DEWAN Keamanan Persatuan Bangsa Bangsa (DK-PBB) pada Senin (25/3/2024) mengeluarkan resolusi untuk menuntut gencatan senjata segera di Jalur Gaza sepanjang bulan Ramadhan. Sebanyak 14 negara dari total 15 anggota menyetujui resolusi tersebut, hanya Amerika Serikat (AS) yang memilih untuk abstain. Resolusi itu pun lolos.
Ini kali pertama DK-PBB berhasil mengeluarkan resolusi terkait gencatan senjata setelah sebelumnya diveto AS, Rusia, dan China. Keluarnya resolusi itu disambut tepuk tangan meriah para anggota dewan.
Melalui resolusi itu, DK-PBB juga menuntut pelepasan semua tawanan yang ditahan pada saat serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober, namun tidak menjadikan permintaan ini syarat untuk gencatan senjata.
Keputusan AS untuk abstain dalam pemungutan suara menarik perhatian internasional. Sepanjang konflik Gaza, AS dikenal paling gigih dalam mendukung Israel, baik melalui pengiriman bantuan hingga membela Israel dalam forum-forum internasional. Meski demikian, pemerintah AS membantah bahwa keputusan abstain saat ini menandai pergantian arah kebijakan AS dalam konflik Gaza.
Menteri Luar Negeri AS, Antony J Blinken, dalam pernyataan pers menyampaikan alasan abstainnya AS dalam pemungutan suara kali ini. Pada satu sisi, Antony Blinken mengatakan AS tidak bisa mendukung resolusi itu “karena teks final tidak memiliki bahasa kunci yang kami anggap penting, terutama kecaman terhadap Hamas.”
Di sisi lain, Antony Blinken mengatakan resolusi ini “sejalan dengan prinsip kami yang menyatakan bahwa setiap teks gencatan senjata harus dipadukan dengan teks mengenai pembebasan para sandera.” Akhirnya, para petinggi AS memilih untuk abstain dibandingkan memveto usulan tersebut.
Israel Kecewa
Walau beralasan demikian, keputusan AS untuk abstain mendapat respon negatif dari pihak Israel. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menuduh AS “mundur” dari “posisi prinsipnya” dengan membiarkan pemungutan suara tersebut diloloskan tanpa mengondisikan gencatan senjata atas pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas.
Perdana Menteri Netanyahu mengecam sikap abstain itu karena akan “memberi Hamas harapan bahwa tekanan internasional akan memungkinkan mereka mencapai gencatan senjata tanpa membebaskan para sandera".
Israel lalu merespon keputusan AS dengan membatalkan rencana kunjungan ke Washington untuk membahas rencana operasi militer Israel di Rafah.
“Perdana Menteri Netanyahu telah menegaskan tadi malam bahwa jika AS menarik diri dari posisi prinsipnya, ia tidak akan mengirim delegasi Israel ke AS. Mengingat perubahan posisi Amerika, Perdana Menteri Netanyahu memutuskan bahwa delegasi tersebut tidak akan berangkat," demikian pernyataan dari kantor Perdana Menteri Israel pada Senin lalu.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller mengatakan, pernyataan Netanyahu “sedikit mengejutkan dan disayangkan".
Hubungan Merenggag
Akhir-akhir ini, hubungan Israel dan AS memang dipantau mulai merenggang. Beberapa ketidaksepakatan yang terjadi antara kedua pihak membuat hubungan mereka semakin terancam.
Salah satu ketidaksepakatan antara keduanya timbul saat perang di Gaza mulai menjadi bencana kemanusiaan yang memburuk. Walau Presiden AS, Joe Biden, secara terus terang mendukung Israel dalam mengalahkan Hamas, pemerintahannya telah beberapa kali menyampaikan kritik kepada Israel terkait caranya dalam beroperasi di Gaza.
Pengeboman udara oleh Israel yang tanpa henti, perluasan invasi darat, serta pemotongan pasokan air dan listrik di Gaza telah menewaskan lebih dari 30.000 warga Palestina. Adanya pembatasan yang dilakukan Israel terhadap bantuan kemanusiaan juga telah menyebabkan lebih dari 500.000 orang mengalami kelaparan, menurut data PBB.
Biden juga menekankan apa yang menurut pemerintahannya adalah perlunya negara Palestina merdeka sebagai bagian dari jalan menuju perdamaian yang bersifat berkepanjangan. Hal ini sangat ditentang Netanyahu. Netanyahu juga menolak usulan Biden mengenai peran utama Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat dalam masa depan Gaza ketika perang berakhir.
“Perpecahan ini dan perpecahan lainnya menempatkan seluruh ‘hubungan khusus’ antara AS dan Israel di bawah tekanan yang belum pernah saya lihat sebelumnya seumur hidup saya,” kata Hussein Ibish, peneliti senior di Arab Gulf States Institute di Washington, kepada CNBC. “Hubungan (antara Biden dan Netanyahu) benar-benar buruk.”
Hubungan Biden dengan Netanyahu juga dilaporkan terus memburuk setelah anggota kabinet perang Israel, Benni Gantz yang juga saingan lama Netanyahu melakukan kunjungan ke Washington di awal Maret atas undangan Gedung Putih. Kunjungan tersebut dikatakan “membuat marah” Netanyahu “yang memerintahkan Kedutaan Israel di Washington untuk tidak mengambil bagian dalam kunjungan tersebut atau membantu Gantz dengan cara apapun.”
Gantz dilaporkan menghadapi rentetan pertanyaan dan kritik keras dari pemerintah mengenai cara Israel menangani perang Gaza.
Walau begitu, pemerintahan Biden masih menolak menarik kembali bantuan militer yang diberikan kepada Israel dan secara konsisten masih memberikan perlindungan diplomatik terhadap bantuan tersebut di PBB. AS juga masih berupaya membela Israel dengan memperjuangkan pelepasan tawanan-tawanan Israel oleh Hamas.