Baru-baru ini Gus Miftah seorang dai menyindir peraturan larangan mengenai mengunakan speaker saat tadraus Al-quran di bulan ramadhan.
Pernyataan tersebut disampaikan saat ceramah di Bangsri, Sukodono, Sidoarjo Jawa Timur beberapa hari lalu.
Dalam ceramahnya, Gus Miftah membandingkan larangan penggunaan speaker saat tadarus Al-Quran dengan acara dangdutan yang tidak dilarang bahkan hingga jam 1 pagi.
Potongan video ceramah ini kemudian viral di sejumlah media sosial.
Namun, pernyataan Gus Miftah tersebut mendapat tanggapan tegas dari Juru Bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie.
Menurut Anna Hasbie, pernyataan Gus Miftah terkesan asbun (asal bunyi) dan gagal paham terhadap surat edaran Kementerian Agama tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musalla.
"Sebagai penceramah, biar tidak asbun dan provokatif, baiknya Gus Miftah pahami dulu edarannya. Kalau nggak paham juga, bisa nanya agar mendapat penjelasan yang tepat. Apalagi membandingkannya dengan dangdutan, itu jelas tidak tepat dan salah kaprah," ujar Anna Hasbie dikutip dari Kemenag.go.id
Anna Hasbie menjelaskan bahwa Kementerian Agama telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musalla, termasuk dalam pelaksanaan tadarus Al-Quran di bulan Ramadan.
Edaran tersebut tidak melarang penggunaan speaker, namun mengatur agar penggunaan pengeras suara di dalam ruangan saja, untuk menciptakan ketentraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama.
“Ini juga bukan edaran baru, sudah ada sejak 1978 dalam bentuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978. Di situ juga diatur bahwa saat Ramadan, siang dan malam hari, bacaan Al-Qur’an menggunakan pengeras suara ke dalam,” jelasnya.
"Edaran ini tidak melarang menggunakan pengeras suara. Silakan Tadarrus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara untuk jalannya syiar. Untuk kenyamanan bersama, pengeras suara yang digunakan cukup menggunakan speaker dalam," jelas Anna Hasbie.
Menanggapi kontroversi ini, Anna menekankan bahwa edaran ini bukan untuk membatasi syiar Ramadan, melainkan untuk menciptakan suasana yang lebih syahdu dan nyaman bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan.
"Kalau suaranya terlalu keras, apalagi antar masjid saling berdekatan, suaranya justru saling bertabrakan dan menjadi kurang syahdu. Kalau diatur, insya Allah menjadi lebih syahdu, lebih enak didengar, dan jika sifatnya ceramah atau kajian juga lebih mudah dipahami,” tandasnya.
Aturan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala
Berikut ini ketentuan dalam Surat Edaran Menteri Agama tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala:
Pengeras suara terdiri atas pengeras suara dalam dan luar.
Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan/diarahkan ke dalam ruangan masjid/musala.
Sedangkan pengeras suara luar difungsikan/diarahkan ke luar ruangan masjid/musala.
b. Penggunaan pengeras suara pada masjid/musala mempunyai tujuan:
Mengingatkan kepada masyarakat melalui pengajian AlQur’an, selawat atas Nabi, dan suara azan sebagai tanda masuknya waktu salat fardu.
Menyampaikan suara muazin kepada jemaah ketika azan, suara imam kepada makmum ketika salat berjemaah, atau suara khatib dan penceramah kepada jemaah.
Menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas baik di dalam maupun di luar masjid/musala.
Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara.
pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid/musala.
untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik.
volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel); dand.
dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, selawat/tarhim.
Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara
Waktu Salat:
Subuh: sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh menggunakan Pengeras Suara Dalam.
Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya: sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) menit; dan sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras Suara Dalam.
Jum’at: sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan penyampaian pengumuman mengenai petugas Jum’at, hasil infak sedekah, pelaksanaan Khutbah Jum’at, Salat, zikir, dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.
Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar
Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan Upacara Hari Besar Islam:
Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam.
Takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam.
Pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar.
Takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan 13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras Suara Dalam.
Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid/musala dapat menggunakan Pengeras Suara Luar.
Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya, suara yang disiarkan memenuhi persyaratan:
a. bagus atau tidak sumbang; dan
b. pelafazan secara baik dan benar.
Pembinaan dan Pengawasan
a. pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang.
b. Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan.(RH)