Amerika Serikat (AS) dan Inggris merupakan dua negara besar yang memiliki dukungan kuat terhadap Israel. Hal ini pun terus terjadi meski dunia mengecam Negeri Yahudi itu atas aksi militernya di Gaza, Palestina, yang menewaskan belasan ribu korban jiwa dari warga sipil.
Baru-baru ini, Negeri Paman Sam menggunakan vetonya untuk menolak usulan resolusi gencatan senjata di Gaza di forum Dewan Keamanan PBB. Sementara itu, dalam momen ini, London memutuskan untuk abstain.
Hal ini pun membuat kekuatan Barat terkena kecaman dan penolakan dari pihak internasional. China dan Rusia, misalnya, mengecam standar ganda Amerika dan "hukuman mati" yang dijatuhkan Washington terhadap warga Palestina yang menjadi korban serangan Israel di masa depan.
Lalu apa sebenarnya yang mendasari manuver London dan Washington ini?
Dalam paparan akademisi dari Koc University, Tarik Cyril Amar, yang berjudul Why can't the US ever say no to Israel? di kolom Russia Today, Tarik memaparkan posisi AS dalam membela Israel adalah sebuah kebanggaan bagi Washington. Ini tidak terlepas dari perang dunia kedua.
"Kebanggaan AS telah ditanamkan karena menjadi salah satu kekuatan yang menjatuhkan Jerman, negara pelaku Holocaust," ujarnya dikutip Senin (18/12/2023).
Alasan lainnya adalah bagaimana Israel berfungsi sebagai penegak hukum dan pos terdepan hegemoni AS di Timur Tengah dan terkadang di luarnya. Ini bahkan membuat beberapa pemimpin Negeri Paman Sam telah memperkuat komitmennya untuk membela Israel.
"Seperti yang dinyatakan oleh Presiden AS saat ini, Joe Biden pada tahun 1986, ketika ia masih menjadi senator yang ambisius dan pantang menyerah, jika tidak ada Israel, Amerika harus menciptakannya," jelasnya.
Lebih lanjut, Tarik menyebut pengaruh Israel dalam peta politik AS sangatlah besar. Ini dibuktikan dengan bagaimana AS akhirnya menjatuhkan veto untuk gencatan senjata gaza di forum Dewan Keamanan PBB.
"Memang benar bahwa Israellah yang melancarkan serangan paling invasif dan efektif terhadap politik AS dalam sejarah," tambahnya.
Sementara itu, untuk Inggris, motifnya dapat ditarik kembali kepada dasar sejarah pendirian negara Israel oleh para kelompok Zionisme. Mengutip laporan declassified UK, melalui Deklarasi Balfour tahun 1917, Inggris mensponsori proyek penjajahan Zionis.
Memerintah Palestina dari tahun 1920an hingga 1940an, Inggris mengambil serangkaian langkah nyata untuk mewujudkan tujuan proyek negara Israel tersebut. Dengan melakukan hal itu, Inggris membuka jalan bagi Nakba, yaitu pengusiran massal warga Palestina.
Pada tahun 1956, Inggris dan Perancis memanfaatkan Israel untuk melakukan pekerjaan intelijen mereka. Pada pertemuan rahasia di Sevres, pinggiran kota Paris, pada bulan Oktober tahun itu, sebuah rencana dibuat untuk menyerang Mesir atas nasionalisasi Perusahaan Terusan Suez (sebuah perusahaan Anglo-Prancis dan pemain kunci dalam pelayaran internasional).
"Rencana yang diajukan di sana disajikan sebagai inisiatif Inggris. Selwyn Lloyd, yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri Inggris, menganjurkan agar Israel melakukan tindakan perang yang nyata," tulis memoir mantan kepala militer Israel, Moshe Dayan.
Jejak Israel dan Inggris kemudian muncul pada sebuah dokumen penting yang diterbitkan pada bulan Mei 1968. Ditulis oleh Michael Stewart, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, dokumen tersebut menyatakan bahwa "kelangsungan hidup Israel sebagai negara terpisah adalah aspek mendasar dari kebijakan Inggris di Timur Tengah".
Meskipun demikian, dokumen tersebut menunjukkan bahwa Inggris juga ingin membina hubungan yang kuat dengan negara-negara Arab. Oleh karena itu, mereka merekomendasikan Inggris untuk menjaga "keseimbangan kekuatan militer" antara Israel dan negara-negara tetangganya. [SB]