Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kisah Pasien Kanker yang Tak Diperbolehkan Meninggalkan Gaza untuk Berobat, Berkali-kali Gagal Menembus Rafah

Maret 16, 2024 Last Updated 2024-03-16T01:03:28Z


Seorang pria yang menderita leukemia yang tinggal di Gaza, Palestina, Siham (62) menceritakan bagaimana kondisinya yang makin terhimpit di tengah perang antara Israel-Palestina saat ini.


Sebelum adanya perang itu, ia dirawat di Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina di Gaza utara yang menjadi satu-satunya rumah sakit kanker di Jalur Gaza, dilansir dari BBC.


Siham adalah salah satu dari sekitar 10.000 pasien kanker di Gaza yang tidak lagi memperoleh pengobatan sejak rumah sakit ditutup pada minggu pertama November 2023 karena kekurangan bahan bakar.


Seperti warga Gaza lainnya yang mengungsi, Siham juga mengungsi dari rumahnya di bagian utara ketika daerahnya dihantam serangan udara.


Ia berlindung bersama putrinya, yang baru saja melahirkan, di sebuah sekolah di Rafah yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA.


Selama berbulan-bulan Siham telah mencoba keluar dari Gaza untuk mendapatkan pengobatan. Akan tetapi, usahanya ditolak di gerbang perbatasan Rafah sebanyak lima kali sejak perang dimulai.


Saat ini, Rafah adalah satu-satunya jalan keluar dari Gaza.


Penyeberangan di perbatasan dengan Gaza ditutup


Semua penyeberangan perbatasan dengan Gaza ditutup selama hampir empat minggu setelah Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. 


Pada November 2023, Mesir membuka kembali perlintasan Rafah untuk mengizinkan warga negara Mesir dan pemegang paspor asing lainnya untuk keluar dari Gaza. Selain itu, Mesir juga membuka perlintasan ini untuk warga Palestina yang terluka parah dan sakit.


Sebuah laporan terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan, lebih dari 2.600 pasien telah dievakuasi melalui Rafah, yang terdiri dari 1.700 orang terluka dan 900 orang sakit.


Mesir, Turkiye, Uni Emirat Arab (UEA), dan Yordania telah berjanji untuk mengobati ribuan pasien kanker seperti Siham, serta mereka yang terluka dalam perang.


Sebuah daftar harian diterbitkan oleh otoritas perbatasan Palestina yang berisi nama-nama orang yang telah disetujui oleh Mesir dan Israel untuk pergi.


Nama Siham pertama kali muncul dalam daftar yang diterbitkan pada 19 November 2023 untuk dievakuasi ke Turkiye. Namun ia ditolak oleh agen perbatasan ketika tiba di perlintasan.


Agen-agen perbatasan mengatakan, karena utusan Turkiye tidak ada di sana untuk menerima Siham di sisi Mesir, mereka tidak dapat mengizinkannya masuk.


Akan tetapi, ada beberapa orang yang diizinkan untuk melakukan perjalanan ke Turkiye pada hari itu, salah satunya Mona Al-Shorafi.


Ia didiagnosa menderita kanker payudara tiga tahun yang lalu dan telah menjalani perawatan di Yerusalem sebelum 7 Oktober 2023.


Nama Mona masuk dalam daftar evakuasi yang sama dengan Siham pada 19 November 2023. Ia diizinkan untuk menyeberangi perbatasan ke Mesir dan naik pesawat ke Ankara, Turkiye, bersama lebih dari 130 orang lainnya.


Mona bahkan diizinkan untuk membawa kedua putrinya yang masih kecil, meskipun setiap pasien secara resmi hanya diperbolehkan membawa satu orang pendamping.


Meski demikian, otoritas perbatasan Palestina di Gaza tidak menanggapi tentang mengapa Siham tidak diberi izin untuk pergi.


Ada banyak pasien yang ditolak menyeberang


Selain Siham, ada dua pasien kanker lainnya yang juga ditolak di perbatasan meskipun nama mereka ada dalam daftar evakuasi.


Salah satu dari mereka, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia juga seharusnya berangkat pada 19 November 2023. Namun ia ditolak karena pendampingnya adalah putranya yang masih kecil.


Dia mengatakan otoritas perbatasan Palestina lebih memilih pendamping perempuan untuk para pengungsi, untuk mengurangi kemungkinan mereka yang pergi adalah pejuang Hamas.


Seorang pasien lain, yang seharusnya dievakuasi ke UEA untuk menjalani perawatan pada Desember 2023, diberitahu di perbatasan bahwa petugas tidak dapat menemukan namanya.


Direktur Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina di Gaza, Dr Sobhi Skaik mengatakan, dari sekitar 10.000 pasien kanker di Gaza, ada sekitar 3.800 pasien yang telah diberi izin untuk meninggalkan Gaza untuk berobat ke luar negeri.


Akan tetapi pada kenyataannya, hanya sekitar 600 pasien yang bisa meninggalkan jalur Gaza sejak dimulainya perang, baik orang dewasa maupun anak-anak.


Bagaimana proses evakuasi berjalan?


Proses evakuasi warga Palestina yang membutuhkan pengobatan diproses berdasarkan pasien yang membutuhkan perawatan medis paling mendesak ke kementerian kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza.


Nama-nama tersebut kemudian dikirim ke pihak berwenang Mesir yang kemudian melakukan pemeriksaan keamanan.


Setelah Mesir menyetujui, daftar itu kemudian diperiksa oleh pihak berwenang Israel yang juga harus menyetujui nama-nama tersebut.


Ketika daftar akhir disetujui, daftar tersebut akan dibagikan kepada negara-negara yang telah menyatakan bersedia menerima pasien dan dipublikasikan secara online. Setiap kelompok pasien disetujui untuk melakukan perjalanan pada tanggal tertentu.


Namun, apakah seorang pasien pada akhirnya diizinkan untuk pergi dan melintas, tergantung pada kebijaksanaan otoritas perbatasan Palestina.


Menanggapi mengapa lebih banyak pasien yang tidak diizinkan keluar, Kementerian Pertahanan Israel mengatakan bahwa penyeberangan Rafah diatur oleh Mesir.


Tidak ada batasan sejauh yang diketahui Israel mengenai jumlah pasien yang dapat menyeberang di perbatasan Rafah untuk mendapatkan perawatan medis di luar Jalur Gaza.


Sementara itu, Kementerian Kesehatan Mesir, Kementerian Luar Negeri Mesir, dan otoritas perbatasan Palestina menolak untuk menjawab mengenai proses evakuasi pasien dari Gaza.


Pada awal November 2023, pemerintah Turkiye mengatakan bahwa mereka bersedia menampung hingga 1.000 pasien kanker, sementara UEA mengumumkan bahwa mereka juga akan menampung 1.000 pasien kanker dan 1.000 anak-anak yang terluka.


"Jika Gaza memberi kami daftar 600 orang, kami tidak memilih-milih jumlah tertentu. Bagi kami, semakin banyak pasien dan korban luka yang dapat dikirim, semakin baik. Kami memiliki kapasitas untuk merawat mereka semua," kata salah satu pejabat Turkiye.


Muncul monopoli yang menguntungkan


Perang telah memunculkan monopoli yang menguntungkan, dengan salah satu biro perjalanan Mesir, Hala, dilaporkan membebankan biaya kepada warga Palestina sebesar 5.000 dollar AS atau Rp 78 juta per orang untuk meninggalkan Gaza dalam waktu satu hingga dua minggu.


Sebelum perang, biro perjalanan ini biasanya mengenakan biaya sekitar 350 dollar AS atau Rp 5,4 juta per orang untuk pergi dari Gaza ke Mesir.


Setelah 7 Oktober, harganya dilaporkan melonjak menjadi hampir 12.000 dollar AS atau Rp 1,8 miliar per orang, sebelum perusahaan membatasinya menjadi 5.000 dollar AS atau Rp 78 juta untuk orang dewasa Palestina dan 2.500 dollar AS atau Rp 39 juta untuk anak-anak, meskipun Hala tidak mengiklankannya secara resmi.


Biaya untuk mengevakuasi satu orang dewasa ini lebih dari empat kali lipat gaji tahunan rata-rata di Gaza.


Seorang pria Palestina, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia harus membayar untuk masuk ke kantor perusahaan dan melakukan pembayaran tambahan sebesar 300 dollar AS atau Rp 4,6 juta kepada seorang anggota staf di Hala untuk memasukkan keluarganya ke dalam daftar evakuasi.


Ini merupakan tambahan dari 10.000 dollar AS atau Rp 156 juta yang ia bayarkan untuk mengevakuasi istri dan kedua anaknya.


Tingginya permintaan juga memunculkan pasar sekunder bagi para calo yang memanfaatkan keputusasaan warga Palestina yang memiliki keluarga yang terjebak di Gaza dan mengeklaim bahwa mereka dapat menempatkan orang-orang di urutan teratas dalam daftar evakuasi dengan sejumlah bayaran.


Kondisi pasien di Gaza kian memburuk


Padahal di Gaza, waktu hampir habis untuk Siham dan pasien kanker seperti dirinya, yang terjebak dalam peraturan yang tidak jelas dan birokrasi yang berbelit-belit di perbatasan.


Putus asa untuk mengeluarkannya, putranya, Saqr, mengatakan bahwa ia mencoba mengatur agar Siham bisa dievakuasi melalui perusahaan Hala.


"Jika kami punya uang, kami tidak akan ragu-ragu. Ketika kami bertanya tentang evakuasi pribadi, mereka mengatakan bahwa minimum yang diminta Hala adalah 5.000 dolar AS, tetapi kami tidak mampu membayar 5.000 dollar AS," ujarnya.


Setelah upaya pertamanya untuk menyeberang, Siham mengatakan bahwa ia telah kembali ke perbatasan empat kali untuk melihat apakah mereka akan mengizinkannya masuk karena namanya telah disetujui.


Namun, ia ditolak oleh otoritas perbatasan Palestina, dan kesehatannya kini semakin memburuk tanpa obat-obatan.


"Saya hampir tidak bisa berjalan selangkah pun tanpa merasa pusing. Saya tidak tahu apa yang mereka tunggu," katanya.

×