Iran akhirnya secara resmi buka suara terkait ketegangan di Laut Merah yang mendorong rivalnya, Amerika Serikat (AS), mengirimkan armada tempurnya ke wilayah itu. Ini dituliskan langsung dalam rilis resmi Perwakilan Iran di PBB, Selasa (9/1/2024).
Dalam surat itu, Teheran mengatakan bahwa pihaknya mengeluarkan peringatan keras terhadap tindakan AS yang dapat membahayakan perdamaian regional. Negeri Persia memperingatkan terhadap upaya mengalihkan perhatian dari akar penyebab situasi Laut Merah saat ini.
"Tujuan AS dan Israel dalam menuding Iran di kasus ketegangan Laut Merah memiliki tujuan yang jelas: untuk mengalihkan perhatian dunia dari serangan barbar yang dilakukan Israel yang disokong AS terhadap warga sipil di Jalur Gaza dan Tepi Barat," tulis surat itu dikutip dari laman X resmi Perwakilan Iran di PBB.
Sebelumnya, AS menuding Iran terlibat dalam eskalasi di Laut Merah. Eskalasi ini sendiri timbul dari serangan kelompok penguasa Yaman yang disokong Iran, Houthi, terhadap kapal-kapal dagang yang terkait dengan Israel di perairan itu, sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza.
Washington sendiri telah mengirimkan armada tempur untuk menangkal serangan Houthi. Bahkan, militer AS juga menembaki anggota kelompok itu hingga tewas saat ingin menaiki kapal Maersk Hangzhou milik raksasa perkapalan Denmark, Maersk.
Iran, di sisi lain, telah mengirimkan sebuah kapal perang penghancur Alborz ke wilayah itu pasca turunnya armada AS di Laut Merah. Mengutip laporan Mehr News Agency, kapal perang yang masuk ke perairan itu bernama Alborz, Kapal itu merupakan bagian dari Grup 94 yang dilengkapi dengan rudal jelajah jarak jauh.
Media Iran lainnya, Tasnim, lebih lanjut mencatat bahwa kapal militer Iran telah menjalankan misi regulernya untuk menjaga keamanan maritim. Tercatat, armada laut Iran telah memerangi bajak laut di laut lepas dan melaksanakan tugas lainnya sejak tahun 2009.
"Alborz bergabung dengan armada angkatan laut di Bandar Abbas (Iran selatan) pada tahun 1972 dan menjalani berbagai proses pengembangan dan modernisasi. Pada tahun 2015, kapal ini memasuki Selat Bab Al Mandab, dan pada tahun 2019, kapal ini ikut serta dalam latihan angkatan laut trilateral yang melibatkan Rusia, China, dan Iran," tulis media Lebanon, Al Mayadeen.
Sementara itu, ketegangan ini juga mendorong beberapa raksasa perkapalan dunia seperti Maersk, Ocean Network Express (ONE), Hapag Lloyd, dan Hyundai Merchant Marine (HMM) untuk menghindari perairan itu. Mereka memilih untuk memutar ke Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika.
Ini telah berdampak pada kenaikan tarif pengiriman. Tarif angkutan barang dari Asia ke Eropa Utara meningkat lebih dari dua kali lipat pada minggu ini menjadi di atas US$ 4.000 (Rp 62 juta) per unit 40 kaki.
Selain itu, harga minyak juga diramal naik mengingat pentingnya Laut Merah dalam distribusi bahan bakar dan juga kekhawatiran bahwa eskalasi akan meningkat di seluruh kawasan Timur Tengah.
Dalam sebuah wawancara, kepala divisi perminyakan Goldman Sachs, Daan Struyven, mengungkapkan adanya ancaman bahwa harga minyak akan meningkat dua kali lipat. Ia menyebut ini bisa terjadi bila Houthi memulai serangan di Selat Hormuz, yang merupakan pintu masuk ke Dunia Arab melalui Teluk Persia.
"Laut Merah adalah jalur transit dan gangguan berkepanjangan di sana, harga minyak bisa tiga atau empat dolar lebih tinggi," pungkasnya dikutip Oil Price, Senin.
"Namun jika terjadi gangguan di Selat Hormuz selama sebulan, harga (minyak) akan naik sebesar 20% dan bahkan bisa berlipat ganda jika gangguan di sana berlangsung lebih lama," katanya. [SB]