Israel dan Hamas telah mencapai kesepakatan untuk mengizinkan lebih banyak bantuan kemanusiaan ke Gaza yang dilanda perang. Hal itu disampaikan oleh mediator Qatar.
Mereka mengatakan bahwa berdasarkan kesepakatan yang ditengahi oleh Qatar dan Prancis, obat-obatan akan diberikan kepada sandera yang ditahan oleh Hamas.
Sebagai imbalannya, Israel akan mengizinkan lebih banyak pasokan kebutuhan pokok masuk ke Gaza. Kondisi di wilayah tersebut sangat buruk setelah lebih dari tiga bulan pemboman Israel.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) berharap perundingan lebih lanjut dapat menghasilkan pembebasan lebih banyak sandera.
Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby mengatakan utusan AS untuk Timur Tengah telah berada di Qatar untuk membahas kemungkinan kesepakatan semacam itu.
Diskusi tersebut "sangat serius dan intensif", tambahnya. "Kami berharap ini akan membuahkan hasil dan segera membuahkan hasil," imbuhnya, sebagaimana dikutip BBC, Rabu (17/1/2023).
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed Al Ansari mengumumkan kesepakatan bantuan tersebut.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, pasokan kemanusiaan akan meninggalkan ibu kota Qatar, Doha, menuju Mesir pada Rabu. Bantuan tersebut kemudian akan dibawa ke Gaza, untuk diberikan kepada warga sipil, sementara obat-obatan akan diberikan kepada tawanan Israel.
Lebih dari 132 sandera diperkirakan masih ditahan di Gaza.
Adapun, sekitar 240 orang ditangkap oleh Hamas dalam serangkaian penggerebekan di Israel selatan pada 7 Oktober. Sekitar 1.300 orang, sebagian besar warga sipil, tewas.
Dalam surat yang dikirim ke kabinet perang Israel setelah gencatan senjata berakhir tahun lalu, kelompok Markas Besar Keluarga Sandera mengatakan banyak korban penculikan memerlukan perhatian medis rutin dan beberapa berada dalam bahaya.
Pekan lalu PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan David Barnea, kepala badan intelijen nasional Israel Mossad, telah mendekati Qatar untuk mendapatkan kesepakatan guna menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan.
Pada Selasa, Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang menyatakan "penghargaannya kepada semua pihak yang telah membantu dalam upaya ini".
Serangan Hamas pada bulan Oktober memicu pengeboman intensif Israel di Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 24.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas.
Para pejabat Palestina mengatakan bahwa 85% penduduk Gaza telah mengungsi. Meskipun semakin banyak bantuan yang masuk ke Gaza, kepala kemanusiaan PBB menggambarkan situasi ini sebagai situasi yang "tidak dapat ditoleransi."
Israel mendapat tekanan internasional yang makin besar untuk mempertimbangkan gencatan senjata atau jeda di Gaza, karena besarnya penderitaan warga sipil.
Bahkan sekutu terdekatnya, AS, yang secara konsisten membela hak Israel untuk membela diri, telah berulang kali mengatakan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa jumlah korban sipil yang tewas "terlalu tinggi."
Pekan lalu Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengutip data PBB bahwa 90% populasi terus menghadapi kerawanan pangan yang parah, dan menambahkan: "Bagi anak-anak, dampak dari kekurangan makanan dalam jangka waktu lama dapat berdampak seumur hidup."
"Lebih banyak makanan, lebih banyak air, lebih banyak obat-obatan, dan barang-barang penting lainnya perlu masuk ke Gaza." [SB]
