Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kisah Hijrahnya Sang Menantu Nabi

Juni 21, 2024 Last Updated 2024-06-21T09:25:29Z


Abu al-Ash menjadi menantu Nabi Muhammad SAW karena ia menikah dengan seorang putri beliau, Zainab RA.


Pernikahan antara Abu al-Ash bin ar-Rabi’ dan Zainab radhiyallahu 'anha binti Rasulullah SAW terjadi pada masa sebelum kenabian Muhammad SAW. Ketika Rasulullah SAW awal-awal mengumumkan kenabiannya, Abu al-Ash sedang berada di luar Makkah untuk urusan niaga.


Begitu tiba di rumahnya, Zainab RA mengabarkan perihal kenabian ayahandanya kepada sang suami. Sayang sekali, Abu al-Ash merespons acuh tak acuh. Rupanya, ia belum tertarik memeluk Islam karena faktor kesukuan. Ada rasa sungkan bila menyatakan diri sebagai Muslim di tengah mayoritas kaumnya yang saat itu masih memusuhi sang mertua.


Sejak saat itu, Abu al-Ash dan Zainab sempat tidak hidup serumah dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, perpisahan keduanya terus berlangsung hingga Rasulullah SAW dan Muslimin berhijrah ke luar Makkah, yakni Madinah. Lebih lanjut, keterputusan antara suami dan istri itu masih terjadi kala Perang Badar pecah.


Abu al-Ash ikut dalam kancah peperangan tersebut. Kemenangan berhasil diraih Muslimin sehingga banyak dari kalangan Quraisy yang menjadi tawanan. Di antaranya adalah sang menantu Rasulullah SAW.


Mendengar suaminya ditawan, Zainab bersedih hati. Demi kebebasan Abu al-Ash, putri Rasulullah SAW itu mengutus seseorang untuk memberikan sebuah kalung yang adalah hadiah dari ibu kandungnya, Khadijah. Begitu melihat kalung tersebut, Nabi SAW terdiam. Pikiran beliau teringat lagi akan wajah almarhumah istrinya dan juga sang putri tercinta.


“Jika kalian melihat tebusan ini (kalung) sebagai kebaikan, maka bebaskanlah Abu al-Ash dan kembalikanlah harta tebusannya ini,” kata beliau kepada para sahabat.


Mereka lantas melepaskan Abu al-Ash dari status tawanan. Sebelum dipulangkan ke Makkah, lelaki itu menerima perintah Nabi SAW, yakni tidak menghalang-halangi Zainab untuk berhijrah. Ya, sang putri Rasulullah SAW masih “tertahan” di Makkah ketika itu, belum bisa membersamai ayahanda tercinta di Madinah.


Di Makkah, Abu al-Ash sesungguhnya sudah sami’na wa atha’na pada instruksi sang mertua. Bahkan, ia telah mempersiapkan sejumlah perbekalan untuk Zainab menyusul orang tuanya ke sana. Namun, pihak Quraisy terus menghalangi dan bahkan mengancam apabila Zainab RA sampai keluar dari Makkah. Karena itu, wanita mulia ini sempat kembali pulang.


Menjadi Muslim


Tahun demi tahun berganti. Zainab kini telah bersama Rasulullah SAW di Madinah. Sementara, Abu al-Ash masih dalam kekafiran meskipun jauh di lubuk hatinya masih mencintai putri Nabi SAW itu.


Pada tahun keenam sejak hijrahnya Muslimin ke Madinah, Abu al-Ash ikut dalam kafilah dagang dari Makkah ke Syam. Di tengah perjalanan, rombongannya disergap pasukan Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah. Penyergapan ini cukup beralasan karena kebanyakan komoditas yang dibawa kafilah Quraisy ini adalah harta milik Muslimin yang ditinggal di Makkah selama mereka berhijrah ke Madinah.


Dalam kejadian itu, Abu al-Ash dapat melarikan diri. Malamnya, dengan sisa-sisa tenaga dirinya berjalan kaki ke Madinah. Dalam rangka meminta perlindungan, ia pun mendekati kediaman Zainab binti Rasulullah. Dan, putri Nabi SAW ini memberikan apa yang dimintanya dari kaum Muslimin.


Keesokan paginya, Rasulullah SAW mengumpulkan sejumlah sahabat pada bakda subuh. “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?” tanya beliau, “demi Allah, aku tak tahu apa pun dari Zainab hingga mendengar yang kalian dengar. Sesungguhnya perlindungan itu berlaku walaupun dari rakyat biasa kaum Muslimin.”


Alhasil, diri Abu al-Ash dilindungi selama di Madinah. Kepada Zainab, Nabi SAW berpesan agar tetap bersikap ramah pada lelaki itu, tetapi jangan sampai berduaan. Sebab, antara keduanya belum ada ikatan halal lagi lantaran perbedaan agama.


Nabi SAW kemudian menentukan hukum atas harta yang dirampas pasukan Muslimin dari rombongan kafilah Quraisy tersebut. “Kalian telah mendapatkan harta darinya (Abu al-Ash). Kalau berkenan, kalian bisa mengembalikan harta itu kepadanya. Sebab, kita suka melakukan yang demikian. Namun, jika kalian enggan melakukannya, itu adalah harta fai yang Allah anugerahkan kepada kalian.”


Sungguh, aku ingin menyelesaikan urusan harta ini terlebih dahulu dengan kalian. Kalau tidak begitu, pasti kalian menyangka bahwa aku berislam untuk mengambil harta kalian.


Di antara kedua opsi tersebut, Zaid bin Haritsah memilih mengembalikan harta rampasan tadi seluruhnya. Abu al-Ash lalu membawa semua barang itu pulang ke Makkah. Sesampainya di sana, ia mengembalikan barang dagangan tersebut satu per satu kepada pemiliknya, yakni para relasi dagangnya.


Sesudah itu, ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, apakah masih tersisa harta kalian yang belum kalian ambil dariku?”


“Semua sudah kau kembalikan!” balas mereka.


“Maka dengarkanlah aku,” ujar Abu al-Ash, “asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah! Kalian tidak bisa menghalangiku memeluk Islam! Sungguh, aku ingin menyelesaikan urusan harta ini terlebih dahulu dengan kalian. Kalau tidak begitu, pasti kalian menyangka bahwa aku berislam untuk mengambil harta kalian.”


Segera , Abu al-Ash memacu kudanya. Ia pergi ke Madinah demi bergabung dengan Muslimin dan Rasulullah SAW. Di kota tersebut, lelaki itu akhirnya menikah untuk kedua kalinya dengan Zainab.

×