Jepang dan China terus mengurangi porsi kepemilikan pada utang Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya. Kedua negara tersebut merupakan pemegang terbesar obligasi pemerintah AS
Adapun total utang nasional AS per September 2023 mencapai US$ 33,17 triliun atau sekitar Rp 514.467 triliun (asumsi kurs Rp 15.510/US$). Angka ini meningkat 7,24% dari posisi sebelumnya pada September 2022 yang mencapai US$ 30,93 triliun.
Sedangkan utang luar negeri (ULN) AS per Juni 2023 mencapai US$ 25 triliun atau sekitar Rp 376.486 triliun (1 US$ = Rp 15.000). Sebagai perbandingan, angka tersebut jauh di atas Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 396,6 miliar atau Rp 5.944 triliun per Juni 2023.
Bicara tentang utang pemerintah AS, khususnya obligasi atau surat utang alias US Treasury, negara kreditor yang paling besar saat ini masih dipegang oleh Jepang dan China, berdasarkan data dari Departemen Keuangan AS (Department of Treasury).
5 Negara Pemegang Obligasi Pemerintah AS Terbesar (US$ Miliar)
Jepang menjadi pemegang Treasury AS terbesar sejak pertengahan 2019 lalu mengalahkan China. Pasca perang dagang antara AS dan China berkobar, pemerintah China cenderung melepas kepemilikan Treasury, sementara Jepang terus bertambah.
Namun dalam kurun waktu satu tahun terakhir, kepemilikan surat utang AS oleh Jepang dan China cenderung menurun. Per September 2023, Jepang memiliki sebesar US$ 1,09 triliun. Angka ini tentunya lebih rendah dari periode yang sama pada 2022 sebesar US$ 1,12 triliun.
Tak hanya Jepang, China juga sudah mengurangi porsinya di utang AS, di mana per September lalu mencapai US$ 778 miliar, juga lebih rendah dari posisi September 2022 yang sebesar US$ 901,7 miliar.
Adapun China terus mengurangi kepemilikannya di US Treasury untuk mengendalikan paparan terhadap risiko utang AS. Sebagai gantinya, pemerintah China harus menyeimbangkan perdagangan dengan meningkatkan impor.
"Tingkat utang Amerika mungkin terus meningkat dibandingkan dengan besarnya perekonomian Amerika," kata Yu Yongding, ekonom China sekaligus mantan penasehat bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) dalam pidatonya di selatan kota Sanya pada Minggu (17/12/2023).
"Amerika telah mengumpulkan US$ 18 triliun utang luar negeri bersih, yang setara dengan sekitar 70% produk domestik bruto (PDB)," katanya, seraya menambahkan bahwa angka ini bisa meningkat hingga 100%.
Yu juga mengatakan bahwa tingkat utang AS mungkin terus meningkat dibandingkan dengan ukuran perekonomiannya dan kenaikan suku bunga AS yang terus berlanjut juga dapat mempercepat penurunan utang bersih luar negerinya.
"China harus mengurangi proporsi cadangan devisa pada aset-asetnya di luar negeri. Namun hal ini tidak berarti bahwa China harus membuang utang US Treasury, sebaliknya, hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi kepemilikan secara teratur," ujarnya.
Hal ini bisa menjadi tanda bahwa Jepang dan China tengah melakukan diversifikasi cadangan devisa mereka dari dolar AS atau sinyal menurunnya kepercayaan mereka terhadap perekonomian AS.
Tak hanya itu saja, hal ini juga dapat mengindikasikan perubahan ekonomi domestik di Jepang dan China, yang menyebabkan mereka menjual cadangan devisanya.
Adapun alasan lain pemerintah China terus mengurangi porsinya di US Treasury yakni ingin menyelamatkan mata uangnya agar tidak terlalu melemah, yang berarti melakukan intervensi di pasar mata uang. Hal ini dapat dilakukan dengan menjual Treasurys, atau setidaknya tidak membeli lebih banyak.
Sedangkan di Jepang, mata uang juga berperan dalam mengurangi selera terhadap surat utang AS. Yen berada pada titik terendah dalam satu dekade terakhir dan beberapa investor berpikir yen mungkin akan naik seiring kenaikan suku bunga di Jepang. Jika mata uang menguat, hal ini akan menggerogoti nilai investasi di US Treasury.
Baik Jepang maupun China, keduanya memiliki alasan rumit mengenai kemungkinan membeli lebih sedikit surat utang AS. Tetapi, pengurangan ekspektasi permintaan ini membantu menaikkan biaya pinjaman bagi pemerintah AS. [
SB]