ehomaki hanya 95% dibandingkan dengan tahun 2023. Itu artinya, target yang dinegosiasikan tidak melebihi penjualan tahun sebelumnya untuk pertama kalinya.


“Kalau kami bersatu, kami bisa membuat situasinya menjadi lebih baik. Ini seperti sebuah revolusi,” kata Kawano.


*Rachel Nuwer adalah seorang jurnalis dan penulis sains lepas yang tinggal di New York City. Peliputannya di Jepang didukung oleh hibah dari Abe Fellowship Program, yang dikelola oleh Social Science Research Council dan Japan Foundation New York.

×