Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi,Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah

Mei 17, 2024 Last Updated 2024-05-17T03:28:26Z


Kenyataan pahit diterima pasukan Israel (IDF) saat memutuskan kembali beroperasi di Kamp Jabalia, Gaza Utara di kala mereka memusatkan kekuatan besar untuk menginvasi Rafah, Gaza Selatan.


Laporan terkonfrimasi menunjukkan, tentara IDF mengalami kerugian personel dan peralatan tempur yang banyak dalam sepekan terakhir di Jabalia.


Ada sejumlah hal yang patut digarisbawahi dari perlawanan sengit milisi Palestina di wilayah Gaza Utara, termasuk Zaytoun dan Jabalia, ini.


Faktor-faktor tersebut secara signifikan menjadi penyumbang remuknya tentara IDF saat kembali menyerbu ke satu di antara delapan kawasan pengungsian terbesar di Jalur Gaza tersebut.


IDF Salahkan Politisi


Gaza Utara, termasuk Zaytoun dan Jabalia, sejatinya menjadi dua target awal serangan IDF di awal pecahnya perang per 7 Oktober 2023 silam pasca-serangan Banjir Al-Aqsa Hamas.


Dua lingkungan ini sudah porak-poranda dibombardir serangan udara IDF.


Pasukan infanteri IDF bahkan sudah menyapu wilayah tersebut dan menyatakan sudah 'membongkar' kekuatan Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas.


Diksi yang digunakan IDF saat itu adalah 'dismantled', meninggalkan jejak kekejaman dan kehancuran di sana-sini, termasuk di kompleks RS Al-Shifa.


Namun, setelah meratatanahkan Gaza Utara, IDF seolah pergi begitu saja, meninggalkan anggota brigade Hamas untuk kembali mengumpulkan kembali kekuatan mereka.


Hal ini yang disesalkan IDF dari para politisi mereka di Tel Aviv.


Tak ada rencana matang soal 'the day after' dari Israel, menyisakan ruang kosong untuk diisi kembali oleh milisi perlawanan Palestina.


Israel tadinya berencana menggunakan 'orang lokal sekitar' untuk dijadikan antek guna mengontrol wilayah. Namun para klan-keluarga Palestina menolak.


Mereka meyakini Hamas adalah pihak yang bisa mengendalikan wilayah. Hal yang sama juga terjadi di Selatan saat Israel habis-habisan membombardir Khan Yunis.


Belakangan, Menteri Kebudayaan dan Olahraga, Miki Zohar, mengatakan bahwa Israel akan mengatur sendiri Jalur Gaza secara militer, bukan secara sipil, sebagai sebuah rencana 'the day after war'.


Seperti diketahui, IDF harus kembali ke tempat-tempat yang sebelumnya mereka klaim sudah ditaklukkan seperti Jabaliya dan Zaytoun karena indikasi kalau kelompok Hamas telah muncul kembali sejak kekuatan utama serangan Israel bergeser ke selatan Jalur Gaza.


Beberapa kritikus strategi perang Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyalahkan keharusan tentara IDF untuk kembali ke Gaza utara karena ketidakmampuan pemerintahannya untuk menentukan pihak mana yang akan menggantikan Hamas sebagai otoritas sipil di Gaza.


“Tidak ada keraguan bahwa alternatif pemerintah selain Hamas akan menciptakan tekanan terhadap Hamas, tapi itu adalah pertanyaan bagi eselon politik,” kata juru bicara militer IDF, Daniel Hagari pada Selasa ketika menjawab sebuah pertanyaan.


Pernyataan itu juga menandakan ketidaksinkronan rencana dari militer dan politisi pengambil keputusan Israel dalam perang di Gaza, utamanya di Jabalia.


Hal yang lebih menakutkan bagi personel di lapangan, kendali strategi militer IDF masih sangat tergantung oleh politisi.


Sifat Pertempuran Berubah, Perlawanan Ganti Taktik


Ulasan dari PC menyebut, apa yang terjadi di Jabalia adalah perubahan taktik di pihak Perlawanan yang mengubah sifat pertempuran di Gaza secara keseluruhan.


Perkembangan terkini dalam perang Israel di Gaza menunjukkan kalau pertempuran kini kembali ke titik nol meski Israel sudah membombardir Gaza secara terus-menerus tanpa henti selama 222 hari terakhir.


Titik nol yang dimaksud bisa diartikan, perlawanan yang dihadapi Israel saat ini sama kerasnya seperti saat mereka menginvasi Gaza pertama kali pada 7 Oktober.


Maknanya, miliaran dolar amunisi yang digelontorkan Israel tidak berarti apa-apa kecuali kehancuran Gaza tanpa bisa menumpas milisi perlawanannya, satu di antara misi Israel dalam perang yang hingga kini belum juga tercapai. 


"Assesment ini adalah hasil dari laporan yang diterbitkan di media Israel, mengutip pejabat militer Israel yang mengatakan bahwa Hamas telah berkumpul kembali di Gaza utara, sebuah wilayah yang seharusnya ditundukkan oleh tentara Israel pada bulan-bulan awal perang," kata laporan PC.


Namun, pertempuran yang terjadi di Jabalia sepakan belakangan menunjukkan bahwa Hamas dan kelompok perlawanan lainnya mungkin telah melakukan lebih dari sekadar berkumpul kembali.


Berita dari medan perang, yang sering kali didokumentasikan oleh Perlawanan di Gaza, menunjukkan bahwa tentara Israel lebih lemah dari sebelumnya, dan Perlawanan Palestina lebih unggul di semua lini.


Sebelumnya pada hari Rabu, Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengatakan pihaknya membunuh 12 tentara Israel dari jarak jauh dalam pertempuran Jabaliya.


Dari sisi strategi pertempuran, mengutip dari laporan media Israel, Haaretz, seorang perwira lapangan IDF mengatakan kalau operasi militer ke Jabalia baru-baru ini menunjukkan perkiraan IDF mengenai infrastruktur Hamas, tidak tepat.


Artinya, perwira senior tersebut mempertanyakan kemampuan intelijen IDF yang tampak asal-asalan dalam membaca pergerakan dan kekuatan Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas.


Dia menjelaskan, Hamas memulihkan kemampuannya dengan sangat cepat dan membangun kembali pasukan di wilayah lain di Gaza.


Dia menunjukkan bahwa Hamas baru-baru ini mengubah taktik perangnya dan lebih fokus pada penggunaan jebakan-jebakan di bangunan-bangunan.


Dalam beberapa pernyataan, Brigade Al-Qassam menyatakan, serangan ke tentara IDF di Jabalia dilakukan dalam operasi kompleks.


Ini berarti, serangan yang dilancarkan bukan lah tembakan sporadis ke arah pasukan pendudukan IDF, melainkan sudah diatur dan direncanakan.


Memanfaatkan kontur area yang penuh puing, Brigade Al Qassam biasanya melakukan pancingan tembakan untuk menarik konsentrasi pasukan IDF ke lokasi yang sudah mereka siapkan.


Pancingan ini membutuhkan nyali besar karena lazimnya berlangsung dalam pertempuran jarak dekat.


Di saat pasukan Israel berada dalam lokasi jebakan, Brigade Al Qassam melancarkan sebuah sergapan terkoordinasi dengan menghujani IDF dengan peluru sebelum meledakkan posisi musuh di tempat yang sebelumnya sudah disiapkan alat peledak rakitan.


Kekuatan sergapan ini menjadi lebih menyengat karena serangan Brigade Al Qassam disatukan dengan serangan dari kelompok gerakan lain, semisal Brigade Al-Quds, sayap militer PIJ yang juga aktif menyerang pasukan IDF di Jabalia.


Belakangan, sumber-sumber Israel, yang dikutip di Al-Jazeera mengakui bahwa dalam satu serangan, 20 tentara pendudukan tewas atau terluka pada Rabu setelah sebuah bangunan jebakan di Jabalia diledakkan dan pasukan Israel berada di dalamnya.


“Insiden keamanan yang sulit”, begitu judul ulasan yang diberitakan di media Israel, melibatkan Divisi 98 tentara Israel, yang saat ini beroperasi di kamp pengungsi Jabalia.


Ketika helikopter Israel terlihat mendarat di timur Jabaliya, rumah sakit Israel mengatakan bahwa mereka menangani banyak korban jiwa akibat pertempuran sengit yang terjadi di Gaza.


Berdasarkan kejadian beberapa hari terakhir, termasuk mundurnya tentara Israel dari Zaytoun, menjadi jelas bahwa permasalahannya bukan sekadar re-grouping faksi-faksi milisi Perlawanan.


Sebaliknya, apa yang terjadi adalah perubahan taktik di pihak Perlawanan yang mengubah sifat pertempuran di Gaza secara keseluruhan.


Salah satu ciri utama perang Lebanon tahun 2006 adalah penggunaan terowongan oleh Hizbullah.


Para petempur akan menghabiskan waktu berhari-hari menunggu, bertahan tanpa makanan atau tidur yang cukup.


Hal ini dilakukan demi bisa muncul di belakang pasukan Israel seperti hantu dan menerkam.


Hamas kini telah menguasai hal ini juga di Jabalia yang berkontur tanah berpasir khas padang gurun.


Hal itu terungkap dari sejumlah video yang dirilis Brigade Al-Qassam di mana para petempur Hamas muncul dari lubang kecil, menyelinap ke belakang tank IDF untuk meletakkan bom dan peledak tanpa diketahui oleh pasukan infanteri IDF.


Di sisi lain, Brigade Al-Qassam juga memanfaatkan lemahnya koordinasi militer IDF dalam strategi pertempuran di Jabalia dan Zaytoun, Gaza Utara.


Pakar militer dan strategis asal Yordania, Nidal Abu Zaid, menganalisis perlawanan milisi pembebasan Palestina, Hamas Cs dan sayap-sayap militer mereka, sukses mengacaukan operasi militer Israel di Rafah, Gaza Selatan.


Zaid menjelaskan, ketika pasukan pendudukan Israel (IDF) mengumumkan peluncuran invasi Rafah, milisi perlawanan membuka pertempuran di Jalur Gaza utara di Jabalia dan lingkungan Al-Zaytoun.


Perlawanan ini menghasilkan pertempuran sengit yang memaksa IDF untuk menarik Divisi Terjun Payung ke-98 yang terkonsentrasi di Rafah untuk bergerak ke Gaza utara.


"Hal ini dikarenakan pasukan pendudukan mengira akan melakukan operasi cepat untuk mengatasi kantong perlawanan di Jabalia dan Al-Zaytoun," kata Zaid dilansir Khaberni, Selasa (14/5/2024).


Namun, rupanya milisi pembebasan Palestina memberikan perlawanan sengit yang memaksa divisi tersebut untuk terus bertempur di Gaza utara.


"Hal ini mengacaukan rencana invasi IDF ke Rafah sebagai akibat hilangnya seluruh divisi yang awalnya diperlengkapi untuk bekerja dengan Divisi Lapis Baja ke-162 di Rafah," kata Zaid.


Ini artinya, pasukan IDF kekurangan satu divisi untuk bertempur di Rafah karena sudah memplotnya ke Gaza Utara.


Belakangan, Yoav Gallant, menteri pertahanan Israel, menyatakan akan mengirimkan pasukan tambahan untuk operasi di Rafah.


Abu Zaid menambahkan, pihak milisi perlawanan, Hamas Cs tidak menginginkan adanya bentrokan serius dengan pasukan pendudukan Israel, baik di Jabalia, lingkungan Zaytoun, atau bahkan Rafah.


"Karena operasinya milisi perlawanan berfokus pada melelahkan pasukan pendudukan dan bukan pad apertempuran yang menentukan," katanya.


Hamas Cs, kata Zaid, berusaha untuk menghasilkan kerugian-kerugian besar di pihak Israel dalam operasi serangannya secara hit and run tersebut.


"Dengan begitu, IDF akan mengerahkan sumber daya intelijen yang lebih besar dari unit-unit pendudukan, yang jelas masih mengalami kelemahan dalam upaya tersebut," katanya.


Dalam perlawanannya, faksi-faksi milisi perlawanan Palestina di Gaza rupanya menyatukan kekuatan mereka.


Untuk front di Al Zaytoun, Brigade Al-Qassam mengatakan dalam sebuah pernyataan kalau mereka, bersama dengan Brigade Al-Quds, berkolaborasi menghadapi invasi pasukan IDF.


Brigade Al Qassam bersama Brigade Al Quds menargetkan tank Zionis "Merkava" dengan dua peluru anti-lapis baja di dekat persimpangan "Shafut" di lingkungan Al-Zaytoun," kata pernyataan Al Qassam.


Besarnya perlawanan di Zaytoun, memaksa IDF menarik pasukannya demi reorganisasi untuk melakukan operasi yang jauh lebih besar dari yang disiapkan sebelumnya.


IDF mengkonfirmasi kalau pasukan Brigade Nahal ditarik dari lingkungan Zaytoun di Kota Gaza setelah enam hari, untuk mempersiapkan “operasi ofensif tambahan.”


Diksi 'operasi tambahan' ini juga menunjukkan kalau IDF tadinya mengira kalau operasi berlangsung secara cepat dalam beberapa hari.


Kenyataannya, salah perhitungan membuat IDF menelan kerugian dalam jumlah besar dalam operasi di sana.


Untuk menggantikan Brigade Nahal yang ditarik mundur tersebut, pasukan cadangan Brigade Carmeli IDF diperintahkan untuk terus beroperasi di Zaytoun.


Langkah IDF ini, bertentangan dengan laporan media Israel yang mengklaim kalau operasi enam hari di sana telah berakhir. SB

×