Ketika bom-bom Israel mulai menghantam jalan-jalan Kota Gaza yang tadinya ramai, Diana Tarazi dan keluarganya melarikan diri ke Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik Roma di Jalur Gaza.
Perempuan Kristen Palestina berusia 38 tahun itu, suami, dan tiga anaknya berdesakan bersama sesama jemaat gereja, tetangga, serta teman-teman muslimnya. Mereka menidurkan anak-anak mereka hingga terlelap di tengah suara ledakan bom. Mereka menggumamkan kata-kata lembut yang bisa memberi semangat satu sama lain.
“Bersama-sama, kami mencoba untuk melewati perang sampai berakhir, dan kami bertahan,” kata Tarazi seperti dilaporkan Al Jazeera pada 10 November 2023.
Mereka selalu merasa aman berlindung gereja itu karena dalam etika perang dan hukum internasional, tempat-tempat ibadah termasuk situs-situs yang tidak boleh diserang.
Namun, rasa aman mereka hancur pada 19 Oktober lalu, saat Israel mengebom Gereja Santo Porfirius (Porphyrius), gereja dari komunitas Kristen Ortodoks Yunani yang merupakan gereja tertua di Gaza dan termasuk salah satu yang tertua di dunia. Gereja Santo Porfirius letaknya dekat dengan Gereja Keluarga Kudus. Sedikitnya 18 orang tewas dalam ledakan di Gereja Porfirius itu.
Marian Saba dan keluarganya termasuk yang mencari perlindungan di lingkungan Gereja Porfirius pada malam itu. Pada saat malam semakin larut, sebuah rudal Israel menghantam salah satu bangunan di bagian luar gereja.
Marian mengatakan, saudara iparnya, Soliman yang berusia 34 tahun, tewas seketika saat dia melindungi putranya dari reruntuhan tembok. "Itu adalah pemandangan yang mengerikan. Saya belum pernah melihat mayat. Saya tidak tahu harus berkata apa," katanya.
Rami Tarazi, seorang warga yang lain, berada di salah satu aula gereja saat ledakan terjadi. “Itu merupakan rudal yang sangat besar, orang-orang yang berada di aula lain keluar dari sana dalam keadaan penuh debuh putih,” kata dia.
“Kami mengevakuasi 16 orang dalam keadaan tubuh sudah hancur, tidak utuh, dan dua mayat utuh,” kenangnya. Salah satu orang yang tewas adalah sepupu Rami, Suliman, yang berusia 36 tahun. .
Menurut hukum kemanusian internasional, dengan sengaja menargetkan bangunan keagamaan selama konflik merupakan kejahatan perang. Namun ada pengecualian jika situs tersebut digunakan untuk tujuan militer.
Tentara Israel mengatakan bahwa gereja itu bukan sasaran serangan. Tentara Israel akan menyelidiki apa yang telah terjadi.
“Rudal tersebut jatuh tepat di atasnya,” kata Tarazi tentang ledakan di Gereja Porfirius. “Kami tidak percaya bahwa gereja itu bukan tujuan mereka.”
Dua hari sebelum peristiwa itu, sebuah ledakan terjadi di Rumah Sakit Al-Ahli Arab, rumah sakit milik Gereja Anglikan yang terletak beberapa blok dari Gereja Porfirius. Ledakan itu menewaskan dan melukai ratusan orang.
Hamas menyalahkan ledakan di rumah sakit itu akibat serangan udara Israel. Sementara Tel Aviv mengklaim, ledakan itu disebabkan roket yang ditembakkan Jihad Islam Palestina, sebuah kelompok bersenjata yang berbasis di Gaza, tetapi roket itu gagal berfungsi.
Meskipun Kota Gaza dan kamp-kamp pengungsi di dekatnya dikepung pasukan darat Israel, dan serangan udara menghantam daerah tersebut, Tarazi menolak pergi. “Kami tidak menerima pemindahan dari negara kami, tanah kami, dan gereja kami,” kata dia. “Saya tidak akan meninggalkan gereja kecuali ke alam baka,” ujar dia.
Marian Saba dan keluarganya juga masih terus berlindung di Gereja St Porfirius, bersama sekitar 300 orang lainnya. Mereka menghadiri misa hari Minggu di gereja itu.
Sembilan hari setelah kerusakan gereja itu, putrinya Kylie dibaptis. Dia menggambarkannya sebagai momen yang pahit. Peristiwa yang seharusnya menggembirakan itu dipenuhi rasa cemas dan takut bahwa anaknya bisa saja ikut terbunuh.
Ancaman Kepunahan
Dari sekitar dua juta penduduk Jalur Gaza, ada 800 hingga 1.000 orang kristen yang masih bertahan di wilayah itu. Walau tergolong minoritas sangat kecil, mereka merupakan komunitas kristen tertua di dunia. Komunitas kristen di Gaza sudah ada sejak abad pertama atau sejak masa gereja perdana
Mitri Raheb, pendeta Gereja Lutheran Evangelis dan pendiri Universitas Dar al-Kalima di Betlehem, mengatakan bahwa konflik yang terjadi saat ini dapat mengakhiri sejarah panjang kekristenan di wilayah tersebut.
“Komunitas ini terancam punah,” kata Raheb kepada Al Jazeera. “Saya tidak yakin apakah mereka akan selamat dari pengeboman Israel, dan bahkan jika mereka selamat, saya rasa banyak dari mereka yang ingin pindah.”
“Kami tahu bahwa dalam generasi ini, kekristenan tidak akan ada lagi di Gaza,” tambah dia.
Wilayah Palestina yang lebih luas (tidak hanya Gaza) merupakan tempat kelahiran agama Kristen, serta tempat terjadinya banyak peristiwa yang dikisahkan di Kitab Perjanjian Lama dan Baru dalam Alkitab.
Pada abad keempat, Gaza, yang terletak di sepanjang jalur perdagangan utama dengan akses ke pelabuhan yang aktif dan kota kosmopolitan, menjadi pusat misi kristen yang utama.
Setelah tahun 1948, ketika negara Israel didirikan dan 700.000 warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba (bencana), semakin banyak umat kristen Palestina yang bergabung dengan komunitas di daerah kantong pesisir tersebut.
Jumlah umat kristen di Gaza menurun dalam beberapa tahun terakhir, dari 3.000 orang yang tercatat tahun 2007, saat Hamas mengambil kendali penuh atas wilayah tersebut, sehingga memicu blokade Israel dan mempercepat keluarnya umat Kristen dari daerah kantong yang dilanda kemiskinan tersebut.
Sejarah Kekristenan di Gaza
Gereja Santo Porfirius merupakan salah satu situs keagamaan terpenting di Palestina. Tempat itu dinamai berdasarkan nama seorang uskup abad kelima. Gereja itu merupakan salah satu tempat ibadah tertua yang masih ada di wilayah tersebut dan salah satu gereja tertua di dunia.
Gereja itu awalnya dibangun tahun 425 M dan kemudian dibangun kembali oleh Tentara Salib pada abad ke-12. Sebagian besar struktur bangunan yang ada saat ini berasal dari periode tersebut.
Situs Kristen besar lainnya di Gaza adalah biara Tell Umm Amer yang terletak di dekatnya dan bahkan lebih tua usianya. Bangunan dari abad keempat itu, yang kini sebagian besar berupa reruntuhan, pernah mencakup gereja, ruang baptisan, kuburan, dan ruang bawah tanah.
Biara itu berfungsi sebagai tempat ibadah bagi mereka yang melakukan perjalanan antara Mesir dan Syam (Levant), termasuk Palestina dan Suriah.
Situs itu terkenal sebagai tempat kelahiran Santu Hilarius (Hilarion), seorang biarawan Palestina dari abad keempat, yang membantu merintis hidup bertapa (monastisisme).
Kehadiran gereja-gereja dan biara-biara perdana itu, serta adanya referensi dalam Alkitab, menunjukkan bahwa agama Kristen di Gaza berakar seiring dengan berkembangnya agama di wilayah tersebut.
Namun penerimaan agama Kristen secara luas oleh warga di daerah itu baru terjadi pada abad kelima. Menurut Nicole Belayche, kekuatan aliran pagan di Gaza sebelum abad kelima sangat kuat. Dalam tulisannya di buku Christian Gaza in Late Antiquity, Belayche menulis bahwa ketika Porfirius ditahbiskan menjadi uskup di Gaza, populasi umat Kristen berjumlah "kurang dari tiga ratus dari populasi yang diperkirakan berjumlah antara 20.000 - 25.000 orang".
Konversi massal orang Gaza ke agama Kristen dimulai pada abad kelima di bawah naungan Kekaisaran Bizantium, penerus Kekaisaran Romawi Timur. “Ini merupakan proses yang sulit dan membutuhkan intervensi kekaisaran,” tulis Belayche.
Masuknya orang-orang itu dalam kekristenan berkat upaya orang-orang suci, seperti Porfirius, dan penggabungan ritual adat ke dalam ritual gereja.
Meskipun agama Kristen kemudian dianut secara luas pada akhir abad keenam, itu tidak berlangsung lama karena kemudian muncul agama dominan yang baru.
Dalam bukunya History of the City of Gaza, sarjana Yahudi-Amerika pada akhir abad ke-19, Martin A Meyer, menulis, "Iman baru ini hampir tidak memiliki cukup waktu untuk berkembang sebelum Islam menyapu bersihnya dari wilayah itu selamanya."
Pernyataan Meyer bersifat hiperbolis, namun hal itu menyentuh kenyataan bahwa selama berabad-abad setelah penaklukan Arab, sebagian besar penduduk wilayah tersebut masuk Islam.
Kelompok minoritas Kristen di wilayah Gaza bertahan selama berabad-abad dan menikmati perkembangan singkat di bawah pemerintahan Tentara Salib pada abad ke-12.
Seperti warga Palestina lainnya, banyak umat Kristen di wilayah itu terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak berdirinya Israel tahun 1948. Akibatnya, populasi orang Kristen di Gaza menyusut selama beberapa dekade, sebuah tren yang terus berlanjut setelah Nakba.
Menurut laporan Guardian, terdapat 6.000 umat Kristen Palestina di Gaza pada pertengahan tahun 1960-an dan jumlah tersebut telah menurun menjadi 1.100 saat ini.
Kebanyakan umat Kristen di wilayah itu saat ini menganut Kristen Ortodoks Yunani, sementara kelompok minoritas menganut Gereja Baptis dan Katolik.
Meski jumlahnya umatnya sedikit, gereja-gereja di Gaza secara rutin membuka pintunya bagi penganut agama apa pun untuk mencari perlindungan selama masa konflik, dengan harapan rumah ibadah tidak diserang Israel. Namun harapan tersebut memudar dengan cepat setelah serangan Israel terhadap Gereja Santo Porfirius.