Keberaadan kelompok pemberontak Houthi di Yaman bermula tahun 1990-an. Ketika itu, seorang mantan anggota parlemen Yaman, Hussein al Houthi mengecam keras dampak kebijakan asing di Yaman. Dia menggunakan tempat ibadah dan sekolah di Sa'dah, kota tua di Yaman, untuk menyebarkan pemikiran dan ajarannya, termasuk ajaran anti AS dan Israel.
Nama kelompok itu diambil dari nama Hussein al Houthi, yang dianggap sebagai pendiri kelompk tersebut. Walau secara resmi, mereka menyebut dirinya sebagai Ansar Allah (Pembatu Allah).
Houthi memang awalnya didirikan sebagai kelompok yang menentang intervensi asing dan pemerintahan Yaman yang korup dan tidak adil. Mereka kecewa dengan pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh ketika itu, yang mereka anggap korup dan menjadi antek asing.
Baca juga: Sejarah Awal Kelompok Houthi di Yaman
Mereka percaya bahwa pemerintah telah meninggalkan prinsip-prinsip Islam dan gagal melindungi kepentingan rakyat Yaman, khususnya komunitas Zaidi di utara negara itu. Zaidi merupakan sebuah cabang dalam Islam Syiah. Komunitas Zaidi menjadi kelompok minoritas di Yaman yang didominasi Islam Suni.
Transformasi Houthi
Sejak awal tahun 2000-an, Houthi bertransformasi dari sebuah gerakan agama dan sosial-lokal menjadi pemain politik dan militer yang signifikan. Houthi terlibat dalam serangkaian konflik bersenjata dengan pemerintah Yaman, yang dikenal sebagai "Perang Sa'dah". Perang itu mengakibatkan ribuan korban jiwa dan kerusakan besar di wilayah Yaman utara.
Saat terjadi aksi protes rakyat yang melanda kawasan Timur Tengah, termasuk Yaman, pada tahun 2011 atau dikenal sebagai Arab Spring, Houthi ikut terlibat. Rezim Ali Abdullah Saleh, yang juga seorang Zaidi, tumbang pada tahun 2012 sebagai dampak revolusi itu.
Peran Houthi dalam revolusi tersebut menjadi titik penting dalam sejarah mereka. Kelompok itu memanfaatkan kekacauan politik dan kevakuman kekuasaan untuk memperluas pengaruh dan kontrol wilayah mereka. Hal itu termasuk penguasaan wilayah Sa'dah, pusat komunitas Zaidi, dan bagian besar dari Provinsi Amran dan Hajjah.
Yaman jatuh ke dalam perang saudara. Houthi terlibat dalam politik Yaman yang kompleks. Meski mereka berhasil mengontrol sebagian besar wilayah utara Yaman, termasuk Sana'a, mereka menghadapi perlawanan yang signifikan dari berbagai kelompok, termasuk pemerintah Yaman yang diakui secara internasional, gerakan separatisme di selatan, dan kelompok militan seperti Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) dan ISIS.
Strategi kelompok itu melibatkan kombinasi perang gerilya dan diplomasi suku, memperkuat posisi mereka dalam lanskap politik dan militer Yaman yang kompleks.
Dalam perkembangannya, Houthi bergabung dalam Konferensi Dialog Nasional Yaman sebagai bagian dari inisiatif Dewan Kerjasama Teluk (GCC) untuk menengahi perdamaian setelah kekacauan. Namun, Houthi menolak kesepakatan GCC pada November 2011 yang menetapkan pembentukan enam wilayah federal di Yaman.
Mereka menyatakan, kesepakatan itu tidak mereformasi tata kelola dan bahwa federasi yang diusulkan "membagi Yaman menjadi wilayah miskin dan kaya".
Houthi juga khawatir kesepakatan itu merupakan upaya untuk melemahkan posisi mereka dengan membagi wilayah-wilayah di bawah kendalinya.
Tahun 2014, Houthi memperbaiki hubungan dengan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, mantan musuh mereka. Dengan bantuan Saleh, mereka melawan Abdrabbuh Mansour Hadi, yang menjabat sebagai presiden setelah Ali Abdullah Saleh. Pada tahun 2015, mereka berhasil mengambil alih Sana'a dan sebagian besar wilayah utara. Kondisi itu memaksa Presiden Hadi melarikan diri ke Arab Saudi.
Mereka membentuk kesepakatan dengan Saleh untuk mengembalikan Saleh ke puncak kekuasaan. Houthi kemudian menguasai Provinsi Saada di Yaman utara.
Melawan Arab Saudi
Arab Saudi, sebagai negara tetangga yang terancam dengan sepak terjang Houthi dan kedekatan kelompok itu Iran, kemudian melakukan intervensi militer ke Yaman. Arab Saudi ingin menggulingkan Houthi dan mengembalikan kekuasaan Presiden Hadi. Upaya itu didukung Uni Emirat Arab (UAE), Bahrain, dan Amerika Serikat (AS).
Tahun 2017, Houthi membunuh Ali Abdullah Saleh ketika dia mencoba beralih ke pihak Saudi.
Houthi berhasil melawan serangan-serangan itu dan terus menguasai sebagian besar wilayah Yaman utara.
Di dalam negeri Houthi mengonsolidasikan kekuasaannya melalui penguatan struktur pemerintahan dan administrasi di wilayah yang mereka kontrol. Mereka mengatur sistem pendidikan, hukum, dan layanan sosial, sering kali menggantikan institusi pemerintah yang ada. Kebijakan itu mencakup penerapan interpretasi hukum yang ketat sesuai dengan ideologi mereka.
Houthi juga telah menunjukkan kemampuan militer yang signifikan, termasuk penggunaan drone dan rudal balistik dalam serangan terhadap target di Yaman dan Arab Saudi. Taktik itu menunjukkan peningkatan kemampuan teknis dan militer Houthi, dan telah menyebabkan ketegangan regional yang meningkat. Serangan-serangan tersebut sering kali menargetkan infrastruktur penting dan kota-kota di Arab Saudi, termasuk Riyadh.
Houthi telah terlibat dalam negosiasi politik dengan berbagai pihak, termasuk PBB dan negara-negara tetangga. Meskipun ada beberapa gencatan senjata sementara dan pembicaraan damai, solusi politik berkelanjutan masih sulit dicapai. Kesulitan muncul karena Houthi sering kali tidak mau berkompromi dan tuntutan mereka yang tinggi.
Dalam konteks internasional, Houthi sering dilihat sebagai proxy Iran, meskipun kelompok ini membantah adanya hubungan langsung dengan Tehran. Hubungan Iran dan Houthi didasarkan pada bingkai agama (sama-sama beraliran Syiah) dan persamaan kepentingan strategis serta ideologis.
Serang Kapal Kargo di Laut Merah
Tak lama setelah pecah perang di Gaza antara Israel dan Hamas jelang akhir tahun 2023, pemberontak Houthi melancarkan serangan dengan menggunakan rudal dan drone terhadap kapal-kapal kargo yang melintasi Laut Merah. Mereka melancarkan serang itu dari wilayah yang mereka kuasasi di Yaman. Alasannya, serangan itu bentuk dukungan terhadap Hamas dan Palestina.
Namun pakar gerakan Houthi, Ahmed al-Bahri Al-Omeisy mengatakan, serangan-serangan ini telah membantu mereka dalam negosiasi damai dengan Arab Saudi.
“Mereka memberikan tekanan lebih besar kepada Saudi ketika meminta konsesi, dengan menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bisa menutup Bab al-Mandab [selat Laut Merah].
Sementara menurut Farea al-Muslimi, peneliti di program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga pemikir Inggris, Chatham House, serangan-serangan itu justru lebih merupakan pesan politik untuk khalayak domestik.
“Perang ini adalah kesempatan emas bagi kelompok Houthi untuk menunjukkan posisi mereka yang pro-Palestina, anti-Israel, dan anti-Amerika kepada penduduk setempat,” kata al-Muslimi seperti dilaporkan DW. [SB]