AKHIR Desember lalu, Afrika Selatan mengajukan gugatan terhadap Israel ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ). Afrika Selatan menuduh Israel telah melakukan genosida di Gaza, karena itu harus segera menghentikan serangannya yang dinilai brutal tersebut.
Dalam dokumen gugatan setebal 84 halaman, Afrika Selatan menyebutkan bahwa Israel telah melanggar Konvensi Genosida 1948, konvensi yang turut ditandatangani Israel.
Organisasi dan negara yang mendukung gugatan Afrika Selatan antara lain Organisasi Kerja Sama Islam (OIC), Liga Arab, Malaysia, Turki, Yordania, Bolivia, Maldives, Namibia, Pakistan, Kolombia, dan Brasil.
Gugatan Afrika Selatan kemudian ditindaklanjuti Mahkamah Internasional pada awal Januari melalui sesi dengar pendapat. Pada 11 Januari, hari pertama sesi dengar pendapat, Afrika Selatan berargumen bahwa Israel telah melakukan genosida “sistematis” di Gaza, di mana lebih dari 23.500 warga Palestina tewas, dan setidaknya 70 persen di antaranya perempuan dan anak-anak.
Israel membantah tuduhan itu. Argumen Israel berkisar pada “hak membela diri” setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Israel juga mengatakan, gugatan itu masih kurang bukti untuk membuktikan apakah tindakannya adalah genosida.
Christopher Staker, pengacara yang mewakili Israel mengatakan, “Korban jiwa dan penderitaan manusia yang tak terhindarkan akibat konflik apapun bukanlah pola perilaku yang secara masuk akal menunjukkan niat genosida.”
Malcolm Shaw, profesor hukum internasional yang mewakili Israel mengatakan, jika tuduhan genosida dilontarkan secara tidak tepat maka “inti dari kejahatan ini akan hilang".
Konvensi Genosida 1948
Dalam hukum internasional kontemporer, kejahatan genosida merupakan bagian lebih luas dari kategori “kejahatan terhadap kemanusiaan” sebagaimana didefinisikan Piagam Pengadilan Militer Internasional (Piagam Nürnberg).
Piagam tersebut memberikan yurisdiksi kepada pengadilan untuk mendakwa dan mengadili para pemimpin rezim Nazi Jerman atas tindakan tidak manusiawi yang dilakukan terhadap warga sipil, serta tindakan penganiayaan atas dasar politik, ras, atau agama. Momentum yang diciptakan persidangan di Nürnberg dan terungkapnya kekejaman Nazi mengarah kepada disahkannya Resolusi 96-I (Desember 1946) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menjadikan kejahatan genosida dapat dihukum berdasarkan hukum internasional.
Pengesahan Resolusi 96-I kemudian mengarah kepada pengesahan Resolusi 260-III (Desember 1948) yang menyetujui teks Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida 1948), perjanjian hak asasi manusia PBB yang pertama.
Dalam teks Konvensi Genosida 1948, aksi genosida diartikan sebagai "tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras, atau agama”.
Tindakan-tindakan yang dimaksud termasuk “membunuh anggota-anggota suatu kelompok, menyebabkan penderitaan berat baik fisik maupun mental terhadap anggota-anggota kelompok, dengan sengaja menimbulkan kondisi-kondisi kehidupan kelompok yang diperkirakan akan mengakibatkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian, menerapkan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok, dan/atau memindahkan secara paksa anak satu kelompok ke kelompok lain.”
Definisi genosida dalam konvensi itu kini telah diadopsi secara luas baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk dalam Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) tahun 1998.
Konvensi itu menetapkan kewajiban bagi negara-negara untuk mengambil langkah-langkah guna mencegah dan menghukum tindak kejahatan genosida, termasuk dengan memberlakukan undang-undang yang relevan dan menghukum para pelakunya, “baik mereka itu penguasa, pejabat publik, atau individu yang bertanggung jawab secara konstitusional” (Pasal IV).
Kewajiban itu juga telah dianggap sebagai norma hukum kebiasaan internasional dan oleh karena itu sifatnya adalah mengikat semua negara, baik negara yang telah meratifikasi atau belum.
Aksi Israel di Gaza, Genosida atau Bukan?
Kembali ke tindakan Israel di Jalur Gaza, sudah termasuk genosida atau bukan, atau memang hanya sebentuk pembelaan diri?
Raz Segal, direktur program studi genosida di Universitas Stockton, dengan tegas menyatakan bahwa aksi Israel di Gaza sebagai “kasus genosida yang sesungguhnya.” Segal yakin, pasukan Israel sedang melakukan tiga tindakan genosida sekaligus, yaitu “membunuh, menyebabkan cedera serius, dan tindakan-tindakan yang diperhitungkan akan membawa kehancuran kelompok...”
Segal merujuk pada tingkat penghancuran massal dan pengepungan total kebutuhan dasar seperti air, makanan, bahan bakar, dan persediaan medis sebagai dasar argumennya.
Ernesto Verdeja, profesor di Universitas Notre Dame yang juga merupakan ahli di bidang genosida mengatakan, tindakan Israel di Gaza mengarah ke “kampanye genosida”. Meskipun ia mencatat bahwa pasukan Israel bermaksud untuk menghancurkan Hamas, tetapi tetap tidak menutup kemungkinan adanya aksi genosida.
“Respon yang diberikan ketika Anda mengalami krisis keamanan… dapat berupa gencatan senjata, negosiasi, atau genosida,” ungkap Verdeja
Profesor Victoria Sanford dari City University of New York membandingkan apa yang terjadi di Gaza dengan pembunuhan atau penghilangan lebih dari 200.000 orang suku Maya di Guatemala tahun 1960-1996 yang dikenal sebagai genosida Guatemala.
Menurut Sanford, bangsa Maya dan Palestina sama-sama menjadi sasaran tindakan genosida. “Ketika kita mencocokkannya dengan pengalaman hidup masyarakat, terdapat keadaan serupa… jika kita melihat konflik kontemporer seperti invasi Israel ke Palestina.”
Berbeda dari Segal, Verdeja, dan Sanford, David Simon, direktur program studi genosida di Universitas Yale mengatakan, Israel secara eksplisit mengatakan mereka ingin memusnahkan Hamas tetapi tidak secara langsung menyatakan niatnya untuk “menghancurkan kelompok agama, etnis atau ras”.
Simon mengatakan, mungkin saja pengadilan dapat menyatakan Hamas atau beberapa elemen dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF) bersalah atas tindakan genosida. Namun, Simon menambahkan, “Hal ini jelas bukan sebuah hal yang mudah dipahami karena menghubungkan niat untuk menghancurkan kelompok etnis itu sulit.”
Ben Kiernan, direktur Program Genosida Kamboja di Universitas Yale juga sepakat dengan Simon. Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui email kepada TIME, ia menulis, “Pengeboman balasan yang dilakukan Israel terhadap Gaza, betapapun tanpa pandang bulu, dan serangan darat yang dilakukan saat ini, meskipun banyak korban sipil, di antara penduduk Palestina di Gaza, tidak memenuhi ambang batas yang sangat tinggi yang diperlukan untuk memenuhi definisi hukum genosida.”