Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Sidang Genosida Israel, Kenapa Indonesia Tak Ikut Menggugat?

Januari 18, 2024 Last Updated 2024-01-18T07:14:16Z


Mahkamah Internasional (ICJ) menggelar sidang kedua gugatan Afrika Selatan tentang dugaan genosida oleh Israel terhadap Palestina di Gaza pada Jumat (12/1/2024). Tim pengacara Israel bersikeras menolak segala tuduhan terhadap mereka.


Dalam pembelaannya, Israel menyanggah tuduhan yang dilayangkan Afrika Selatan. Menurut tim pengacara Israel, interpretasi Afrika Selatan atas kejadian-kejadian yang terjadi “luar biasa terdistorsi” dan “kalau memang ada aksi genosida, ini dilakukan terhadap Israel”.


Afrika Selatan telah menyajikan "deskripsi kontra-faktual" mengenai konflik Israel-Palestina, kata pengacara Israel Tal Becker dalam sidang pada Jumat (12/1/2024).


Dalam pidato pembukaannya, Tal Becker mengatakan kepada pengadilan bahwa meskipun penderitaan warga sipil adalah hal yang “tragis”, Hamas berusaha “untuk memaksimalkan kerugian sipil bagi warga Israel dan Palestina, bahkan ketika Israel berupaya untuk meminimalkannya”.


Sehari sebelumnya, tim pengacara Afrika Selatan mempresentasikan berkas gugatan mereka di gedung ICJ di Den Haag, Belanda.


Afrika Selatan mengatakan, operasi militer Israel di Gaza adalah sebuah kampanye genosida yang dipimpin negara Israel dengan tujuan melenyapkan populasi Palestina.


Rencana Israel "menghancurkan" Gaza datang dari "tingkat tertinggi negara", menurut tim pengacara Afrika Selatan dalam sidang perdana yang digelar Mahkamah Internasional di Den Haag, Kamis (11/1/2024).


Gugatan yang diajukan Afrika Selatan menyerukan agar ICJ memerintahkan Israel menghentikan operasi militer di Gaza. Di sisi lain, ICJ hanya akan memberikan opini terkait tudingan genosida mengingat kasus ini bukanlah sidang pidana.


Sebelumnya, Komnas HAM mendorong Pemerintah Indonesia “untuk melakukan intervensi di ICJ dengan mendukung upaya hukum Afrika Selatan di ICJ.”


Akan tetapi, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan, Indonesia “secara hukum tidak bisa menggugat” karena dasar gugatan adalah Konvensi Genosida Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


Indonesia bukanlah Negara Pihak, negara yang setuju untuk terikat perjanjian internasional berkekuatan hukum.


Lantas bagaimana Indonesia berperan nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia seperti apa yang terjadi di Gaza saat ini?


Berikut ini adalah sejumlah hal yang perlu Anda ketahui tentang sidang gugatan Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional yang digelar 11-12 Januari 2023.


Baca juga: Ini yang Dikatakan Afrika Selatan dalam Sidang Genosida Israel


Apa yang terjadi dalam sidang sebelumnya?

Tembeka Ngcukaitobi, pengacara Pengadilan Tinggi Afrika Selatan, mengatakan kepada ICJ bahwa “niat genosida” Israel terlihat jelas “dari cara serangan militer ini dilakukan”.


“Niat untuk menghancurkan Gaza telah dipupuk di tingkat tertinggi negara,” ujarnya dalam sidang perdana pada Kamis (11/1/2024).


“Setiap hari terjadi peningkatan jumlah korban jiwa, harta benda, martabat dan kemanusiaan yang tidak dapat diperbaiki bagi rakyat Palestina,” Adila Hassim, yang juga mewakili Afrika Selatan, mengatakan kepada pengadilan.


"Tidak ada yang bisa menghentikan penderitaan ini, kecuali perintah dari pengadilan ini."


Dalam bukti yang diserahkan sebelum sidang, Afrika Selatan mengatakan, tindakan Israel “dimaksudkan untuk menghancurkan sebagian besar kelompok nasional, ras dan etnis Palestina”.


Koresponden BBC di Den Haag Anna Holligan melaporkan, aparat kepolisian Belanda kewalahan memisahkan para pendukung Palestina dan Israel yang berkerumun di depan Istana Perdamaian di Den Haag pada Kamis (11/1/2024).


Ratusan orang mengibarkan bendera Palestina berkumpul di depan ICJ menuntut gencatan senjata. Adapun pendukung Israel memasang layar yang menunjukkan foto-foto para sandera yang masih ditahan di Gaza.


Para pendemo pro-Palestina juga beraksi di Cape Town, Afrika Selatan.


Kericuhan ini bertolak belakang dengan suasana formal di ruang sidang, di mana delegasi Israel dengan seksama mendengarkan tim ahli hukum Afrika Selatan menuduh negara mereka melakukan genosida di Gaza.


Dalam gugatannya, Afrika Selatan mengeklaim aksi-aksi Israel “bertujuan mendatangkan kehancuran secara substansial atas kebangsaan, ras, dan grup etnis Palestina”.


Mereka mengatakan, tindakan-tindakan Israel meliputi “pembunuhan warga Palestina di Gaza, membuat mereka menderita secara fisik dan mental, dan menciptakan kondisi-kondisi yang telah diperhitungkan supaya mereka hancur secara fisik”.


Afrika Selatan menyerukan pengadilan mengimplementasikan “langkah-langkah sementara” karena situasi yang mendesak, termasuk agar Israel menghentikan segala aktivitas militer di Gaza.


Israel membela segala aksi mereka di Gaza. Menurut Israel, semua itu adalah respons atas serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober 2023.


Menteri Kehakiman Afrika Selatan Ronald Lamola, pada sidang perdana ICJ pada Kamis (11/1/2024), menekankan bahwa tidak ada serangan “yang bisa menjustifikasi ataupun membenarkan pelanggaran atas Konvensi (Genosida)."


Apa pembelaan Israel?


Sebelum sidang berlangsung, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, “dunia sudah terbolak-balik” setelah negaranya digugat Afrika Selatan.


“Organisasi teroris melakukan kejahatan terparah terhadap orang-orang Yahudi sejak Holocaust, dan sekarang ada yang membelanya atas nama Holocaust? Kurang ajar dan lancang sekali!” ujarnya seperti dilansir AFP.


Netanyahu mendapat dukungan dari juru bicara Amerika Serikat Matthew Miller yang menyebut gugatan Afrika Selatan “tidak berdasar”.


“Faktanya, pihak yang menyerang Israel adalah pihak yang senantiasa menyerukan penghancuran Israel dan pembantaian massal orang-orang Yahudi,” ujar Miller.


Dalam sidang kedua yang digelar pada Jumat (12/1/2024), delegasi Israel menolak tuduhan-tuduhan genosida yang menurut mereka tidak berdasar.


Delegasi Israel menuding Afrika Selatan bertindak sebagai “juru bicara” kelompok Hamas yang menginginkan kehancuran Israel.


Menurut ahli hukum Kementerian Luar Negeri Israel pada pembukaan dengar pendapat hari kedua di ICJ, aksi-aksi militer Israel di Gaza adalah pembelaan diri terhadap Hamas “dan organisasi-organisasi teroris lainnya”.


Penasihat hukum Israel, Tal Becker, menyebut interpretasi Afrika Selatan atas apa yang terjadi “sangat terdistorsi” dan “kalau memang ada aksi genosida, mereka dilakukan terhadap Israel”.


Becker menambahkan bahwa meminta pengadilan memerintahkan penghentian operasi militer Gaza sama saja dengan “menyerang hak Israel untuk membela diri... dan membuat Israel tidak berdaya”.


Seperti diketahui, Israel melancarkan serangan habis-habisan di Gaza setelah Hamas menyerang wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023 yang diberitakan menewaskan 1.200 orang–sebagian besar orang sipil-sementara 240 lainnya dijadikan sandera.


Sejak pasukan Israel melaksanakan aksi bersenjata, hampir dari total populasi di Gaza yakni 2,3 juta orang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka setidaknya satu kali.


Di bawah hukum internasional, genosida didefinisikan sebagai satu tindakan atau lebih dengan tujuan menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, sebuah bangsa, etnis, ras, atau kelompok agama.


Baca juga: 9 Contoh Genosida di Dunia dan Dugaan Kasusnya


Berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), ICJ tidak bisa menuntut individu-individu kriminal seperti pelaku genosida. Meski begitu, opini-opini ICJ memiliki signifikansi di PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya.


Pada Rabu (10/1/2024), Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyatakan, “Penolakan kami terhadap pembantaian yang berlangsung terhadap orang-orang di Gaza menggerakkan kami untuk melakukan pendekatan ke ICJ.”


Presiden Israel Isaac Herzog mendeskripsikan tuduhan terhadap negaranya sebagai “kejam dan konyol”.


“Kami akan hadir di Mahkamah Internasional dan dengan bangga mempresentasikan pembelaan diri kami... di bawah hukum humaniter,” ujarnya.


Dia menambahkan, pasukan Israel “telah melakukan yang terbaik di bawah situasi-situasi ekstrem di lapangan untuk memastikan tidak ada konsekuensi tak terduga dan kematian orang sipil”.


Caroline Glick, mantan penasihat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, gugatan Afrika Selatan adalah “pembangkangan terhadap prinsip-prinsip dasar moral dan kewajaran”.


Zane Dangor, direktur jenderal departemen hubungan dan kerjasama internasional Afrika Selatan, mengatakan dalam wawancara dengan program Africa Daily BBC bahwa gugatan genosida Israel adalah “tuduhan yang serius" tetapi "bukanlah tuduhan tanpa dasar". Dia menggambarkan kasus Afrika Selatan sebagai "sangat teliti dan cermat".


Dangor juga mengecam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, tetapi menurutnya tidak ada “yang bisa menjustifikasi level pembunuhan” yang terjadi di Gaza saat ini.


ICJ dapat dengan cepat memutus permintaan Afrika Selatan agar Israel menangguhkan kampanye militernya, tetapi putusan final tentang apakah Israel melakukan genosida bisa jadi baru tercapai bertahun-tahun kemudian.


Apa itu Konvensi Genosida?


Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida disahkan PBB pada 9 Desember 1948.


Ahli hukum Rafael Lemkin, yang berkebangsaan Polandia-Yahudi, merancang isi Konvensi dan dia juga yang menemukan kata “genosida”.


Genosida sendiri adalah tindakan yang bertujuan menghancurkan suatu bangsa, kelompok etnis, ras, atau komunitas penganut agama secara keseluruhan atau sebagian.


Genosida adalah salah satu kejahatan internasional yang paling sulit dibuktikan.


Konvensi Genosida PBB secara efektif dilaksanakan pada 12 Januari 1951. Per April 2022, ada 153 negara yang menjadi negara pihak. Negara Pihak adalah negara yang setuju untuk terikat perjanjian internasional berkekuatan hukum.


Apa upaya hukum Afrika Selatan terhadap Israel?


Gugatan Afrika Selatan diajukan melalui ICJ di Den Haag, Belanda, pada 29 Desember tahun lalu dan Mahkamah dijadwalkan menggelar sidang perdana pada 11 dan 12 Januari.


Afrika Selatan menyusun berkas gugatan setebal 84 halaman yang menyebut aksi-aksi Israel "merupakan sebuah genosida karena mereka berniat menghancurkan" orang-orang Palestina di Gaza "secara substansial".


Afrika Selatan mengatakan, aksi-aksi genosida ini meliputi pembunuhan, penganiayaan yang berdampak serius terhadap kejiwaan dan fisik, dan secara sengaja membuat kondisi-kondisi yang "menghancurkan (orang-orang Palestina) secara komunitas".


Gugatan Afrika Selatan menyebut pernyataan demi pernyataan yang dikeluarkan para pejabat Israel menyiratkan niat genosida.


Afrika Selatan sudah sangat mengkritisi operasi bersenjata Israel di Gaza. Sejarah juga mencatat Kongres Nasional Afrika yang memimpin pemerintahan Afrika Selatan memiliki solidaritas dengan Palestina.


Afrika Selatan melihat kesamaan antara Palestina dan perjuangan mereka melawan apartheid, kebijakan segregasi dan diskriminasi rasial oleh pemerintahan kulit putih minoritas terhadap mayoritas kulit hitam di Afrika. Pemilu demokratis pertama Afrika Selatan pada 1994 menghentikannya.


Menurut data Kementerian Kesehatan Hamas, lebih dari 23.350 orang–sebagian besar perempuan dan anak-anak–tewas terbunuh di Gaza, sejak pecahnya peperangan pada 7 Oktober 2023.


Pada 7 Oktober, Hamas menyerang kawasan selatan Israel yang menewaskan 1.300 orang - sebagian besar warga sipil dan menculik sekitar 240 lainnya sebagai sandera.


Menurut Juliette McIntyre, seorang dosen hukum dari Universitas South Australia, gugatan terhadap Israel "sangatlah komprehensif" dan "disusun dengan cermat".


"Susunan berkas ini merespon semua argumen yang mungkin disebutkan Israel... dan juga mengantisipasi klaim-klaim bahwa mahkamah tidak memiliki kewenangan," ujar McIntyre kepada BBC.


Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung, menyoroti kesamaan pandangan antara Afrika Selatan dan Indonesia dalam konteks dukungan terhadap Palestina.


“Tampaknya terdapat pembagian tanggung jawab di Mahkamah Internasional bagi Indonesia dan Afrika Selatan, yakni dalam kerangka kerja sama Selatan-Selatan dan Dasasila Bandung.


Bagaimana posisi Indonesia dalam Konvensi Genosida?


Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam siaran pers pada Selasa (9/1/2024) mengatakan, Komnas HAM Palestina mengimbau mereka untuk mendukung upaya hukum Afrika Selatan di Mahkamah Internasional.


“(Komnas HAM RI) mendorong Pemerintah Indonesia untuk melakukan intervensi di ICJ dengan mendukung upaya hukum Afrika Selatan di ICJ atas dugaan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza Palestina,” tutur Atnike dalam pernyataan tertulisnya.


Menanggapi rilis Komnas HAM tersebut, Kementerian Luar Negeri mengatakan, Indonesia “secara moral dan politis” mendukung sepenuhnya upaya hukum Afrika Selatan atas dugaan genosida Israel di Gaza.


“Namun secara hukum Indonesia tidak bisa ikut menggugat karena dasar gugatan adalah Konvensi Genosida di mana Indonesia bukan Negara Pihak,” ujar juru bicara Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal melalui pesan teks yang diterima BBC Indonesia.


“Di sisi lain (...) Majelis Umum PBB telah meminta saran dan pendapat Mahkamah Internasional mengenai “status dan konsekuensi hukum” pendudukan Israel terhadap Palestina,” terangnya.


Dalam kaitan ini, kata Iqbal, pada 19 Februari 2024 mendatang Menlu Retno Marsudi dijadwalkan hadir untuk menyampaikan pendapat lisan di depan Mahkamah Internasional guna mendorong Mahkamah memberikan pendapat lisan seperti yang diminta oleh Majelis Umum PBB.


Indonesia adalah satu dari beberapa anggota PBB yang tidak menjadi Negara Pihak dalam Konvensi Genosida.


Dosen senior untuk Kajian Indonesia dari Universitas Queensland, Annie Pohlman, mengatakan dalam makalahnya bahwa Indonesia sepertinya tidak akan meratifikasi Konvensi Genosida-juga instrumen HAM kuat lainnya seperti Statuta Roma-dalam waktu dekat mengingat sejarah panjang dan kelamnya seperti pelanggaran HAM 1995-1996.


“Retorika ritualisme hak asasi manusia Indonesia hanya akan bisa menjadi janji-janji kosong,” tulis Pohlman dalam esai bertajuk Indonesia and the UN Genocide Convention: The Empty Promises of Human Rights Ritualism (Indonesia dan Konvensi Genosida PBB: Janji-Janji Kosong Ritualisme Hak Asasi Manusia).


Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyoroti komitmen Pemerintah Indonesia dalam bidang hak asasi manusia (HAM) yang menurutnya “setengah hati”.


“Dalam kebijakan luar negeri dan sikap RI dalam forum regional maupun multilateral yang membahas krisis hak asasi manusia di sejumlah wilayah maupun dalam kaitan dengan ratifikasi perjanjian internasional (...) seperti Suriah dan Palestina, baru sebatas pernyataan moral. Belum ada langkah konkret,” ujar Usman kepada BBC Indonesia.


Menurut pegiat HAM itu, Indonesia baru sebatas komitmen normatif dan masih bersikap setengah hati di tingkat ratifikasi perjanjian internasional sehingga pelaksanaannya di lapangan menjadi tidak efektif.


“Bahkan ada sejumlah perjanjian penting yang relevan dengan situasi krisis di Palestina, Ukraina, hingga Myanmar tapi hingga kini tidak kunjung diratifikasi. Contohnya Konvensi Genosida, Konvensi Pengungsi dan Statuta Roma.”


“Bahkan agenda ratifikasi Statuta Roma kini dihapus dari RANHAM (Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia),” ujar Usman.


Implikasinya, kata Usman, adalah Indonesia semakin kehilangan pijakan untuk berperan secara nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia.


Menanggapi pertanyaan mengenai kenapa Indonesia masih belum meratifikasi perjanjian relevan untuk krisis HAM seperti Konvensi Genosida PBB, Usman menjawab, “Indonesia memiliki sejarah kekerasan politik yang panjang”.


“Termasuk yang dapat digolongkan ke dalam jenis kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida,” ujar Usman.


Sementara menurut Teuku Rezasyah, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Genosida “karena belum adanya kepaduan sikap diantara pemerintah, parlemen, dan masyarakat umum”.


Apa Indonesia bisa berperan lebih banyak terkait Palestina?


Menurut Kishino Bawono, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan dengan fokus kajian Timur Tengah, posisi Indonesia di peta perpolitikan dunia belum bisa dikatakan middle power (kekuatan menengah) apalagi major power (kekuatan besar).


Hal ini membuat pengaruh Indonesia di mata internasional tidak akan terlalu signifikan dalam konteks menyuarakan isu kemanusiaan di Palestina.


“Tidak heran jika memang kita hanya sibuk dengan pernyataan-pernyataan saja dan pertemuan-pertemuan yang juga menghasilkan pernyataan-pernyataan serta resolusi tanpa realisasi signifikan,” tuturnya.


Di sisi lain, Kishino menambahkan bahwa Indonesia “masih dibebani isu-isu kemanusiaan” di negeri seperti ini.


Akademisi ini menggarisbawahi kasus kekerasan kepada pengungsi Rohingya di Aceh yang sempat viral pada bulan Desember 2023.


Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Indonesia tentang Palestina pun, menurut Kihsino, “juga akan terasa munafik dengan sempat merebaknya sentimen anti pengungsi Rohingya di Indonesia beberapa waktu terakhir ini.”


“Di satu sisi menyuarakan seruan membela Palestina, tapi kemudian melakukan tindak kekerasan kepada pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia,” ujarnya.


Lalu, tanpa meratifikasi Konvensi Genosida, apakah Indonesia berperan lebih dalam mendukung Palestina?


Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, implikasi dari tidak diratifikasinya Konvensi Genosida-dan Statuta Roma-adalah Indonesia semakin kehilangan pijakan untuk berperan secara nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia.


Kendati demikian, Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung, memiliki pendapat lain.


“Konvensi Genosida yang ada hingga saat ini, cenderung memojokkan negara berkembang saja. Tidak mampu menyebut genosida di masa lalu, yang telah dilakukan oleh negara-negara berkebudayaan Eropa, atas wilayah jajahan mereka di Asia, Afrika, dan Latin Amerika,” ujar Rezasyah kepada BBC Indonesia.


Menurut dia, Indonesia masih bisa melakukan langkah-langkah konkret lainnya seperti mendukung saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memboikot produk yang berhubungan dengan Israel di dalam negeri dan juga menggalang solidaritas Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB) di seluruh dunia dalam mendukung Palestina.


Seberapa efektifkah Mahkamah Internasional dalam menyidangkan kasus?


Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani mengatakan, lembaga peradilan internasional kerap tidak efektif dalam menegakkan putusan yang telah dibuat karena "tidak ada penegak hukum yang dapat memaksakan putusan".


"Dalam masyarakat internasional, yang berlaku adalah hukum rimba yaitu siapa yang kuat dia yang menang. Might is Right," ujarnya.


Walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Genosida, Hikmahanto mengatakan, Indonesia tetap bisa memanfaatkan resolusi Majelis Umum PBB yang meminta advisory opinion (saran dan pendapat) dari Mahkamah Internasional (ICJ).


Juru bicara Kemenlu Indonesia Lalu Muhammad Iqbal sebelumnya mengatakan, Menlu Retno Marsudi telah dijadwalkan menyampaikan pendapat lisan di depan Mahkamah Internasional terkait hal ini.


Kapan Mahkamah Internasional memutuskan gugatan Afrika Selatan dan apakah ini mengikat?


ICJ diperkirakan akan mengeluarkan keputusan mengenai permintaan Afrika Selatan untuk penghentian serangan bersenjata sebagai langkah-langkah darurat akhir bulan ini.


Menurut AFP, dalam konteks permohonan darurat ini, pengadilan tidak akan memutuskan bagian fundamental dari gugatan-apakah Israel benar-benar melakukan genosida-tetapi apakah hak warga Gaza untuk hidup berada dalam bahaya.


Adapun mengenai tuduhan genosida, proses persidangan bisa memakan waktu bertahun-tahun.


Putusan-putusan ICJ adalah final dan tanpa banding, tetapi pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan putusan-putusan mereka.


Pada 2022, ICJ memerintahkan Rusia “segera menghentikan operasi militer” di Ukraina tetapi Moskwa mengindahkannya.


Kenapa Afrika Selatan menjadi pihak yang menggugat Israel?


Pascakebijakan apartheid, Afrika Selatan telah lama mengadvokasi Palestina.


Hubungan antara Palestina dan Afrika Selatan terjalin ketika perjuangan Kongres Nasional Afrika menentang kepemimpinan orang kulit putih di negara mereka mendapat dukungan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin mendiang Yasser Arafat.


Kebijakan apartheid di Afrika Selatan pada masa silam dilaksanakan oleh pemerintahan yang memiliki hubungan kerja sama dengan Israel.


Tokoh anti-apartheid Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa kemerdekaan Afrika Selatan “tidak akan lengkap tanpa kemerdekaan orang-orang Palestina”.


Afrika Selatan dapat melayangkan gugatan kepada ICJ menentang Israel karena kedua negara sama-sama menandatangani Konvensi Genosida.


Menteri Kehakiman Afrika Selatan Ronald Lamola dalam persidangan Kamis (11/1/2024) mengatakan, Israel sudah “kelewat batas” dan melanggar Konvensi. Menurut Lamola, bahkan kebrutalan Hamas tidak dapat menjustifikasi apa yang dilakukan Israel.


Pengacara Afrika Selatan Blinne Ni Ghralaigh dalam sidang ICJ hari Kamis (11/1/2024) menyebut keadilan internasional dipertaruhkan dalam hal ini.


Di sisi lain, Israel menjuluki Afrika Selatan sebagai “tangan hukum” Hamas dan gugatan mereka adalah “salah satu pertunjukan kemunafikan terbesar dalam sejarah”.  [SB]

×