Masyarakat kalangan menengah ke bawah tengah menghadapi situasi sulit yakni kenaikan biaya hidup yang tidak diimbangi dengan meningkatnya pendapatan. Alhasil, masyarakat di golongan ini sampai harus merogoh dan mengambil tabungan yang tersisa untuk hidup dan berusaha. Kondisi ini juga dialami pengusaha warteg.
"Tabungan simpanan di bank kegerus, itu yang punya, kalau nggak dia gali lubang tutup lubang, emang ada yang punya, tapi ada yang sudah habis karena mereka harus sewa tempat, modali usaha dan sebagainya," kata pengusaha Warteg di Bekasi, Mukroni, kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/12/2023).
Biaya sewa tempat menjadi komponen termahal dalam pengeluaran untuk usaha, nilainya mencapai puluhan juta hingga tembus tiga digit yakni Rp 100 juta setahun. Pengusaha warteg jor-joran untuk biaya ini karena menganggap lokasi merupakan aspek utama dalam menentukan usahanya.
"Di Jakarta minimal Rp 50 juga bahkan ada yang Rp 100 juta setahun, karena persaingan orang usaha warteg itu pertama tempat, kedua tempat dan ketiga lokasi, ini saking pentingnya lokasi. Kalau di Bekasi masih ada yang Rp 25 juta - Rp35 juta setahun," sebutnya.
Selain soal tempat, komponen lain yang perlu dipikirkan adalah perlengkapan tempat seperti kursi, meja hingga alat masak, jika ditotal nilainya pun mencapai jutaan hingga belasan juta rupiah.
Ketika pelaku usaha sudah jor-joran mengeluarkan modal, namun tidak mudah untuk bersaing di usaha warteg saat ini. Selain karena persaingan, harga bahan baku pun tengah tinggi.
"Warteg yang milik pribadi di pandemi ini tergerus, akhirnya gali lubang - tutup lubang, karena mereka sudah berkutat di Warteg mereka mau beralih kemana, mau kerja buruh agak susah banyak yang kena PHK. Mau lompat kesana kemari susah, akhirnya fokus ekonomi kuliner dengan mengurangi keuntungan. Kalau dia naikkan harga bisa ngga laku, masyarakat bisa pilih kemana-mana kan ada online," ungkapnya.
Fenomena masyarakat Indonesia menggunakan tabungannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari masih berlanjut hingga akhir 2023. Survei Konsumen Bank Indonesia terbaru menunjukkan fenomena yang dikenal dengan istilah 'makan tabungan' ini masih terjadi hingga bulan November 2023.
Survei tersebut menunjukkan proporsi pendapatan konsumen yang disimpan atau saving to income ratio masyarakat Indonesia merosot dari 15,7% pada Oktober menjadi 15,4% pada November. Sebaliknya, proporsi pendapatan konsumen untuk membayar cicilan atau utang alias debt to income ratio naik.
Tercatat pada bulan Oktober, jumlah gaji orang Indonesia yang dipakai untuk membayar cicilan hanya 8,8%. Alih-alih turun, angka itu justru meningkat menjadi 9,3% pada November 2023.
"Pada November 2023, rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi, pembayaran cicilan dan yang disimpan relatif stabil," tulis BI dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin (18/12/2023).
Survei juga menunjukkan bahwa golongan orang miskin menjadi yang paling terdampak sehingga harus menggunakan tabungannya buat bertahan hidup. Dalam survei BI tercatat, kemampuan menabung kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 1-2 juta per bulan turun dari 16,1% menjadi 15,8%. [SB]