Raut wajah sedih tidak dapat disembunyikan oleh Sabarno saat menceritakan perjalanannya melarikan diri selama 10 tahun dari kejaran aparat, terutama Densus 88.
Anggota Jamaah Islamiyah (JI) ini bahkan mulai gagu dan berkaca-kaca saat bercerita tentang keluarga, terutama saat menulis surat kepada anaknya yang berada di pondok.
Sabarno merupakan Qaid Khodimah Timur Bidang Tajis Jamaah Islamiyah (JI), yang diklaim membawahi ratusan askari atau prajurit.
Ia merupakan satu dari klaim ratusan anggota JI yang telah menyerahkan diri kepada aparat usai Jamaah Islamiyah (JI) resmi membubarkan diri pada 30 Juni 2024 di Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Diketahui, JI merupakan kelompok atau organisasi bawah tanah yang pada awalnya didirikan dengan tujuan menegakkan negara Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir pada 1993, JI kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 21 April 2008.
Secara historis, nama JI kerap dikaitkan dengan berbagai aksi teror yang melanda Indonesia sejak 2000. Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 tercatat sebagai aksi teror terbesar dengan 202 korban jiwa dan memunculkan nama JI sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas ledakan bom yang terjadi sebelumnya.
Dari pengakuannya, bapak lima anak ini mengaku dikejar aparat (Densus 88) lantaran melakukan i'dad. Dari beragam sumber, i'dad dapat diartikan sebagai persiapan dalam menyambut kebangkitan khilafah yang dijanjikan rasulullah.
"Saya Sabarno, Qaid (pemimpin) Khodimah wilayah Timur (Solo ke Timur). Hampir 25 tahun sejak tahun 1999 (bergabung di JI)," ucapnya kepada Kompas.com saat membuka pembicaraan pada Rabu (17/7/2024).
"Ya i'dad itu. (Saya) pernah ke Moro (Filipina), pernah ke Suriah. Bunuh (orang) juga enggak pernah, jadi karena jadi anggota JI (makanya dicari)," sambungnya saat bercerita perihal alasan ia dikejar oleh aparat.
Sabarno mengaku sudah buron sekitar 10 tahun sebelum akhirnya menyerahkan diri kepada aparat setelah mendengar JI sudah membubarkan diri.
Selama dalam pelarian, pria asal Madiun, Jawa Timur ini mengaku kerap berpindah-pindah lokasi untuk menghindari kejaran aparat. Ia mengaku pernah lari ke Kalimantan, pindah Jakarta dan sejumlah kota lainnya.
"(Paling jauh) Kalimantan, dari Banjarmasin, Banjar, Martapura, Banjarbaru," kata pria yang pernah ikut berperang di Suriah pada 2014 ini.
Lima tahun tidak memakai handphone
Selama dalam pelarian bersama keluarga, Sabarno tidak pernah menggunakan handphone setidaknya selama sekitar 5 tahun. Hal itu dilakukannya untuk menutup akses agar aparat tidak bisa melacak keberadaannya.
Kendati demikian, gerak-geriknya kerap ketahuan, sehingga sering kali harus berpindah-pindah.
"Lima tahun (tidak pakai HP), karena sebelumnya itu organisasi (JI) masih relatif jalan," paparnya.
Sembari dalam pelarian, Sabarno otodidak belajar cara untuk menghilangkan jejak. Selain dengan menghindari pemakaian HP, ia juga tidak lagi mengakses informasi internet. Pasalnya begitu ia mengakses internet dan informasi berbau jihad, mudah sekali terdeteksi oleh aparat penegak hukum.
Dan untuk berkomunikasi atau memperoleh informasi, Sabarno menggunakan istilahnya semacam kurir (penghubung tradisional).
"Setelah itu enggak browsing urusan jihad, dan enggak ngomong pakai HP. Analoginya kalau antum dengarkan Pak Jokowi tanpa video, melihat suaranya saja kan ngerti ini Pak Jokowi, apalagi saya sebagai DPO, otomatis suara saya itu udah di rekaman mereka (aparat)," ungkap Sabarno yang juga pernah pegang senjata di Moro, Filipina selama 2 tahun ini.
Sempat berdagang bakso
Hidup dalam pelarian menurutnya tidaklah mudah. Selain harus meninggalkan semua hal, faktor finansial menjadi salah satu penghambat.
Untuk menghidup keluarga, Sabarno survive dengan berjualan apa yang bisa dapat dijadikan sebagai pekerjaan.
"Yang paling lama ya (jualan) bakso. Ini yang rintis dari awal," kata tanpa menyebutkan detail lokasinya berjualan bakso.
Pada intinya, ia dan keluarga terus berupaya survive selama dalam pelarian. Sedihnya adalah kontak dengan keluarga juga terputus, bahkan ketika ibunya meninggal atau anaknya meninggal, keluarganya sama-sama tidak mengetahui.
"Memang keluarga pusing. Jadi ketika anak saya yang satu itu meninggal keluarga juga enggak ngerti, ibu saya meninggal, setahun setelahnya saya juga baru ngerti, karena putus komunikasi," bebernya.
Sabarno mengaku terus bertahan dalam pelarian karena sudah berpegang teguh pada ideologi JI.
"Saya selama jadi DPO itu dibilang sampai kelaparan itu enggak, nek dibilang sulit juga sulit. Nek sampai istilahnya kelaparan juga enggak. Terus tawakal, doa," kata dia.
Satu hal yang membuatnya sangat berat selama dalam pelarian adalah terkait dengan keluarga. Selain anaknya harus pindah-pindah sekolah, ia juga mengaku sangat bangga terhadap kegigihan anak-anaknya.
"Yang besar tahu (saya DPO).Saya juga sempat istilahnya apa ya, ketika dia di pndook itu saya tulis surat 'Terima Kasih dah bantu Abi gitu' Begitu aja, dalam pelarian ini Insya Allah antum juga ada pahalanya', saya tulis surat," ujarnya sembari berkaca-kaca saat bercerita caranya berkomunikasi dengan anaknya di salah satu pondok yang berada di Bekasi, Jawa Barat.
Proses penyerahan diri
Lebih lanjut, Sabarno menegaskan proses penyerahan dirinya ke aparat penegak hukum tidaklah direncanakan.
Awalnya, dia hanya berniat pulang kampung untuk bertemu keluarga besarnya di Madiun, Jawa Timur. Ketika itu, ada rasa dalam diri Sabarno yang ingin mengetahui kabar dari rekan-rekan sejawatnya di JI.
"(Saya) dari Cikarang, setelah ketemu keluarga itu ada perasaan ingin ketemu kawan gitu. Setelah ketemu dikasih kabar kalau jemaah ini mau bubar," kata dia.
Mendengar hal itu, Sabarno mengaku shock dan tidak bisa tidur semalaman. Informasi tersebut diketahui dari rekan JI lainnya pada sekitar awal Juni 2024 sebelum JI resmi membubarkan diri di Sentul, Bogor, Jawa Barat.
"Ustaz Rusdan itu menyatakan bahwasanya kurang lebih, ya jihad di Indonesia belum realistislah. Terus agar menyerahkan senjata," ungkapnya.
Setelah pergolakan batin yang panjang, Sabarno pun luluh dan memilih untuk menyerahkan diri. Ia dan keluarga mengetahui konsekuensi dari tindakannya untuk menyerahkan diri tersebut.
"Ya, itu saya pahamkan juga, jadi proses kepulangan itu ya ada hikmahnya. 'Tapi kamu harus ingat bahwa saya posisinya mungkin di hadapan negara itu saya punya dosa banyak, ya seadainya nanti terjadi gakum kamu harus ikhlas'," katanya sewaktu memberikan penjelasan kepada anak dan istrinya.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Sekretaris Mantiqi II JI Siswanto memastikan komitmen JI untuk membubarkan diri benar-benar tulus.
Bahkan sebagai bentuk komitmen, pihaknya telah menyerahkan orang-orang yang selama ini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), salah satunya Sabarno.
"Orang-orang yang most-most wanted ini saya temukan, bertemu langsung saya antarkan ketemu dengan aparat-aparat negara," katanya lagi.
Bentuk komitmen keseriusan JI membubarkan diri tersebut juga diwujudkan dengan upaya melakukan evaluasi kurikulum dan materi ajar di lembaga-lembaga pendidikan yang terafiliasi JI.
"Perkara apa yang lebih permanen dibandingkan di dunia pendidikan. Materi ajar ini kan sudah paling mendasar karena mengubah jenis pengkaderan kami yang mungkin di pondok pesantren itu muridnya mencapai sekitar 16.000," kata dia.
"Yang kedua, rentang waktu nanti waktu yang akan membuktikan apakah statement ini ngecap atau serius," tuturnya.
Alasan JI membubarkan diri
Diberitakan sebelumnya, Ketua Majelis Fatwa JI Ustaz Imtihan mengatakan, pernyataan Jamaah Islamiyah atau JI membubarkan diri tersebut dilandasi dari komitmen mereka terhadap ilmu, terutama dalam hal memandang Indonesia.
Dulu JI berpandangan, Indonesia itu bukanlah negara Islam tetapi juga bukan negeri kufur. Hal ini bisa dimaknai JI memusuhi NKRI, tetapi tidak memusuhi warga negaranya.
"Jadi memusuhi sistem," ujar Imtihan, Rabu (17/6/2024).
Namun, dalam perkembangannya, dari kajian-kajian di Majelis Fatwa memandang bahwasanya NKRI itu merupakan negeri Islam warisan para ulama.
"Negeri seperti Indonesia ini bukan darul kufr tapi juga bukan darul Islam, sehingga sikapnya pun berbeda. Kalau darul kufr sikapnya perang, kalau darul Islam berarti taat penuh," ungkap dia.
"Nah, JI mengambil sikap yang memandang sistemnya, pemerintahnya, pemerintah kufur, tapi masyarakat dan orang-orangnya adalah orang-orang Islam," paparnya.