Tim ahli geofisika mengungkapkan sebuah studi baru yang menunjukkan bahwa lempeng tektonik di salah satu negara terbesar di dunia akan terbelah menjadi dua bagian.
Dilansir dari UNILAD (22/1/2024), studi tersebut dipresentasikan pertama kali di konferensi American Geophysical Union yang berlangsung pada Desember 2023.
Bertajuk “Robeknya Lempengan dan Delaminasi Mantel Litosfer India Selama Subduksi Lempengan Datar, Tibet Tenggara", para ahli geofisika awalnya meneliti pembentukan Himalaya.
Penelitian itu dilakukan oleh Lin Liu, Danian Shi, Simon L Klemperer, dan peneliti lainnya yang akhirnya menemukan bahwa lempeng tektonik India yang membentuk dasar Himalaya, mungkin akan terbelah menjadi dua karena proses yang tidak biasa.
Pegunungan Himalaya
Himalaya adalah pegunungan yang membentang di lima negara, yaitu India, Pakistan, Nepal, China, dan Bhutan.
Dilansir dari Good (25/6/2024), dalam ilmu geologi, pegunungan Himalaya dan dataran tinggi Tibet terbentuk akibat tabrakan antar lempeng tektonik, yaitu lempeng India dan lempeng Eurasia.
Tumbukan tersebut membuat permukaan Bumi melengkung dan membentuk struktur yang menjulang tinggi.
Dicukil dari Scifacts, dalam kurun waktu 40 hingga 50 juta tahun sejak lempeng India bertabrakan dengan lempeng Eurasia, kerak Bumi yang membentuk Himalaya telah terangkat lebih dari sembilan kilometer (km).
Kedua lempeng yang saling menyatu tersebut hingga kini masih mendorong kerak Bumi, sehingga tinggi Himalaya bertambah dengan kecepatan satu sentimeter per tahunnya.
Peneliti menemukan pengelupasan pada lempeng India
Ahli geologi Universitas Stanford, Simon L. Klemperer bersama dengan tim ahli geodinamikanya menyelidiki kadar helium yang ada di mata air Tibet.
Meskipun Himalaya kaya akan unsur-unsur seperti emas dan perak, namun kadar helium yang tidak biasa menunjukkan potensi gunung berapi aktif di bawah permukaan.
Studi di Himalaya dilakukan dengan mempertimbangkan dua teori, yaitu tabrakan lempeng India dan Eurasia serta teori bahwa lempeng India yang menukik ke bawah telah meleleh menjadi magma dan melepaskan helium.
Dari situ ditemukan tingkat helium lebih tinggi di Tibet selatan dibandingkan dengan Tibet utara. Hal itu mengerucut pada kesimpulan, bahwa lempeng tektonik India terbelah dua di bawah dataran Tibet yang disebut proses delaminasi.
Penelitian kemudian berlanjut dengan mempertimbangkan teori ketiga, yaitu proses dua teori sebelumnya yang terjadi secara bersamaan.
Ketika bagian atas lempeng India bergesekan dengan lempeng Eurasia, bagian bawah lempeng India mengalami subduksi ke dalam mantel.
Untuk melakukan penelitian tersebut, Klemperer menggunakan serangkaian instrumen isotop yang berfungsi mengukur gelembung helium di mata air pegunungan.
Mereka mengumpulkan sampel dari sekitar 200 mata air sepanjang 621 mil dan menemukan tiga mata air yang menunjukkan bahwa lempeng India tampak terkelupas seperti buah pisang yang matang.
Pengelupasan lempeng tektonik tersebut merupakan penemuan baru dalam ilmu geologi.
"Ini adalah pertama kalinya, hal ini terjadi pada lempeng yang bergerak turun,” kata ahli geodinamika Douwe van Hinsbergen kepada Science (10/1/2024).
Dapat memicu gempa bumi besar
Diberitakan Science, analisis terbaru berdasarkan serangkaian gelombang gempa yang berbeda menunjukkan adanya robekan di tepi barat lempengan yang mengalami delaminasi (material retak menjadi beberapa lapisan).
Di sebelah barat patahan, dasar lempeng India tampak memiliki kedalaman sekitar 200 kilometer. Hal tersebut menandakan jika lempengan masih utuh.
Sementara di sebelah timur, tempat lempengan terbelah dua, batuan mantel mengalir di kedalaman sekitar 100 kilometer.
Klemperer mengungkapkan jika pengelupasan dan robekan pada lempeng tektonik India mungkin berbahaya, karena dapat memengaruhi terjadinya gempa bumi besar di Tibet.
Meskipun belum ditemukan korelasi pastinya, peneliti mencatat bahwa pengelupasan serta robekan di lempeng tektonik dapat memengaruhi bagaimana dan di mana tekanan terbentuk, sehingga berpotensi gempa.
Menurut Klemperer, benua itu rumit untuk dipelajari, karena tabrakan kuno yang membentuk lanskap modern meninggalkan jaringan bekas luka yang tumpang tindih.
"Namun itulah yang membuat karya ini menarik. Benua memiliki sejarah yang sangat panjang dalam satu miliar tahun, dan ilmuwan secara bertahap belajar membacanya," ujarnya.