Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memprediksi konflik Iran-Israel terus berlanjut lebih lama hingga pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS).
Associate INDEF Asmiati Malik mengatakan eskalasi konflik tersebut mempengaruhi harga komoditas seperti minyak mentah maupun emas. Ia memprediksi harga minyak mentah bisa mencapai lebih dari USD 120 per barel.
“Dengan asumsi (harga minyak) ada wave 3, minyak mentah bisa melampaui harga USD 120 per barel. Kalau kita kembali ke anggaran subsidi, akan berdampak signifikan,” ujar Asmiati dalam Diskusi Publik Ekonom Perempuan INDEF virtual, Sabtu (20/4).
Meskipun Indonesia tidak mengimpor minyak secara langsung dari Iran, namun eskalasi konflik ini berdampak pada harga minyak mentah dunia. Indonesia juga menjadi importir minyak dari Singapura sebagai pusat perdagangan minyak dunia (oil trading hub).
“Berkumpulnya minyak di situ (Singapura). Kalau kita mengatakan Indonesia tidak membeli minyak dari asal negara tertentu, (minyak) tidak ditentukan asal negara impor dari mana,” terang Asmiati.
Asmiati menganggap isu pembelian minyak mentah dari satu negara ke negara tertentu terlalu sederhana dalam konteks perdagangan internasional. Banyak celah yang bisa ditemukan dalam kompleksitas konflik Iran-Israel terhadap harga minyak mentah.
==
Menurut Asmiati, kerja sama Indonesia-Iran tidak terlalu signifikan. Sementara kerja sama paling signifikan dengan Iran adalah ASEAN Plus Three (APT) melibatkan tiga negara Asia Timur yaitu China, Jepang, Korea Selatan.
“Apa pun diplomasi Indonesia akan bermain di batasan normatif. Secara teori, yang bisa mengubah adalah (negara dengan) kekuatan yang paling besar,” jelas Asmiati.
Ketegangan politik berpotensi besar terus berlanjut di Timur Tengah selama tidak ada perubahan arahan politik luar negeri terutama Amerika. Presiden AS yang akan terpilih nantinya sangat mempengaruhi kebijakan politik luar negeri.
“Dalam argumentasi Intelligence Economist dari The Economist, jika Donald Trump terpilih, kemungkinan besar eskalasi besar akan terjadi secara luar biasa,” terang Asmiati.
Namun Asmiati memandang bahwa kebijakan Donald Trump tidak terlalu tertarik pada kebijakan luar negeri saat dia menjabat. Sedangkan apabila Joe Biden terpilih menjadi presiden, maka tidak ada perubahan signifikan terhadap kebijakan politik luar negeri AS.
“Keberpihakan Amerika Serikat dan keinginan untuk bergabung perang dingin (proxy war) baik Rusia-Ukraina, Iran Palestina, kemudian Israel akan terus berlangsung. Dengan asumsi tersebut, perang ini eskalasinya terus berlanjut pemilihan presiden Amerika Serikat,” pungkasnya.