Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Investasi Starlink di Indonesia Rp 30 Miliar, Ombudsman Diminta Investigasi

Juni 15, 2024 Last Updated 2024-06-15T04:02:28Z


Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, meminta Ombudsman untuk mengevaluasi penerbitan izin Starlink di Indonesia.


Hal ini, kata Trubus, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.


Pasalnya, upaya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menerjunkan direktorat pengendalian untuk mengecek kegiatan usaha Starlink dinilai tidak cukup kuat.


"Harusnya investigasi dan evaluasi penerbitan izin Starlink melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Ombudsman, aparat penegak hukum, dan asosiasi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/6/2024).


Dia membeberkan, untuk melakukan usaha penyelenggaraan telekomunikasi JARTUP VSAT dan izin ISP seperti yang dilakukan Starlink, modal yang dibutuhkan lebih dari Rp 30 miliar.


Sebagai informasi, angka Rp 30 miliar ini merujuk pada nilai investasi Starlink di Indonesia sebagaimana yang diungkapkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat rapat kerja dengan Komisi VI, Selasa (11/6/2024).


Pada rapat kerja itu, Bahlil juga menyebut jumlah karyawan Starlink yang terdaftar dalam Sistem Online Single Submission (OSS) hanya 3 orang.


"Apa iya modal sebesar itu cukup untuk membangun usaha JARTUP VSAT dan ISP? Padahal industri telekomunikasi memiliki karakteristik high CAPEX dan high expenditure. Apakah masuk akal karyawan yang dibutuhkan hanya 3 orang saja? Menurut saya itu sangat tidak mungkin," ucapnya.


Selain itu, untuk dapat melayani seluruh wilayah Indonesia, Starlink membutuhkan minimal 9 stasiun bumi yang dijadikan hub. Minimal investasi untuk membangun 1 stasiun bumi seperti yang dimiliki BAKTI Kominfo di proyek SATRIA 5 juta dollar AS atau setara Rp 81 miliar.


Kemudian, agar dapat beroperasi dan melayani seluruh wilayah di Indonesia, setidaknya Starlink membutuhkan lebih dari tiga NOC. Satu NOC membutuhkan minimal 15 orang tenaga kerja per hari untuk tiga shift.


Nilai investasi untuk 1 NOC tak kurang dari 1 juta dollar AS. Investasi Rp 30 miliar yang disampaikan Bahlil dinilai dapat dilakukan jika NOC dan kantor Starlink menggunakan layanan virtual dimana seluruh kendali dilakukan dari kantor pusat mereka.


Padahal Kominfo mengharuskan seluruh penyelenggara telekomunikasi baik itu VSAT maupun ISP memiliki NOC fisik di Indonesia. Tujuannya agar mempermudah aparat penegak hukum jika ingin melakukan lawful interception. Selain itu adanya fisik NOC di Indonesia untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat.


"Masa investasi Starlink kalah sama pengusaha ISP? Masa jumlah karyawan Starlink di Indonesia jauh di bawah ISP kecil yang ada di Indonesia?" ucapnya.


Trubus menilai, minimnya modal dan mudahnya izin yang diterima tanpa melihat kewajaran nilai investasi di perusahaan telekomunikasi membuktikan Kominfo telah mengabaikan prosedur atau maladministrasi.


Untuk mendapatkan izin, seluruh pelaku usaha telekomunikasi harus memenuhi kelengkapan administratif dan kecukupan persyaratan seperti yang tertuang diregulasi. Jika kelengkapan dokumen cukup namun persyaratan tak lengkap, seharusnya Kominfo tidak memberikan izin penyelenggaraan ke Starlink.


"Kuat sekali dugaan maladministrasi pada penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi Starlink. Harusnya Ombusdman dan penegak hukum dapat melakukan investigasi mendalam pemberian izin Kominfo tersebut. Menurut saya ini tak wajar dan terkesan instant," kata Trubus.


Dia juga menyarankan pemerintahan selanjutnya untuk membuat regulasi yang jelas terhadap Non-Geostationary Orbit (NGSO), termasuk aturam keamanan dna teritorial digital Indonesia agar masalah serupa tak terulang.


"Sebab nantinya akan banyak model bisnis lain mirip Starlink masuk ke Indonesia," tuturnya.

×