Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Menimbang Plus Minus Rekonsiliasi Partai Politik Pasca-Pemilu 2024

Juni 18, 2024 Last Updated 2024-06-18T11:33:51Z


Rekonsiliasi antar-pihak pasca-pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dinilai menjadi hal yang sangat penting, terlebih untuk mewujudkan visi negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yakni menjadikan bangsa ini merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.


Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, jelas tidak akan bisa dengan optimal apabila ternyata masyarakat di dalamnya belum mampu bersatu. Selain itu, visi negara juga tidak akan mampu terwujud dengan baik jika tidak terjadi rekonsiliasi pasca-pemilu.


Presiden terpilih Prabowo Subianto diketahui tengah gencar merangkul pihak yang berseberangan dengannya pada Pemilu 2024 kemarin. Setidaknya sebelum dilantik pada Oktober mendatang, terdapat sisa waktu enam bulan bagi Prabowo merangkul berbagai pihak untuk masuk ke dalam koalisi pemerintahannya.


Mengapa Prabowo-Gibran Perlu Mengajak Parpol Lain?


Kekuatan suara dari akumulasi parpol pendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berdasarkan hitung cepat berada di kisaran 42-43 persen. Adapun parpol yang memberi tiket kontestasi Pilpres 2024 pada Prabowo-Gibran yang berasal dari parlemen adalah Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).


Selain itu, ada juga empat partai non-parlemen yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelora Indonesia, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Garuda. Lainnya, satu partai lokal Partai Aceh, dan partai non-partisan Pemilu 2024 yaitu PRIMA.


Direktur Eksekutif Partner Politik Indonesia Abubakar Solissa mengatakan, kondisi ini memungkinkan koalisi Prabowo-Gibran mencomot partai politik lain yang merupakan pengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md untuk bergabung di pemerintahan.


Tujuannya, agar pemerintahan Prabowo-Gibran bisa mengamankan kekuatan politik di parlemen, sehingga kebijakan politiknya tidak mendapat resistensi.


“Prabowo memang punya ambisi yang besar untuk mengajak semua elemen partai politik bergabung dalam pemerintahan yang akan dia pimpin nantinya. Sikap ini selaras dengan narasi persatuan yang ia gaungkan selama pemilu berlangsung. Prabowo juga ingin program maupun kebijakan pemerintahan ke depan bisa di-support oleh parlemen yang merupakan representasi partai politik,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (18/6/2024).


Selain itu, menurutnya, Prabowo tidak ingin disandera oleh partai-partai yang mendukungnya di pilpres kemarin. Untuk itu, dia butuh tambahan partai dari luar koalisi Indonesia Maju untuk memperkuat positioning politiknya selama lima tahun ke depan.


Fenomena rekonsiliasi politik pasca-penetapan pasangan calon presiden-wakil presiden sudah lazim dalam perpolitikan Indonesia. Pasangan terpilih tentunya menginginkan harmonisasi dalam pemerintahannya ke depan.


Namun kendalanya bagi Prabowo-Gibran, kata dia, tetap bertemu dengan Megawati Sukarnoputri dan elite Partai Demokrat. Sebab, Megawati dan Partai Demokrat masih dirugikan dengan taktik politik Presiden Joko Widodo dan Gibran.


Hitung-hitungan Politik PDIP


Dinamika yang terjadi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan beberapa waktu lalu dinilai menunjukkan “isyarat kuat” bahwa partai tersebut akan menjadi oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran, menurut sejumlah pakar politik.


Tapi mengapa PDIP belum mengumumkan sikap partainya secara resmi dan tegas?


Menurut Abubakar Solissa, sikap politik PDIP sejauh ini masih ambigu. Belum terlihat positioning politiknya akan menjadi partai oposisi atau bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.


Kalau kita simak pidato Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri di acara penutupan Rakernas partai pada Minggu (26/5/2024) lalu, PDIP kemungkinan besar masih berhitung soal posisi yang akan diambil nantinya. Megawati menyatakan sikap partainya soal akan berada di dalam atau di luar pemerintahan harus dihitung secara politik.


“Loh enak ae kalau menit ini saya ngomong, kan harus dihitung secara politik,” kata Megawati dalam pidato penutupan Rakernas PDIP di Jakarta pada Minggu (26/5) sambil menyinggung soal banyak pihak yang menantikan sikap politik partainya.


Hitung-hitungan politik yang dimaksud oleh Megawati bukan semata soal kursi kekuasaan. PDIP juga akan mempertimbangkan bagaimana fungsi kontrol dan penyeimbang akan berjalan di pemerintahan selanjutnya. 


Oleh karena itu, PDIP tidak mau buru-buru menentukan sikap karena menyadari keputusan mereka sangat penting bagi siapa pun yang akan menyusun pemerintahan ke depan.


Namun, Abubakar Solissa memprediksi bahwa rasa-rasanya sulit sekali bagi Megawati dan PDIP untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan. Secara politik juga, posisi PDIP di luar pemerintahan akan sangat menguntungkan partai di Pemilu 2029 mendatang, ketimbang menjadi bagian dari pemerintahan.


Apa Konsekuensi Jika PPP, PKB dan Nasdem Merapat ke Kubu Prabowo-Gibran?


Partai Nasdem dan PKB sebelumnya berseberangan dengan Prabowo-Gibran. Hal itu menandakan bahwa adanya pengakuan atas kemenangan Prabowo-Gibran dari lawan politiknya di Pilpres 2024.


“Masuknya PKB dan Nasdem secara politik bisa memperkuat posisi pemerintahan di parlemen karena pasti kebijakan-kebijakan Prabowo-Gibran di DPR tidak akan mengalami hambatan yang berarti dikarenakan mayoritas partai politik telah bergabung,” ujar Abubakar.


“Khusus untuk PPP saya melihat tidak terlalu signifikan pengaruhnya bila diajak bergabung karena partai ini juga tidak punya kursi di parlemen usai dinyatakan tak lolos ambang batas parlemen di Pileg 2024.”


Kalau begini, tenis politik akan turun. Masyarakat akan semakin dewasa. Serang-menyerang di medsos diharapkan akan hilang. Kita kembali bersatu untuk kepentingan masyarakat.


Namun yang patut dipikirkan lebih besar tentu risikonya terhadap demokrasi di Indonesia. Abubakar menilai bahwa banyaknya partai dalam pemerintahan tidak sehat untuk demokrasi Indonesia. Pemerintahan itu akan berjalan efektif jika mekanisme checks and balances juga berjalan.


Oleh karena itu, pemerintahan Indonesia tidak hanya perlu mendorong rekonsiliasi partai-partai politik, kita juga perlu memperhatikan pertimbangan kekuatan.


Intinya ke depan demokrasi Indonesia tetap membutuhkan partai di luar pemerintahan agar mekanisme check and balances bisa tetap berjalan bersama kekuatan masyarakat sipil demi memastikan sistem tetap terkonsolidasi.

×