Konflik Israel-Palestina merupakan konflik yang tak kunjung terselesaikan hingga sekarang. Keberadaan negara Israel yang dianggap menginvasi bangsa Palestina bisa dilihat dari sebelum Perang Dunia 1 ketika pada saat itu wilayah Palestina masih di bawah kekuasaan Kerajaan Turki Usmani. Pemahaman mengenai Zionisme yang sudah menyebar ke penjuru Eropa membuat bangsa Yahudi saat itu terus menuntut wilayah kebangsaannya.
Bangsa Yahudi pun meminta kepada Inggris sebagai pemimpin pasca Turki Usmani, yang saat itu menduduki wilayah Palestina di bawah Jenderal Edmund Allenby, suatu wilayah. Wilayah ini diharapkan dapat menampung sekitar 450 ribu bangsa Yahudi saat itu yang datang dari berbagai tempat dari Eropa.
Pada awalnya ajuan ini ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, dan pemimpin komunitas Yahudi Inggris yang juga memiliki kuasa politik yang baik di Inggris, yaitu Lord Rostchild. Alhasil, ajuan ini diterima yang memiliki pernyataan utama yang bersifat terbuka untuk mendukung "the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people". Surat ini dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Salah satu akibatnya adalah pembentukan Komite Amerika-Yahudi oleh seseorang bernama Louis Marshall yang turut bernegosiasi dengan presiden Organisasi Zionis Dunia saat itu, yaitu Chaim Weizmann, untuk memperluas keanggotaan Yahudi di Palestina.
Di penghujung Perang Dunia 1, kelompok Tiga Entente memenangkan peperangan yang membuat Kerajaan Turki Usmani harus menyerahkan wilayah ini kepada kelompok tersebut. Namun kuasa tersebut dipegang selanjutnya oleh Kerajaan Inggris untuk mengendalikan geografis dan politik di kawasan Arab tersebut. Bagi bangsa Arab yang merasa cukup sengsara dengan keberadaan Kerajaan Turki Usmani, keberadaan Kerajaan Inggris di tanah Arab dianggap sebagai suatu "penyelamat". Semuanya berjalan lebih stabil bagi bangsa Arab saat itu, hingga terjadilah Holokaus atau genosida terhadap enam juta penganut Yahudi di Eropa. Tanpa sadar, ini membuat penganut Yahudi Eropa bermigrasi secara besar-besaran ke wilayah Arab, atau lebih spesifiknya ke wilayah Palestina, pada rentang waktu 1941 hingga 1945.
Kehadiran penganut Yahudi Eropa di tanah Arab nyatanya menimbulkan gejolak yang cukup besar dari bangsa Arab. Melihat ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di kawasan kekuasaan mereka, Inggris membawa konflik ini ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menawarkan sebuah jalan tengah. Yaitu diselesaikannya Mandat Inggris untuk Palestina melalui United Nations Partition Plan (Resolusi 181) dan membagi wilayah Palestina menjadi 45% sebagai negara Arab dan 55% wilayahnya sebagai negara Yahudi, serta menjadikan Jerusalem sebagai wilayah di bawah kontrol internasional. Hingga disahkannya pada tahun 1948, ini menjadi pertanda kepergian Kerajaan Inggris di Arab serta menjadi suatu momentum bagi Israel untuk mencapai kemerdekaannya.
Awal Mula Perjuangan Palestina
Tentu bagi negara-negara Arab, keberpihakan Inggris kepada pembentukan negara bagi bangsa Yahudi ini dianggap sebagai bentuk kolonialisme bangsa Eropa modern di kawasan tersebut, dengan kata lain imperialisme Inggris atas wilayah Timur-Tengah dapat terbantu dengan hadirnya Israel di atas tanah Palestina saat itu. Alhasil munculah konflik yang lebih besar, di mana negara-negara Arab melakukan perperangan dengan Israel dalam perperangan Arab-Israeli War pada tahun 1948. Israel yang secara mengejutkan memenangkan perperangan tersebut membuat mereka dapat memperluas batasan negara hingga hampir ke seluruh Palestina, kecuali wilayah Gaza yang saat itu di bawah kendali Mesir dan Tepi Barat di bawah kekuasaan Jordania, yang jika diperhatikan secara jelas melanggar resolusi yang telah ditetapkan PBB sebelumnya.
Masalah lainnya muncul, ketika bangsa Arab melakukan eskalasi gencatan senjata kepada Israel untuk kedua kalinya pada Perang 1967 atau dikenal juga sebagai Six-Day War. Peperangan ini menjadi kekalahan kedua bagi bangsa Arab yang memaksa mereka merelakan seluruh kawasan Palestina saat itu, Dataran Tinggi Golan dari wilayah Suriah, hingga melebar ke Semenanjung Sinai ketika Israel berhasil menduduki dan menguasai wilayah tersebut. Melihat ancaman yang begitu besar, 11 tahun kemudian Mesir berusaha menyelesaikan konflik yang terjadi di Timur Tengah dengan menandatangani sebuah perjanjian dengan Israel dalam sebuah negosiasi rahasia yang dikenal sebagai The Camp David Accords.
Meskipun sangat kontroversial, begitu kontroversial sehingga presiden Mesir saat itu yaitu Anwar Sadat harus terbunuh karenanya, ini menjadi pertanda berakhirnya konflik antara Arab-Israel yang telah terjadi pada beberapa dekade. Sehingga ke depannya konflik ini secara seutuhnya lebih tepat dipahami sebagai konflik Israel-Palestina.
Kehadiran kelompok Islamis di daerah Arab bisa kita telusuri dari tahun 1928, ketika seorang guru dari Mesir bernama Hassan Al-Banna mendirikan sebuah organisasi bernama Ikhwanul Muslimin, atau jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Persaudaraan Muslim, untuk mengumpulkan umat Muslim di kala kuasa pemerintahan Kerajaan Inggris saat itu. Dengan berhasil mengumpulkan massa yang cukup besar, membuat Al-Banna membentuk kelompok bersenjata untuk menyerang pemerintahan Mesir saat itu. Dengan upaya pemberantasan ide-ide sekuler saat itulah yang diduga menjadi alasan pembunuhan Al-Banna di Kairo pada tahun 1949.
Kematian Al-Banna tidak serta-merta membuat gagasan yang ia bawa selama ini turut terkubur dalam liang lahatnya. Sayyid Qutb sebagai salah seorang pendidik lainnya yang turut mengembangkan Ikhwanul Muslimin, berpendapat bahwasanya dunia Muslim saat itu dipenuhi oleh kelompok-kelompok jahiliyya (ketidaktahuan, kegelapan dalam bahasa Arab) dan hukum Syariah (hukum Islam) harus ditegakkan secepatnya. Kematian Qutb terjadi hampir tepat satu tahun sebelum Perang Enam Hari di tahun 1967, dan itu membuat organisasi Ikhwanul Muslimin kian mendapat dukungan dari dunia Muslim secara internasional. Alasannya, kekalahan negara-negara Arab saat itu menuntut umat Muslim untuk bersatu ke dalam suatu kesatuan untuk membela Islam. Namun pemahaman ini juga berarti mendukung pembebasan Palestina secara seutuhnya.
Semenjak kekalahan tersebut, umat Muslim di Arab merasa tersudutkan oleh kemenangan Israel pada saat itu. Bagi mereka kehadiran sosok revolusioner nasionalis sangatlah dibutuhkan, dan di situlah semua mata tertuju kepada Yasser Arafat. Arafat mempunyai pendapat bahwa kekuatan Arab tidak akan bisa mengalahkan Israel, kecuali dilakukan oleh kelompok-kelompok revolusioner dari Palestina. Setahun kemudian, Arafat langsung mendapatkan kekuasaan untuk memimpin Palestinian Liberation Organization atau PLO, yaitu organisasi yang dibentuk oleh Liga Arab pada tahun 1964 yang bertujuan untuk menjadi satu-satunya perwakilah sah dari Palestina. Dengan kata lain, PLO adalah "negara Palestina" itu sendiri. Arafat menjadi presiden pertama Palestina yang disokong dari partai dan organisasi yang dibentuk oleh dirinya sendiri, yaitu Harakat at-Tahrir al-Wathani al-Filasthini atau kita kenal sebagai Fatah.
Fatah vs Hamas
Fatah secara harafiah bisa diartikan sebagai "kemenangan" atau "penaklukan", dibentuk oleh Arafat di Kuwait pada tahun 1957 bersama tujuh aktivis Palestina lainnya: Khalil Al-Wazir, Salah Khalaf atau Abu Iyad, Khaled Al-Hassan, Adel Abdel Karim, Mohammed Yousef Al-Najjar, Khalid Al-Amira, dan Abdel Fatah Lahmoud. Tujuan dari pembentukan Fatah adalah menaklukkan Israel dan mengibarkan bendera Palestina seutuhnya di tanah yang mereka anggap telah ditaklukkan semenjak 1948.
Fatah memang dikenal sebagai organisasi sayap kanan garis keras, namun mereka mempunyai visi untuk membentuk negara sekuler jika sewaktu-waktu Palestina mendapat kemerdekaan seutuhnya di masa yang akan datang. Meskipun dalam perwujudannya Fatah melihat potensi kesepakatan bersama Israel, namun Fatah beberapa kali mengakui atau diduga melakukan serangan militer kepada Israel.
Misalkan saja pada 3 Januari 1965, seorang pekerja dari Israeli Mekorot Water Corporation atau perusahaan sumber milik air Israel menemukan bom yang diduga akan diledakkan oleh Fatah. Dari Febuari dan Mei di tahun yang sama, Fatah juga menjalankan berbagai operasi dari Gaza hingga Tepi Barat untuk mengganggu kestabilan Israel, atau lebih tepatnya Israel Defense Forces (IDF) di sana. IDF sendiri merupakan tentara nasional Israel yang terbentuk pada 26 Mei 1948 oleh Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion.
Pada tahun 1987, terjadi gejolak yang cukup besar yang terjadi di Palestina dan Israel. Ketika pada tanggal 8 Desember, truk IDF menabrak mobil penduduk lokal pada kamp pengungsi di daerah Gaza. Alasannya, masyarakat Palestina diduga telah membunuh seorang Yahudi beberapa waktu sebelumnya. Alhasil terjadilah demonstrasi secara besar-besaran yang menyebar cepat ke penjuru negeri. Kekacauan dan tuduh menuduh terjadi di antara kedua belah pihak. Peristiwa ini dikenal sebagai Intifada atau Nakbah, yang berarti pemberontakan atau bencana dalam bahasa Arab.
Dari peristiwa ini membuat Persatuan Muslim semakin kuat. Hingga muncullah suatu organisasi yang menentang dengan keras kuasa Israel di Palestina. Organisasi tersebut bernama Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah atau Hamas, yang terbentuk di tengah kekacauan yang terjadi akibat kehadiran Sheikh Ahmed Ismail Hassan Yassin atau Ahmed Yassin. Dari namanya, organisasi ini berarti Gerakan Perlawanan Islam dan menjadi kelompok Islamisme lainnya yang hadir di tengah-tengah PLO. Namun berbeda dengan Fatah yang secara politis akan bersifat cukup pragmatis dengan Israel, Hamas akan menjadi fraksi yang sangat idealis akan masa depan Palestina.
Perbedaan ideologis yang terjadi antara ketua partai besar ini tak lain karena perbedaan faktor politis. Layaknya partai pada umumnya, kedua partai berusaha menjalankan kepentingannya melalui Pemilu dan aksi politik lainnya, itulah mengapa cara pandang yang berbeda membuat aksi mereka kepada aktor lain seperti Israel turut berlawanan pula. Fatah secara historis sudah melakukan beberapa kali negosiasi dengan Israel, setidaknya itu yang Arafat lakukan pada masa-masa kepemimpinannya.
Namun berbeda halnya dengan Hamas, negosiasi tersebut dianggap terus saja gagal sehingga mereka melakukan cara lain yang lebih tegas dan keras kepada Israel. Meskipun begitu keduanya menyadari ada kekuatan dan tawaran dari masing-masing partai, sehingga pada awal 2011 mereka sempat berkoalisi untuk membentuk kekuatan yang lebih besar. Namun seperti kegagalan-kegagalan lainnya, koalisi ini runtuh ketika membahas kepemimpinan Palestina pasca masa presiden Arafat.
Berasal dari kelompok yang sama dengan Fatah, perhatian kepada Hamas melalui Ahmed Yassin menjadi cukup besar ketika ia membuat Al-Mujamma' Al-Islami atau the Islamic Center pada tahun 1973 di Gaza. Semenjak itu, Yassin menjadikan tempat dan organisasinya sebagai suatu aksi sosial di Palestina sehingga wajar saja Yassin cukup mendapatkan perhatian dan simpati dari warga Palestina pada saat itu. Hamas juga turut membangun kekuatan sosialnya dengan mendirikan sekolah, sasana olahraga, panti asuhan, hingga rumah sakit. Aksi yang dinilai cukup dekat dengan masyarakat membuat kelompok-kelompok terlemah dalam masyarakat menaruh empati ke instansi ini. Apalagi dengan pendekatan idealis yang terkesan cukup utopis sebelumnya, yang tidak ditemukan oleh implementasi politik Fatah, membuat massa memilih untuk bersanding dengan Yassin.
Namun pada awal pembentukannya, fraksi Fatah masih memimpin mayoritas kursi kepemimpinan di PLO. Meskipun demikian, Arafat sudah melihat kehadiran Hamas di tengah-tengah politik Palestina sebagai potensi ancaman kepada kekuasaan Fatah. Karena memiliki perbedaan gagasan, di mana Fatah dengan mimpi Palestina sebagai negara sekuler pasca mendapatkan kemerdekaan dan Hamas yang beraliran Islam garis keras, Israel memanfaatkannya dengan mendukung Hamas secara moral dan pendanaan. Karena Israel sadar, bahwasanya kelemahan di Palestina sejatinya bukanlah tentang persenjataan atau kekuatan militernya, akan tetapi tentang persatuan yang sudah terpecah belah di dalam sudut pandang politiknya.
Entitas politik yang dibentuk oleh Yassin sangat krusial dalam menghadirkan popularitas dari gerakan yang ingin diwujudkan oleh Hamas. Popularitas ini sendiri juga menjadi alat untuk merekrut anggota baru, dan memberikan doktrin yang mereka inginkan. Matthew Lewwit bahkan berpendapat bahwa Hamas berusaha merekrut jiwa muda Palestina untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai da'wa dengan melatihnya di Syria atau Iran dan melakukan aksi teror di berbagai tempat. Hal ini terbukti dari ajaran-ajaran Islamisme yang Hamas anggap benar, yaitu menanamkan ide-ide Jihad melawan Israel. Namun nyatanya Jihad yang mereka maksud adalah apa yang disebut dalam bahasa Arab sebagai infijar, atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai aksi bom bunuh diri.
Hamas sendiri terbukti beberapa kali melakukan aksi teror. Misalkan saja pada tahun 1991, sekelompok anak muda bersenjata masuk ke Universitas Bir Zeit dan mengancam pelajar di sana dengan menyebarkan informasi palsu mengenai persebaran AIDS yang menuntut pelajar tersebut harus meninggalkan lingkungan kampus. Kasus lainnya terjadi pada tahun 19 Agustus 2003, ketika terjadi bom bunuh diri di Jerusalem yang memberikan ketakutan yang cukup besar, bukan hanya bagi Yahudi, tetapi juga bagi umat Muslim yang berada di daerah sekitar. Mereka juga membangun kelompok bersenjata bernama Kata’ib Izz ad-din al-Qassam yang telah beberapa kali melakukan berbagai serangan kepada berbagai target di sekitar Palestina.
Pemahaman yang Hamas berikan seakan kontradiktif dengan aksi-aksi mereka selama beberapa dekade ke belakang semenjak kehadirannya pada tahun 1987. Hamas beranggapan bahwa politik yang dilakukan oleh pemerintahan Palestina selama ini sudah melenceng dari ajaran Islam sesungguhnya, ajaran yang dimaksud adalah membangun masa depan negara Islam sebenarnya serta menjadikan hukum Syariah sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan yang terjadi antara Fatah terus saja menimbulkan kegagalan atas modus vevendi. Sebagai contoh, kehadiran Arafat pada Konferensi Madrid 1991 dianggap sebagai suatu kesalahan karena minimnya peran Palestina di sana. Oleh karena itu Hamas beranggapan bahwa nilai Islamisme tersebut tidak bisa melalui aksi teror dan demonstrasi saja, akan tetapi perlu diterapkan dari bawah ke atas melalui pimpinan serta pejabat yang berada di pemerintahan Palestina.
Lantas Bagaimana Konflik Internal yang Terjadi Mempengaruhi Perjuangan Kemerdekaan Palestina?
Perbedaan yang terjadi antara keduanya menjadikan kebingungan bagi pemerintah Palestina dalam menentukan sikap kepada Israel. Pasalnya, semenjak tahun 2007 Palestina memiliki dua pemerintahan yang memimpin di negara tersebut: Pemerintahan Hamas di Gaza dan Pemerintahan yang dipimpin Fatah di Tepi Barat. Pemerintahan Hamas sendiri memainkan peran yang lebih besar dalam menentukan kebijakan politik yang diinginkan, pasalnya mereka bukan hanya menguasai Gaza tetapi juga memangku kursi legislatif di sana.
Dengan menduduki legislatif maka Hamas mempunyai kekuasaan yang utus untuk menerima segala implementasi politik yang ingin diterapkan oleh badan eksekutif yang dipimpin Fatah di Tepi Barat. Dengan dua kekuatan politik yang berbeda, maka timbul pula keinginan yang berbeda terutama dalam menghadapi potensi perdamaian bagi negara tersebut. Perubahan yang terjadi juga beragam, salah satunya adalah minimnya dialog antara Israel dengan pemerintahan Hamas.
Setidaknya semenjak tahun 1948 hingga tahun 2000, tercatat setidaknya terdapat 10 lebih upaya kesepakatan antara pemerintahan Fatah dengan Israel mengenai masa depan perdamaian di sana. Kesepakatan tersebut yaitu: Perjanjian Gencatan Senjata (1949), Rencana Allon (1967) dan Rogers (1969), Konferensi Jenewa (1973), Camp David Accords (1978) dan KTT Kamp David (2000), Konferensi Madrid (1991) dan Kesepakatan Oslo (1993), serta pertemuan-pertemuan dalam skala kecil dan besar lainnya yang terjadi selama rentang waktu tersebut.
Hal ini berbanding terbalik pada perpolitikan pasca tahun 2000 ketika Hamas mulai menunjukkan kekuatan politiknya di sana. Memang dari kesepakatan yang Fatah lakukan, Palestina terus saja menemukan faktor-faktor yang menyebabkan perdamaian tidak mungkin tercapai. Namun jika dilihat dalam kacamata yang lebih objektif, kelompok oposisi seperti Hamas nyatanya mempersulit ruang dialog yang terjadi. Jika dilihat dari sikap, maka Hamas secara tegas menolak pendekatan Fatah yang dinilai terus saja gagal.
Misalkan saja, Hamas mengganggu proses perdamaian yang terjadi yang dimulai pada Juli 2013, ketika pada saat itu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (John Kerry) mengajukan kembali proses perdamaian. Namun Hamas selaku pemerintahan Palestina di Gaza menolak ajuan Kerry dan menyatakan bahwa Abbas bukanlah pihak yang bisa diajak bernegosiasi karena Abbas bukanlah orang yang memiliki legitimasi untuk bernegosiasi atas nama rakyat Palestina.
Dari proses yang terjadi pasca kemenangan Hamas, kita bisa menemukan bahwa sangat minim diplomasi yang dilakukan antara Palestina dan Israel. Dari upaya perdamaian yang dilakukan juga kita bisa melihat bagaimana Hamas memilih untuk menutup diri dengan menghindari komunikasi dengan Israel. Bahkan pada masa kepemimpinan Hamas di Gaza, hanya tiga upaya yang terjalankan dan masih tidak ada yang membuahkan hasil.
Oleh karena itu, jika kita melihat perjuangan dalam sudut pandang Hamas kita akan menemukan bahwa Hamas hanyalah sebagai benalu dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Namun jika kita melihat dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa perjuangan Hamas selama ini adalah apa yang mereka anggap tepat dan seharusnya dilakukan oleh Palestina: yaitu perlawanan seutuhnya terhadap Israel.
Sebagai kesimpulan, kita bisa memahami bahwa Hamas ibarat teman yang menyebalkan. Bisa jadi kita tidak menyukainya, tetapi tak jarang merekalah yang kita butuhkan. Tidak ada jalur perjuangan yang mudah ditempuh oleh Palestina, entah pendekatan Fatah ataupun Hamas masing-masing mempunyai kekurangan. Inilah yang menjadi jawaban dari semuanya, yaitu pemahaman bahwa apa yang dianggap benar adalah tergantung dari bagaimana nilai mempengaruhi kedua entitas tersebut.