Saya terenyuh ketika membaca berita di beberapa media asing. Warga Gaza masih akan terperangkap perang di tengah Ramadan.
Ini tentunya bukan bulan suci yang diinginkan warga Gaza. Pasalnya, sejak diserang Israel pada 7 Oktober 2023 lalu kondisi enclave tersebut luluh lantak. Tiga puluh ribu nyawa melayang sedangkan puluhan ribu lainnya terluka.
Mayoritas korban jiwa adalah warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan yang saat perang wajib menjadi pihak paling dilindungi.
Menjadi jurnalis dalam satu dekade terakhir ini kejadian perang di Gaza membuat saya tergugah untuk membagikan suatu cerita singkat dan harapan untuk saudara-saudari saya di Gaza yang pastinya begitu menantikan Ramadan, sama seperti saya yang selalu antusias ketika memasuki Desember bulan Natal.
Buah pikiran saya mengenai peristiwa di Gaza jelang Ramadan sebenarnya dimulai dari perasaan optimis. Optimisme saya Ramadan akan dilalui warga Gaza tanpa suara senjata atau ledakan. Bukan sekadar intuisi, tapi optimisme ini didasari berbagai rangkaian peristiwa.
Mediator krisis Gaza yaitu Qatar, Mesir dan Amerika Serikat berupaya menyusun roadmap negosiasi gencatan senjata. Bahkan mereka menggelar pertemuan di Kairo pada pekan ini untuk membahas gencatan senjata.
Presiden AS Joe Biden sempat menegaskan Gaza sedang menuju gencatan senjata jelang Ramadan. Tentunya AS, sebagai sekutu Israel, diharapkan bisa menekan Zionis demi menyepakati gencatan senjata.
Emir Qatar pun sudah melakukan kunjungan kerja ke beberapa negara kekuatan dunia, salah satunya Prancis, dengan tujuan membantu gencatan senjata. Pada 2023 lalu gencatan senjata enam pekan di Gaza terwujud berkat Qatar.
Akan tetapi optimisme yang sempat membuncah di diri saya perlahan luluh. Saya seakan lupa betapa ganasnya Israel baik di meja perundingan atau pun di medan perang. Bahkan berbagai lembaga internasional mengakui Israel melakukan serangan tanpa pandang bulu di Gaza.
Di meja perundingan Israel tidak mau ikut negosiasi di Kairo, Mesir. Di Gaza mereka terus menyerang Gaza bahkan sampai membantai dan melindas warga sipil yang sedang antre bantuan. Pada satu peristiwa itu saja korban jiwa mencapai lebih dari 100 orang.
Salah seorang menteri Israel melontarkan kalimat yang membuat semua orang mendengarnya geram. Ia ingin menghapus Ramadan. Bagi saya pernyataan Amichai Eliyahu menandakan Israel tak punya niat sama sekali menghentikan serangan ke Gaza.
PM Benjamin Netanyahu setali tiga uang, ia menolak berdirinya negara Palestina setelah perang Gaza yang sebenarnya belum tentu dimenangi oleh Israel. Alasan Netanyahu begitu konyol ia tak ingin keamanan Israel terganggu bila Palestina berdiri dan Israel tidak menguasai seluruh aspek keamanan baik di Gaza maupun Tepi Barat.
Tindakan demi tindakan dan pernyataan lepas pernyataan dari Israel membuat saya miris. Warga Gaza harus melewati Ramadan ini dengan perang terbesar sepanjang sejarah Timur Tengah modern.
Bahkan kondisi pada awal Ramadan 2024 warga yang ingin salat di Masjid Al-Aqsa dipukuli oleh tentara Israel. Sedang di Gaza warga terpaksa salah tarawih di puing-puing masjid yang hancur.
Pada puncaknya pernyataan salah satu ulama Palestina yang saya wawancarai begitu mengiris perasaan saya. Sheikh Nawaf Takrouri yang merupakan pimpinan organisasi cendekiawan Palestina menyebut meski kondisi sulit warga Gaza pasti akan puasa tapi tidak punya kepastian akan berbuka atau tidak.
Ucapan ini berarti satu hal Gaza kelaparan di tengah perang jelang Ramadan.
Badan PBB untuk urusan pangan (FAO) memperingatkan Gaza sudah masuk level bencana kelaparan.
“Anak-anak mati kelaparan karena penyakit dan menderita akibat tingkat malnutrisi akut,” ucap keterangan resmi FAO.
Setidaknya beberapa pekan lalu Kementerian Kesehatan Gaza mengumumkan kematian seorang anak berusia 15 tahun yang dirawat di Rumah Sakit Al-Shifa. Penyebab masa depan anak itu terenggut adalah kelaparan.
Seorang dokter yang bertugas di RS Kamal Adwan malah di utara Gaza melaporkan situasi lebih menyayat hati lagi. Ada 10 orang yang meninggal akibat kelaparan Gaza.
Apa yang terjadi di Gaza memang sudah di luar akal sehat. Kelaparan ditambah perang tanpa akhir, apa yang lebih buruk dari itu?
Sebagai seorang jurnalis cara konkret yang bisa saya buat untuk membantu perjuangan Gaza adalah dengan tulisan. Saya masih percaya ungkapan yang dipopulerkan oleh Edward Bulwer-Lytton bahwa pena lebih tajam daripada pedang.
Bukan salah benar yang saat ini harus dicari di tengah krisis Gaza. Dalam pandangan hasil perenungan saya, memberitakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di dunia modern ini dengan sudut pandang kemanusiaan adalah hal paling konkret bisa saya lakukan lewat artikel-artikel saya.
Saya cuma berharap sedikit dari berbagai tulisan saya mengenai Gaza dapat menyentuh relung para pembacanya. Sehingga mereka bisa membantu Gaza dengan kemampuan dan porsinya yang paling konkret.
Ramadan yang merupakan bulan penuh berkah, saya cuma berharap saudara-saudara kami dalam kemanusiaan di Gaza bisa beribadah tanpa rasa takut dan punya makanan dan minuman untuk berbuka. From river to the sea Palestine will be free!