Nilai tukar rupiah masih bergerak dalam tren pelemahan dan berada di level Rp 16.400an per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah ini menjadi kekhawatiran banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah dana investor asing yang menguap dari pasar keuangan Indonesia.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat 0,3% di angka Rp16.390/US$ pada hari ini, Senin (24/6/2024). Kendati menguat, mata uang Garuda masih dalam tren pelemahan. Rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya yakni di level Rp16.470/US$. Bila dihitung sejak Jokowi memimpin Indonesia pada 20 Oktober 2014 hingga sekarang, rupiah telah melemah sebesar 36%.
Salah satu yang menjadi penyebab rupiah adalah kaburnya investor asing dari pasar keuangan Indonesia.
Berdasarkan data transaksi 19-20 Juni 2024, Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa investor asing melakukan jual neto sebesar Rp 0,78 triliun, terdiri dari jual neto Rp 1,42 triliun di pasar saham, beli neto Rp 0,45 triliun di Surat Berharga Negara (SBN), dan beli neto Rp 0,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sepanjang tahun 2024 hingga 20 Juni, investor asing tercatat jual neto Rp 42,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp 9,35 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 117,77 triliun di SRBI.
Catatan keluarnya investor asing ini mematahkan tren net foreign inflow selama enam pekan beruntun yang telah terjadi sejak pekan pertama Mei 2024. Keluarnya dana asing ini memberikan tekanan bagi rupiah yang hingga saat ini tak kunjung mereda.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa tekanan terhadap rupiah terutama disebabkan oleh faktor global, seperti kuatnya perekonomian AS yang menyebabkan bank sentralnya diperkirakan sulit menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate. Selain itu, terdapat perbedaan arah suku bunga antara negara-negara maju, di mana bank sentral Eropa justru menurunkan suku bunga acuannya.
Lantas, bagaimana perjalanan rupiah & apa saja penyebab jatuh bangunnya mata uang Garuda?
20 Oktober 2014: Awal Kepemimpinan Jokowi
Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertama kali menjabat pada 20 Oktober 2014, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 12.030. Kondisi ekonomi global dan domestik pada saat itu cukup stabil, meskipun terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, termasuk defisit transaksi berjalan dan ketergantungan pada aliran modal asing.
Rupiah melesat 1,16% sehari sebelum Presiden Jokowi dilantik dan menguat 0,62% saat hari pelantikan.
9 Oktober 2018: Lelang Obligasi AS & Perang Dagang AS-China
Rupiah ambruk selama enam hari beruntun pada awal Oktober hingga 9 Oktober 2018 dengan total pelemahan menembus 2,13%. Pada 9 Oktober rupiah ambruk ke Rp 15.225 per dolar AS. Posisi tersebut terendah sepanjang awal era Jokowi hingga 9 Oktober 2018 atau empat tahun.
Pelemahan ini terjadi di tengah penguatan dolar AS yang didorong oleh lelang obligasi pemerintah AS dalam jumlah besar dengan imbal hasil yang menarik bagi investor.
Kondisi ini menyebabkan permintaan dolar meningkat tajam, mempengaruhi mata uang negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Selain itu, masa itu merupakan awal perang dagang AS-China di masa kepemimpinan Donald Trump.
Perang dagang meningkatkan ketidakpastian global dan investor memilih untuk meninggalkan Emerging Markets seperti Indonesia.
Maret 2020: Dampak Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 membawa dampak besar terhadap perekonomian global dan Indonesia tidak terkecuali. Dalam sebulan, nilai mata uang Garuda anjlok 13,7% pada Maret 2020.
Penurunan ini dipicu oleh aksi jual besar-besaran di pasar keuangan Indonesia, di mana investor asing menarik dananya dari pasar saham dan obligasi, menyebabkan capital outflow yang besar dan tekanan tambahan pada rupiah.
Ketidakpastian global, matinya aktivitas ekonomi di seluruh penjuru dunia, kebijakan lockdown di sejumlah negara, hingga belum adanya vaksin membuat mata uang rupiah hancur lebur.
Pada 23 Maret 2020, nilai tukar rupiah anjlok ke level Rp 16.550 per dolar AS atau terlemah sejak era Krisis Moneter 1997/1998. Posisi tersebut juga menjadi yang terlemah di era Jokowi hingga saat ini.
13 Maret 2022: Kenaikan Suku Bunga The Fed
Pada Maret 2022, The Fed mulai menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, mengakhiri era suku bunga rendah. Langkah ini diambil untuk menekan inflasi yang meningkat tajam di AS.
Kebijakan ini menyebabkan arus balik modal ke AS dan memberikan tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Pada 21 November 2022, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 15.710 per dolar AS.
21 November 2022: Dinamika Ekonomi Global
Pada 29 November 2022, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 15.740 per dolar AS atau terendah sejak era pandemi Covid-19.
Nilai tukar rupiah sudah jeblok sejak Agustus kemudian berlanjut ke September, Oktober hingga November 2022 dengan pelemahan mencapai 5,7%. Pelemahan disebabkan oleh kebijakan suku bunga The Fed yang sangat agresif menaikkan suku bunga sebesar 75 bps dari Juni-November 2022.
The Fed juga terus menyampaikan pernyataan hawkish yang memunculkan fenomena King Dolar.
1 November 2023: Tren Pelemahan Berlanjut
Pada 1 November 2023, rupiah melemah ke level Rp 15.930 per dolar AS atau terendah sejak pandemi Covid-199. Beberapa faktor yang mempengaruhi termasuk data inflasi AS yang tinggi dan kebijakan suku bunga The Fed yang hawkish. Di sisi lain, ekonomi China yang lesu juga memberikan dampak negatif pada pasar keuangan global, menambah tekanan terhadap rupiah.
Hingga 21 Juni 2024, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan dan berada di level Rp 16.445 per dolar AS. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa tekanan ini terutama disebabkan oleh faktor global, termasuk kekuatan ekonomi AS dan kebijakan moneter yang ketat dari The Fed. Selain itu, arus keluar modal asing juga memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah.
Sejak awal masa kepemimpinan Jokowi hingga pertengahan 2024, nilai tukar rupiah telah mengalami fluktuasi yang cukup signifikan, dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan domestik. Dari Rp 12.030 per dolar AS pada 2014 hingga mencapai Rp 16.445 per dolar AS pada Juni 2024, rupiah telah melemah sebesar 36% seiring dengan dinamika ekonomi global yang tidak menentu, termasuk pandemi COVID-19, kebijakan moneter The Fed, dan kondisi ekonomi China.
Hal Ini menunjukkan rentannya mata uang terhadap perubahan kebijakan dan kondisi ekonomi global, sehingga strategi dan kebijakan yang tepat dari pemerintah dan otoritas moneter diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar.