Kisah peperangan antar tuyul rupanya pernah terjadi di Indonesia. Hal ini disampaikan berdasarkan penuturan antropolog Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java (1960).
Perlu diketahui, Geertz di tahun 1950-an, datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian antropologi bertajuk Modjokuto Project yang didanai Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia secara khusus ditugaskan di wilayah Mojokuto untuk meneliti orang-orang di sana. Belakangan, Mojokuto yang dimaksud adalah salah satu desa di Kediri, Jawa Timur.
Ketika melakukan riset inilah, dia mendapat informasi soal perang antar tuyul dari warga lokal. Perang ini berlangsung antara salah satu pedagang ilmu gaib dan seorang haji tua. Kata Geertz, haji ini dipercaya masyarakat memelihara tuyul demi memupuk kekayaan.
Konon, haji itu memperoleh tuyul lewat perjanjian dengan roh. Sebagai timbal balik, setiap tahun dia harus membunuh empat orang dari beragam profesi dan umur agar perjanjian dengan tuyul tak sirna. Bahkan, dia kerap mencari korban hingga ke tanah suci Mekkah. Berkat cara-cara inilah, haji itu bisa kaya raya secara mendadak.
Namun, sikap-sikap haji tua ini memantik amarah dan emosi seorang pedagang ilmu gaib. Pada 1951, pedagang ini mengembangkan sihir balasan terhadap haji. Bahkan, dia mengumpulkan 33 murid dan mengajari teknis magis untuk melumpuhkan tuyul milik haji tua itu. Hingga akhirnya terjadilah pertempuran besar di alam gaib.
"Pada suatu Jumat tengah malam, para murid menyerang tuyul milik haji tua. Namun, tuyul tersebut memanggil bala bantuan dari roh-roh di berbagai reruntuhan," tulis Geertz.
Reruntuhan merujuk pada tempat sumber keberadaan tuyul. Geertz menyebut tempat itu antara lain Borobudur di Barat, Penataran di Selatan, Bongkeng di Timur dan makam Sunan Giri di Gresik Utara.
Setelah memanggil bala bantuan, pertempuran pun tak terelakkan. Para murid yang diserang menggunakan kacamata hitam untuk melihat roh. Lalu mereka menggunakan senter sebagai senjata penyerangan karena roh takut dengan cahaya.
Sedangkan, para tuyul melemparkan tjakra, senjata berbentuk cincin, ke para murid. Konon, beberapa murid sampai terluka. Pertempuran ini, kata Geertz, terjadi di setiap Jumat malam. Bagi awam, para murid itu terlihat seperti orang gila karena bertarung dengan musuh tak terlihat.
"Orang-orang yang melihat para murid berkelahi mengira mereka gila karena memukul udara kosong," ungkapnya.
Sampai riset selesai, Geertz menyebut pertempuran masih berlangsung. Hanya saja, lokasi pertempuran terus berpindah-pindah.
Meski begitu, peristiwa alam gaib tentu saja sulit dijelaskan secara sains. Dari segi antropologi pertempuran tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk kecemburuan terhadap orang yang mendadak kaya raya. Apalagi, keberadaan tuyul memang kental dengan mitos yang lahir dari rasa kecemburuan. [SB]