Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Turki menjadi Türkiye dan India disebut Bharat - Mengapa negara-negara mengubah namanya?

Desember 18, 2023 Last Updated 2023-12-17T22:44:51Z


Turki kini resmi mengganti namanya menjadi Türkiye. India juga disebut-sebut akan segera menggunakan nama Bharat. Apa gunanya perubahan nama itu dan mengapa hal itu penting?


“Yang kita sebut mawar... Dengan nama lain pun aromanya pasti harum,” kata penyair terkenal William Shakespeare.


Penyair yang dibesarkan di Stratford, Inggris, itu salah. Nama itu penting.


Karena itu, jika banyak orang tidak menyukai suatu nama, nama tersebut bisa diubah.


Berbagai pemerintah di seluruh dunia baru-baru ini telah mengganti ratusan nama kota, jalan, gunung, taman nasional, dan masih banyak lagi.


Sejumlah tempat berganti nama karena berbagai alasan: untuk menghapus pemimpin yang dipermalukan atau menghormati pemimpin baru; untuk menandakan awal yang baru atau memperbaiki kesalahan di masa lalu.


Namun, perubahan-perubahan ini selalu meresahkan dan seringkali kontroversial.


Dalam beberapa kasus, negara berganti nama. Tahun lalu, Turki resmi menjadi Türkiye.


Perubahan nama ini dipicu karena, antara lain, Presiden Recep Tayyip Erdogan diduga tidak menyukai negaranya dikaitkan dengan burung kalkun (turkey).


Pada 2018, negara Swaziland di Afrika merayakan 50 tahun kemerdekaannya dari Inggris dengan mengubah namanya menjadi Eswatini, atau "tanah rakyat Swazi" dalam bahasa Swazi.


Bicara soal perubahan nama, negara dengan populasi terpadat di dunia, India, adalah yang paling menonjol.


Dalam beberapa dekade terakhir, nama-nama kolonial dan Islam telah diganti dengan nama Hindu.


Beberapa di antaranya: Madras menjadi Chennai; Kalkuta menjadi Kolkata; Bangalore menjadi Bangaluru dan Allahabad menjadi Prayagraj.


Perdana Menteri India, Narendra Modi, baru-baru ini mengisyaratkan negaranya mungkin akan segera menggunakan nama baru, yaitu Bharat, nama Sansekerta dan Hindi untuk India.


Pada pertemuan G20 baru-baru ini di New Delhi, Modi duduk di belakang papan nama bertuliskan "Bharat" dan mengundang para pejabat tinggi yang berkunjung ke jamuan makan yang diselenggarakan oleh "Presiden Bharat."


Upaya Modi memperkenalkan nama Bharat belum sepenuhnya berhasil.


Jangan heran. Mengubah nama resmi suatu negara tidaklah mudah dan murah.


Suatu negara harus mengirimkan pemberitahuan resmi kepada PBB dan menyarankan cara menulis nama baru dalam enam bahasa resmi badan internasional tersebut.


Setelah disetujui, pejabat PBB mendaftarkan nama baru tersebut di database Nama Geografis Dunia. Lambang negara, seragam militer, mata uang resmi, kop surat pemerintah – dan banyak lagi – juga harus diubah.


Laju perubahan nama mungkin semakin cepat, tetapi ini bukanlah fenomena baru. Banyak tempat telah dan akan terus berganti nama selama masih ada tempat dan nama.


Sebelum abad ke-5, Paris dikenal sebagai Lutetia, peninggalan zaman Romawi. Sebelum 1665, New York adalah New Amsterdam.


Dari tahun 1793 hingga 1834, Toronto dikenal sebagai York. Sebelum tahun 1868, Tokyo disebut Edo.


Dan, perubahan nama yang paling terkenal dalam sejarah, pada 1930, Konstantinopel menjadi Istanbul, menginspirasi kebanggaan Türkiye serta lagu berjudul Istanbul (Not Constantinople).


Namun, mengapa nama tempat penting? Bagi negara-negara baru yang ingin menjauhkan diri dari masa lalu kolonial yang menyakitkan, perubahan nama biasanya merupakan hal pertama yang harus dilakukan.


Ketika wilayah jajahan Inggris yang dikenal dengan Gold Coast memperoleh kemerdekaan pada 1957, wilayah tersebut segera berganti nama menjadi Ghana.


Ketika dekolonisasi semakin cepat, antara tahun 1970-an dan 80-an terjadi banyak perubahan nama, dari Ceylon yang berubah nama menjadi Sri Lanka (1972) hingga Upper Volta menjadi Burkina Faso (1984).


Meskipun beberapa perubahan nama terjadi secara dramatis, ada pula yang tampak tidak kentara. Pada 2018, Makedonia berganti nama menjadi Makedonia Utara.


Ini mungkin tampak seperti perubahan kecil dan hampir tidak signifikan, tetapi sebenarnya tidak.


Modifikasi tersebut mengakhiri perselisihan selama puluhan tahun dengan Yunani, yang memiliki wilayah dengan nama yang sama, dan membuka jalan bagi Makedonia Utara untuk bergabung dengan NATO.


Namun, hanya sedikit orang Makedonia yang menggunakan nama baru tersebut, dan hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis: jika suatu negara mengubah namanya tetapi tidak ada yang mengucapkannya, apakah negara tersebut benar-benar diubah?


Banyak orang Vietnam yang masih menyebut Kota Ho Chi Minh sebagai Saigon, dan banyak orang India yang masih menyebut Mumbai dengan Bombay. Penulis Leeya Mehta adalah salah satunya.


“Bagi saya dan generasi saya, kami sangat menentang perubahan nama,” katanya. “Itu tidak masuk akal.”


Ketika dia mengaku berasal dari Bombay, mau tidak mau, orang asing yang bermaksud baik menjawab, "Bukankah yang Anda maksud adalah Mumbai?" Namun, orang India tidak pernah "mengoreksi" dia, katanya.


Kota itu sendiri tampaknya mengalami konflik mengenai identitasnya: hingga hari ini Mumbai adalah rumah bagi Bursa Efek Bombay dan Pengadilan Tinggi Bombay.


Ada juga kasus Czechia. Itu adalah nama baru untuk Republik Ceko, yang diadopsi pada 2016. Nama ini lebih tepat dan menggugah, menurut beberapa pejabat Ceko.


“Tidak baik jika suatu negara tidak memiliki simbol yang jelas atau bahkan tidak menyebutkan dengan jelas apa namanya,” kata menteri luar negeri saat itu, Lubomír Zaorálek, kepada kantor berita Ceko.


Namun, sebagian warga Ceko khawatir nama baru itu terlalu mirip dengan wilayah Chechnya di Rusia.


“Saya tidak tahu siapa yang mempunyai ide bodoh seperti itu,” kata mantan perdana menteri Andrej Babiš kepada Wall Street Journal pada 2020.


Tidak mengherankan jika kita menganggap perubahan ini sangat meresahkan. Nama tempat memberikan apa yang orang Jerman sebut Heimatsgefühl, yaitu rasa memiliki dan keterikatan terhadap tanah asal seseorang, dan segala ancaman terhadap keterikatan tersebut membuat kita takut.


“Mengubah nama tempat bersejarah dengan sengaja adalah tindakan dramatis yang kemungkinan besar akan menimbulkan kontroversi dan perselisihan,” tulis antropolog Thomas Eriksen dalam JournalOsla.


Nama-nama tempat, baik atau buruk, terikat pada sejarah. Selama hampir empat abad, negara bagian Rhode Island di AS secara resmi dikenal sebagai "Negara Bagian Rhode Island dan Perkebunan Providence".


Pada 2020, penduduk memilih untuk mengubah nama menjadi Rhode Island saja. Nama lama tersebut, kata Senator negara bagian Harold Metts, "memiliki konotasi yang mengerikan jika mengingat sejarah tragis dan rasis bangsa kita."


Departemen Dalam Negeri AS baru-baru ini membentuk Satuan Tugas Penghinaan Nama Geografis. Mereka mengganti nama ratusan danau, sungai, dan puncak gunung yang mengandung kata-kata seperti "squaw", sebuah istilah yang menghina perempuan penduduk asli Amerika.


Di Selandia Baru, terdapat seruan untuk secara resmi mengubah nama negara menjadi Aotearoa, atau "awan putih panjang" dalam bahasa Māori.


Beberapa tempat tidak mengubah namanya secara drastis. Formasi batu pasir yang menakjubkan di Australia tengah sebelumnya dikenal sebagai Ayers Rock, tetapi kini secara resmi diberi nama Uluru/Ayers Rock untuk mencerminkan pentingnya spiritual bagi masyarakat Aborigin.


Terkadang suatu tempat mengubah namanya karena alasan yang lebih transaksional. Pada 1999, di puncak gelembung teknologi informasi, kota Halfway, Oregon, secara resmi berganti nama menjadi Half.com, diambil dari nama sebuah startup e-commerce. (Percobaan hanya berlangsung satu tahun.)


Pada 2011, Kota Speed di Australia secara singkat mengubah namanya menjadi SpeedKills untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan jalan raya.


Nama-nama lama punya cara untuk menjadi bumerang. Setelah kebakaran menghancurkan sebagian besar Oslo pada 1624, Raja Christian IV mendesak agar kota yang baru dibangun kembali diberi nama Christiana (kemudian Kristiana) untuk menghormatinya.


Tak seorang pun, kecuali raja, yang menyukai nama baru tersebut, dan pada 1925, Oslo menjadi Oslo lagi.


Pada 1914, ketika awal Perang Dunia Pertama, kota St Petersburg di Rusia menjadi Petrograd. Kemudian, pada 1924, sempat berganti nama menjadi Leningrad untuk menghormati Vladimir Lenin, sebelum kembali ke nama aslinya pada 1991.


Namun, dalam hal ketangkasan nominatif, Kazakhstan mengalahkan semuanya. Ibu kota negara Asia Tengah ini telah berganti nama sebanyak lima kali dalam enam dekade terakhir.


Pada 1961, Akmolinsk, sebuah pos militer Rusia, menjadi Tselinograd, yang kemudian menjadi Akmola dan kemudian, pada 1998, Astana (secara harfiah: "Ibu Kota").


Satu dekade kemudian kota ini berganti nama menjadi Nur-Sultan, untuk menghormati mantan presiden, Nursultan Nazarbayev – tetapi pada 2019 kota ini dikembalikan ke Astana.


Pemeriksa ejaan saya hampir tidak bisa mengimbangi kecepatan perubahan nama yang memusingkan.


Saat menulis artikel ini, saya menyadari beberapa "referensi geopolitik sensitif", yang menyiratkan bahwa saya melakukan kecerobohan dan menggarisbawahi fakta bahwa kita hidup di masa yang secara geografis tidak menentu.


Peta dunia harus ditulis dengan pensil (sehingga bisa dihapus dan diubah), bukan pena. [SB]

×