Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Sejarah Rafah, Kota Kuno yang Kini Menjadi Tempat Pengungsian

Februari 15, 2024 Last Updated 2024-02-15T09:08:13Z


Kota Rafah, yang terletak di titik paling selatan Jalur Gaza dan berbatasan dengan Mesir, kini Rafah menjadi pusat perhatian dunia karena Israel mulai melancarkan serangan darat ke wilayah itu. Ratusan ribu warga Palestina terpojok di kota itu. Mereka telah lari dari Gaza bagian utara demi menghindari serangan Israel.


Mereka tidak bisa lagi terus melarikan diri ke selatan. Gerbang perbatasan Mesir sempat ditutup dan kini hanya dibuka terbatas untuk evakuasi orang yang terluka parah dan untuk memasok bantuan pangan ke Gaza.


Dunia pun cemas. Serangan darat Israel ke Rafah akan menjadi lokasi pembantaian bagi warga sipil. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS), telah menyerukan agar Israel menghentikan serangan.


Kota Kuno


Rafah memiliki sejarah panjang, 3000 tahun lebih. Di zaman kuno, kota ini, yang dikenal sebagai gerbang utara Sinai, menghubungkan Mesir dengan Levant (wilayah Timur Tengah di sepanjang pantai timur Laut Mediterania yang mencakup Palestina, Israel, Lebanon, Suriah, Yordania saat ini).


Rafah adalah penyebutan dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Ibrani kota itu disebut Rafiah, dalam bahasa Asyur menjadi Rapihu, dan dalam bahasa Yunani sebutannya adalah Raphia.


Dalam catatan sejarah, nama Rafah pertama kali disebutkan dalam sebuah prasasti Mesir dari awal abad ke-13 SM, dari zaman Firaun Seti I. Firaun Seti I melakukan operasi militer di Levant untuk mengembalikan prestise Mesir di kawasan tersebut.


Nama Rafah kemudian disebutkan dalam teks Mesir kuno lainnya, seperti dalam surat satir Papirus Anastasi I (1250 SM) dan dalam relief Portal Bubastite (Prasasti Shishak) di kuil Amun di Karnak, dari Firaun Shishak (Sheshonk) I.


Pada tahun 720 SM, Kaisar Sargon II dari Asyur mengalahkan koalisi pasukan Mesir dan Filistin dalam pertempuran sengit di Rafah. Pasukan Asiria yang menang dalam pertempuran lalu menjarah dan membakar Rafah, serta mengasingkan hampir semua penduduknya.


Selama era Helenistik (332–167 SM), Rafah menjadi pusat operasi militer selama Perang Diadochi, serangkaian konflik antara para jenderal terkemuka yang menggantikan Raja Alexander III dari Makedonia (Alexander Agung) yang bersaing untuk menguasai kerajaannya yang luas.


Pada era Hasmonean (167–63 SM), Raja Yannai Alexander dari Yudea menaklukkan Rafah. Kota itu berada di bawah pemerintahan Hasmonean (bangsa Yahudi) sampai era Romawi (63 SM – 313 M), ketika jenderal Romawi, Pompey yang Agung, merebut kota itu dari orang-orang Yahudi. Jenderal dan gubernur Romawi, Aulus Gabinius, kemudian membangun kembali kota itu tahun 57 M.


Pada era Bizantium (324–638 M), tepatnya pada abad kelima dan keenam, Rafah memiliki tahta keuskupan.  Dalam Konsili Efesus tahun 431 Rafah mengirim perwakilan yaitu Uskup Romanus.


Rafah juga muncul di Peta Madaba (pertengahan abad keenam). Peta Madaba, yang juga dikenal sebagai Mosaik Madaba, merupakan sebuah mosaik lantai dari abad ke-6 Masehi yang ditemukan di gereja Bizantium kuno di Madaba, Yordania. Peta itu terkenal karena menggambarkan peta tertua yang diketahui dari Tanah Suci, mencakup wilayah dari Lebanon ke Delta Nil di Mesir dan dari Laut Mediterania ke daerah timur di seberang Sungai Yordan, termasuk tempat-tempat penting seperti Yerusalem, Betlehem, dan Yerikho.


Tahun 635, Rafah ditaklukkan oleh Jenderal Amr ibn al-As dari Arab. Itu merupakan bagian dari penaklukan awal kaum Muslim dan kota itu segera menjadi kota perbatasan provinsi dan pusat komersial regional yang dilengkapi pasar, masjid, dan karavan.


Di bawah Kesultanan Ayyubiyah, Rafah menjadi tempat pemberhentian dalam perjalanan ke Mesir. Kesultanan Ayyubiyah didirikan Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin) setelah dia menggulingkan Dinasti Fatimiyah di Mesir tahun 1171.


Pada awal era modern, Rafah berada di bawah kendali Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) dan penduduknya menjalankan perekonomian yang mengutamakan pertanian, peternakan, dan peternakan lebah.


Tahun 1799, Jenderal Napoleon Bonaparte dari Prancis dan Tentara Revolusioner-nya menyerbu Rafah. Serbuan itu merupakan bagian dari operasi militer Prancis di Mesir dan Suriah.


Pada awal abad ke-20, sejumlah anggota komunitas Yahudi (yishuv) di Israel dan kelompok-kelompok Zionis di Eropa tengah dan timur gagal membeli tanah dan menetap di wilayah tersebut.


Tahun 1917, pada Perang Dunia I, angkatan bersenjata Inggris merebut kota tersebut dalam Pertempuran Rafa/Aksi Rafah, kemudian menggunakannya sebagai markas sebelum melancarkan serangan berikutnya ke Gaza. Kehadiran tentara itu menarik para migran ekonomi untuk menghuni kembali kota tersebut, yang dibangun kembali tahun 1920-an di bawah Mandat Inggris.


Tempat Pengungsian


Selama Perang Dunia II, kamp-kamp besar Angkatan Darat Inggris di Rafah mempekerjakan orang-orang Arab setempat. Setelah Perang Kemerdekaan Israel (1947–1949), para pengungsi Arab menetap di bekas kamp Inggris di Rafah, yang saat itu berada di bawah pemerintahan Mesir di Jalur Gaza.


Tahun 1956, dalam Operasi Sinai (Operasi Kadesh), Israel sempat menguasai Rafah sampai pasukan Israel kemudian menarik diri dari kota itu tahun berikutnya. Namun Israel merebut kembali kota itu dalam Perang Enam Hari tahun 1967.


Tahun 1982, Israel menarik diri dari Semenanjung Sinai dan dalam menciptakan kembali perbatasan Mesir-Gaza, Rafah lalu dibagi menjadi dua bagian, sebagain masuk wilayah Mesir dan sebagian Gaza. Di tengahnya ada zona penyangga yang besar — Koridor Philadelphi (panjangnya 14 km, terbentang antara Laut Mediterania dan tiga jalur penyeberangan perbatasan Kerem Shalom). 


Tahun 1994, penguasaan Rafah diserahkan kepada Otoritas Palestina. Tahun 2005, Israel secara sepihak keluar dari Jalur Gaza dan mengalihkan kendali atas perbatasan Rafah, satu-satunya titik pelintasan antara Jalur Gaza dan Mesir, kepada Otoritas Palestina.


Tahun 2007, kelompok Hamas menguasai Rafah saat mereka melakukan pengambilalihan Jalur Gaza. Wilayah itu kemudian segera diblokade oleh Israel, juga Mesir.


Tahun 2023, Rafah dan titik lintas perbatasan Rafah menjadi bagian dari medan perang Israel-Hamas menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober ke wilayah Israel. Ratusan ribu warga dari Jalur Gaza utara melarikan diri ke selatan, termasuk ke Rafah, dan banyak yang berusaha masuk ke Mesir melalui titik lintas perbatasan Rafah. Namun perbatasan itu ditutup rapat oleh Mesir sebelum akhirnya dibuka secara terbatas untuk mengevakuasi pengungsi yang terluka parah.


Rafah kini menjadi tempat bagi banyak pengungsi Palestina yang meninggalkan rumah mereka akibat konflik Arab-Israel. Pembangunan kamp pengungsi di Rafah menandai awal dari periode baru dalam sejarah kota, di mana masalah sosial dan politik menjadi lebih kompleks. Konflik berkelanjutan antara Israel dan Palestina telah meninggalkan bekas yang mendalam pada Rafah.


Kota ini telah menjadi saksi berbagai peristiwa kekerasan dan perlawanan. Pembatasan yang ketat, pembangunan tembok pemisah, dan seringnya konfrontasi militer telah mengubah wajah kota dan kondisi hidup penduduknya. 

×