Milisi Houthi, di Yaman memberikan pernyataannya keras usai Amerika Serikat (AS) dan Inggris menggempur kota-kota di Yaman. Sebelumnya kolaisi kedua negara itu menyerang guna membalas serbuan drone dan rudal Houthi ke kapal-kapal, termasuk militer AS, di Laut Merah.
Hal ini disampaikan Juru Bicara Houthi, Mohammed Abdulsalam, dalam akun X nya, Jumat (12/1/2024). Menurutnya Houthi tak akan gentar dan tak akan begitu saja menerima "agresi" yang dilakukan.
"Kami menegaskan bahwa sama sekali tidak ada pembenaran atas agresi terhadap Yaman ini," tegasnya.
"Karena tidak ada ancaman terhadap navigasi internasional di Laut Merah dan Laut Arab," tambahnya.
"Sasaran ... berdampak pada kapal-kapal Israel atau mereka yang menuju ke pelabuhan-pelabuhan Palestina yang diduduki," pungkasnya.
Senada dengan Houthi, sekutu kelompok itu yang berpusat di Lebanon, Hizbullah, juga memberikan kecamannya. Kelompok Syiah itu menuturkan ini membuka bukti bahwa Washington bertanggung jawab atas pembantaian di Gaza.
"Agresi Amerika menegaskan sekali lagi bahwa Amerika adalah mitra penuh dalam tragedi dan pembantaian yang dilakukan musuh Zionis di Gaza dan kawasan," kata kelompok itu.
Beberapa negara sendiri telah menyampaikan pandangannya soal serangan AS dan Inggris ke Yaman. Arab Saudi, patron Timur Tengah yang juga tetangga Yaman, mengaku akan terus memantau situasi dan mengamati bagaimana operasi pimpinan Washington berlangsung.
Rusia juga bereaksi dengan serangan ini. Moskow menyerukan sidang darurat Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membahas ketegangan di Yaman pada Jumat.
"Sebuah sumber diplomatik mengatakan bahwa Rusia telah mengirim pesan kepada anggota DK PBB yang mengatakan bahwa mereka menganggap penggunaan kekuatan di Yaman sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB," muat Al-Jazeera dalam update serangan Israel ke Gaza.
Ketegangan ini juga membawa dampak global yang luas. Mengutip AFP, harga minyak naik lebih dari 2% pada hari Jumat.
Para analis mengatakan minyak acuan AS, WTI, bisa melampaui US$75. Sementara minyak lain, Brent, bisa melampaui US$80.
Lonjakan harga memicu kekhawatiran terhadap lonjakan inflasi baru yang dapat mempersulit bank sentral untuk mengambil kebijakan moneter yang lebih dovish tahun ini. Sehingga menghidupkan kembali kekhawatiran terhadap perekonomian.
"Jika minyak meningkat secara substansial... itu akan membahayakan... skenario soft landing yang sangat mungkin terjadi tahun ini," kata analis Morgan Stanley Investment Management Andrew Slimmon. [SB]