Serangan yang dialami militer Amerika Serikat (AS) dan pangkalannya di Timur Tengah masih terus terjadi. Hal ini terjadi saat hubungan antara Washington dan salah satu negara besar di kawasan itu, Iran, terus meruncing.
Reuters melaporkan pesawat tak berawak atau drone yang diluncurkan di pangkalan udara Erbil, Irak, pada 26 Oktober menembus pertahanan udara AS dan jatuh ke lantai dua barak yang menampung pasukan Negeri Paman Sam. Diketahui, drone itu diluncurkan oleh milisi yang didukung Iran.
"Namun alat yang berisi bahan peledak tersebut gagal meledak dan pada akhirnya hanya satu anggota militer yang mengalami gegar otak akibat dampaknya," kata para pejabat AS, dikutip Jumat (10/11/2023).
Insiden tersebut merupakan salah satu dari sedikitnya 40 serangan drone dan roket terpisah yang dilancarkan terhadap pasukan AS oleh milisi dukungan Iran di Irak dan Suriah selama tiga minggu terakhir. Ini merupakan tanggapan atas dukungan Washington kepada Israel, yang terus menyerang Gaza.
David Schenker, mantan asisten menteri luar negeri AS di lembaga pemikir Washington Institute for Near East Policy, memperingatkan bahwa meskipun Iran dan kelompok sekutunya maupun AS tampaknya tidak menginginkan konfrontasi langsung, resiko perang keduanya semakin besar.
"Saya pikir mereka mengkalibrasi serangan-serangan itu untuk melecehkan dan bukannya membunuh tentara AS secara massal," katanya mengenai milisi Irak dan Suriah. "Tetapi masih banyak lagi yang bisa mereka lakukan."
Presiden AS Joe Biden sendiri telah membatasi peran AS dalam konflik tersebut hanya untuk memastikan bantuan militer ke Israel. Meski begitu, ia secara tegas menyatakan dukungan terhadap Tel Aviv seraya mengeklaim dirinya Zionis, mengacu pada paham Yahudi yang menghendaki adanya Israel di wilayah Palestina saat ini.
Dukungan ini sendiri terjadi setelah milisi Gaza Palestina, Hamas, menyerbu Israel selatan pada 7 Oktober, menewaskan 1.400 orang, sebagian besar warga sipil, dan menyandera lebih dari 240 orang. Sejak itu, Israel tanpa henti membombardir wilayah pesisir tersebut, menewaskan lebih dari 10.500 orang, banyak di antaranya adalah anak-anak.
Pada Minggu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken terbang ke Irak untuk mendorong Perdana Menteri Irak Mohammed Shia Al Sudani agar menindak milisi yang beroperasi di sana dan mencegah eskalasi apa pun.
"Namun Sudani kurang beruntung dalam membujuk kelompok-kelompok milisi agar tidak menghentikan serangan mereka, atau meyakinkan bankroll mereka di Iran untuk mengendalikan mereka," menurut lima anggota parlemen senior di koalisi pemerintahan Sudani.
"PM dan sekitar 10 anggota senior pemerintahannya bertemu dengan komandan sekitar beberapa kelompok milisi di Baghdad pada tanggal 23 Oktober untuk menekan kelompok tersebut agar menghentikan serangan mereka terhadap pasukan AS," kata tujuh orang lainnya yang ikut dalam pertemuan itu.
Namun permohonan tersebut sebagian besar tidak didengarkan, karena sebagian besar komandan bersumpah untuk terus melakukan serangan sampai pasukan Israel mengakhiri pengepungan dan pemboman mereka di Jalur Gaza.
"Tidak seorang pun, baik PM atau siapapun, dapat menentang kewajiban agama kami," kata Ali Turki, seorang anggota parlemen Syiah di koalisi pemerintahan Irak. [SB]