AS (Amerika Serikat) kembali menggunakan hak veto untuk menolak rancangan resolusi Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait perang di Gaza antara Hamas dengan Israel pada Senin (20/2/2024). Itu merupakan veto AS yang ketiga terhadap resolusi DK PBB yang menuntut gencatan senjata di Gaza. Veto AS dengan segera menuai kritik dari banyak negara, termasuk dari sekutu AS.
Sampai Desember tahun lalu, AS telah menggunakan hak veto terhadap rancangan resolusi yang mengkritik Israel sebanyak 45 kali. AS telah melakukan veto terhadap 89 rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB sejak tahun 1945. Itu berarti, setengah lebih dari jumlah vet AS itu digunakan pada resolusi yang mengkritik Israel.
Pertama kali AS menggunakan hak vetonya demi mendukung kebijakan atau langkah Israel adalah pada September 1972 terkait resolusi yang menyerukan agar Israel menghentikan agresinya di Lebanon. Antara tahun 1982 dan 1990, AS telah menggunakan hak vetonya untuk mendukung Israel sebanyak 21 kali.
Hak veto di PBB telah lama menjadi perdebatan internasional. Apa itu hak veto dan apa saja yang membuat hak veto terus diperdebatkan?
Pengertian dan Sejarah Hak Veto
Hak veto merupakan sebuah kekuatan yang diberikan kepada lima anggota tetap DK PBB, yaitu AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan China. Istilah "veto" berasal dari kata bahasa Latin yang berarti "Saya melarang".
Pemegang hak veto di PBB punya kekuatan suara mutlak. Resolusi atau keputusan tidak akan disetujui jika salah satu dari lima anggota tetap memberikan suara negatif dalam Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara.
Jika anggota tetap tidak sepenuhnya setuju dengan resolusi yang diusulkan tetapi tidak ingin memberikan veto, maka dapat memilih untuk abstain sehingga memungkinkan resolusi tersebut diadopsi jika memperoleh jumlah suara yang dibutuhkan.
Saat pada pertemuan DK PBB pada Senin lalu AS menggunakan hak vetonya untuk tidak setuju, itu berarti resolusi tidak akan dilanjutkan meskipun 13 dari 15 negara telah menyatakan setuju.
Hak veto memberikan kapasitas kepada anggota tetap Dewan Keamanan untuk menghentikan pengesahan resolusi Dewan Keamanan, tanpa memandang dukungan mayoritas dari anggota lain. Hak ini didirikan sebagai salah satu pilar utama dalam struktur PBB untuk memastikan keseimbangan kekuatan dan mencegah tindakan unilateral yang mungkin memicu konflik lebih lanjut.
Hak veto di PBB diperkenalkan dengan tujuan untuk menjaga stabilitas geopolitik dan mencegah terulangnya konflik besar seperti Perang Dunia I dan II. Pada masa pembentukan PBB, pemikiran utamanya adalah untuk memberikan kekuatan lebih kepada negara-negara besar yang dianggap sebagai penjaga perdamaian global. Dengan adanya hak veto, diharapkan setiap keputusan penting yang diambil Dewan Keamanan akan mencerminkan kesepakatan dari semua kekuatan besar tersebut, sehingga mencegah kemungkinan konflik yang bisa timbul karena keputusan yang tidak populer.
Dinamika dan Kontroversi
Meskipun hak veto dimaksudkan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan dan mencegah konflik, sering kali hal itu menjadi sumber kontroversi. Kritik utama terhadap sistem veto adalah kemampuannya untuk memblokir tindakan bahkan ketika ada konsensus luas di antara anggota PBB lainnya.
Hal itu dapat menghambat respons internasional terhadap krisis kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi manusia, dengan contoh nyata dalam konflik di Suriah, dimana penggunaan hak veto telah menghalangi intervensi kemanusiaan atau terkait perang di Gaza saat ini.
Dalam praktiknya, penggunaan hak veto seringkali mencerminkan strategi geopolitik dan kepentingan nasional negara pemegang veto. Ini menyebabkan dinamika yang kompleks dalam hubungan internasional, di mana negara-negara anggota PBB lainnya harus bernegosiasi dan mencari kompromi dengan lima anggota tetap tersebut untuk mencapai tujuan bersama. Implikasi dari sistem itu adalah bahwa reformasi atau keputusan penting dalam kebijakan internasional sering memerlukan waktu yang lama untuk dicapai, mengingat kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan dari semua pemegang veto.
Menjelang KTT Dunia tahun 2005, Panel Tingkat Tinggi mengenai Ancaman, Tantangan dan Perubahan menyerukan agar para anggota tetap berjanji untuk tidak menggunakan hak veto dalam kasus genosida dan pelanggaran hak asasi manusia skala besar.
Pasca KTT tersebut, sebuah grup terdiri dari Kosta Rika, Yordania, Liechtenstein, Singapura, dan Swiss yang menyebut diri mereka Small Five (S5) secara aktif mendesak anggota tetap untuk tidak menggunakan hak veto untuk menghalangi tindakan Dewan yang bertujuan untuk mencegah atau mengakhiri genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
S5 dibubarkan tahun 2012, tetapi agenda dan sikapnya terhadap veto tetap diteruskan oleh Accountability, Coherence and Transparency (ACT), sebuah kelompok lintas-regional terdiri dari 27 negara kecil dan menengah yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas Dewan melalui perbaikan metode kerja, termasuk memberlakukan pembatasan pada penggunaan veto.
Adapun usaha pembatasan hak veto lainnya terjadi pada September 2014, ketika dalam Sidang Umum ke-69, salah satu anggota tetap DK PBB, Prancis, bersama dengan Meksiko berinisiatif untuk mengadakan pertemuan tingkat menteri tentang masalah tersebut.
Sama seperti upaya-upaya sebelumnya, pertemuan itu menghasilkan desakan terhadap anggota tetap agar secara sukarela dan kolektif berjanji untuk tidak menggunakan veto dalam kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang berskala besar. Namun, hanya Inggris yang mendukung inisiatif tersebut.
Pada pertemuan DK PBB 17 November 2023, perihal veto kembali diungkit. Banyak yang mengulangi pandangan mengenai perlunya membatasi penggunaan hak veto.
Perwakilan Ukraina mengatakan bahwa sangat tidak pantas jika sebuah negara yang memiliki keanggotaan tetap memiliki hak istimewa untuk menggunakan hak veto, apalagi pada situasi di mana negara tersebut terlibat langsung sebagai pihak yang berkonflik atau menjadi penghasutnya. Pembatasan penggunaan hak veto oleh anggota tetap seharusnya bukan hanya mencakup kasus genosida tetapi juga harus mencakup konflik di mana anggota tersebut terlibat.