CAMPUR tangan internasional adakalanya diperlukan, contohnya dalam penyelesaian suatu konflik yang melibatkan bentuk-bentuk kejahatan serius seperti genosida, kejahatan perang, penyiksaan, ataupun kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya. Ada banyak alasan mengapa korban kejahatan serius tidak dapat mendapatkan keadilan. Bisa jadi karena sistem peradilan pidana yang lemah atau adanya marginalisasi korban di masyarakat.
Akibatnya, pelaku atau terduga tidak dimintai pertanggungjawaban dan bahkan dapat terus menduduki posisi di mana mereka dapat melakukan pelanggaran atau mencegah pertanggungjawaban atas pelanggaran yang telah terjadi. Di sisi lain, korban justru dibiarkan menderita. Di sinilah peradilan internasional diperlukan.
Mekanisme peradilan internasional dapat turun tangan untuk memastikan bahwa kejahatan diselidiki dengan benar, pelaku diadili, dan korban menerima reparasi untuk mengatasi kerugian yang terjadi.
Salah satu bentuk mekanisme peradilan internasional adalah International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional dan International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional. Walau sama-sama merupakan mahkamah internasional, keduanya memiliki sejarah dan tugas yang berbeda.
International Court of Justice (ICJ)
ICJ atau Mahkamah Internasional merupakan organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan tahun 1945. Ide penciptaan ICJ untuk menyelesaikan sengketa internasional pertama kali muncul saat berlangsungnya beberapa konferensi yang menghasilkan Konvensi-Konvensi Den Haag pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Fungsi utama ICJ adalah memberikan putusan terhadap perselisihan antara negara-negara berdaulat. Cara ICJ menyelesaikan perselisihan ini harus sesuai dengan hukum internasional sebagaimana tercermin dalam konvensi internasional, adat internasional, prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, keputusan pengadilan, dan tulisan dari para ahli hukum internasional yang paling berkualifikasi.
Dari tahun 1946 sampai 2000, ICJ telah mengeluarkan 70 putusan pengadilan dengan masalah-masalah mencakup batas-batas daratan dan laut, kedaulatan wilayah, hubungan diplomatik, hak suaka, kewarganegaraan, dan hak-hak ekonomi.
International Criminal Court (ICC)
Berbeda dengan ICJ yang berfokus pada sengketa antara negara, ICC atau Mahkamah Pidana Internasional menangani penuntutan terhadap individu. ICC merupakan badan peradilan permanen yang didirikan oleh Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang didirikan tahun 2002. ICC sendiri difungsikan untuk menyelidiki, menuntut, dan mengadili individu yang dituduh melakukan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta memberlakukan hukuman penjara kepada individu yang dinyatakan bersalah atas kejahatan tersebut.
Ketika pengadilan nasional gagal dalam menindak kejahatan serius seperti disebutkan, ICC akan mengambil alih sebagai pengadilan tingkat akhir.
Penugasan pertama ICC ada pada tahun 2006 yaitu pada kasus Thomas Lubanga yang dituduh merekrut anak-anak sebagai tentara di Republik Demokratik Kongo. ICC juga berperan dalam penangkapan menteri dan pemimpin milisi di Sudan tahun 2007 atas tuduhan kejahatan kemanusiaan di Darfur. ICC juga turut terlibat dalam investigasi atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Burma kepada komunitas Rohingya di Myanmar pada akhir tahun 2019.
Peran ICJ dan ICC dalam Konflik Israel-Palestina
Pendudukan Israel di Palestina diputuskan untuk dibawa ke tingkat Mahkamah Internasional setelah pertemuan Majelis Umum PBB (UNGA) pada 30 Desember 2022. Mayoritas negara anggota memberikan suara untuk mencari pendapat pengadilan mengenai konsekuensi hukum dari pendudukan Israel di Palestina.
Melalui surat kepada ICJ yang ditandatangani Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, UNGA meminta para hakim di ICJ untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana hak-hak rakyat Palestina terpengaruh oleh pendudukan Israel dan upaya berkelanjutan untuk mengusir mereka. Surat itu juga mencakup pertanyaan atas tanggung jawab PBB dan negara anggotanya dalam menghadapi pelanggaran kemanusiaan oleh Israel tersebut.
UNGA meminta pengadilan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan berlandaskan hukum humaniter internasional serta Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbagai resolusi PBB. Menurut Human Rights Watch, pendudukan Israel di wilayah Palestina dianggap sebagai tindak apartheid dan penindasan, keduanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Untuk menindaklanjuti permintaan UNGA ini, ICJ menggelar sesi dengar pendapat yang diikuti 52 negara dari 19 Februari 2024 sampai 26 Februari 2024. Selain negara-negara, tiga organisasi multilateral juga akan menyampaikan argumen mereka dalam persidangan: Liga Negara Arab, Organisasi Kerja Sama Islam, dan Uni Afrika.
Sebanyak 15 hakim dari berbagai belahan dunia yang telah dipilih UNGA akan mendengarkan presentasi masing-masing partisipan dan kemudian menerbitkan pendapat tertulis.
Sulit untuk memprediksi apa yang akan diungkapkan oleh pengadilan dalam kasus itu, atau bahkan bagaimana keputusannya akan diformulasikan. Belum lagi, jika keputusan tersebut sudah dirilis, Israel juga tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi keputusan tersebut.
Namun, para ahli berpendapat bahwa keputusan ICJ akan tetap memiliki bobot berat dan dapat menambah tekanan lebih lanjut bagi Israel dan sekutu terkuatnya, Amerika Serikat, untuk tunduk pada hukum internasional.
Berbeda dari ICJ, tugas utama ICC dalam konflik ini adalah menindaklanjuti dan menginvestigasi kejahatan-kejahatan perang yang ada dalam konflik Israel-Palestina. Pada tahun 2021, ICC telah membuka penyelidikan terhadap adanya dugaan kejahatan yang dilakukan dalam apa yang disebutnya sebagai "situasi di Palestina”.
Pada Oktober 2023, jaksa penuntut ICC, Karim Kahn mengambil langkah penyelidikan lebih lanjut dengan berkunjung ke titik pemeriksaan Rafah pada 29 Oktober 2023. Karim Kahn menyatakan bahwa pengambilan tawanan adalah pelanggaran serius terhadap Konvensi Jenewa. Ia menyerukan pembebasan 239 individu yang ditahan oleh Hamas.
Karim Kahn juga mengingatkan Israel tentang kewajiban untuk mematuhi hukum konflik bersenjata yang menyatakan bahwa menghalangi pasokan bantuan dapat merupakan kejahatan.
Hingga November tahun lalu, ICC telah menerima beberapa komplain mengenai adanya dugaan tindakan kejahatan perang dalam konflik Israel-Palestina. Yang pertama diajukan oleh Reporters Without Borders (RSF) mengenai adanya tindakan kejahatan perang terhadap jurnalis di Israel dan Palestina.
Komplain lain juga datang dari sembilan keluarga asal Israel yang menuntut penangkapan pemimpin Hamas.
Tiga organisasi Palestina yang bergerak di hak asasi manusia seperti Al-Haq, Al Mezan, dan The Palestinian Centre for Human Rights juga mengajukan komplain atas adanya kejahatan perang, apartheid, dan genosida yang dilakukan oleh pihak Israel.