Warga mengarungi banjir setelah hujan deras di Zhuozhou, provinsi Hebei, China 1 Agustus 2023. |
Kisah kota impian yang dibangun di China tak seindah yang direncanakan. Risiko banjir kini bukan isapan jempol belaka.
Presiden China Xi Jinping telah merencanakan pembangunan kota impiannya, yakni Kawasan Baru Xiong'an (Xiong'an New Area) di Provinsi Hebei. Kawasan ini terletak sekitar 100 kilometer barat daya Beijing dan 50 kilometer timur pusat kota Baoding.
Namun, pembangunan pusat pengembangan segitiga ekonomi Beijing-Tianjin-Hebei ini menimbulkan banyak pertanyaan, salah satunya terkait tantangan lingkungan.
Sebagai informasi, Kawasan Baru Xiong'an sendiri dibangun di daerah dataran rendah berawa yang rawan mengalami banjir dan kekeringan.
Enam tahun kemudian, Beijing dan sekitar provinsi Hebei, di mana Xiong'an berada, mengalami hujan lebat dan banjir yang menewaskan puluhan orang, serta membuat lebih dari 1,5 juta orang mengungsi pada akhir Juli dan awal Agustus 2023.
Kondisi ini membuat khawatiran banyak pihak, terutama tentang keputusan Xi untuk membangun kota bernilai miliaran dolar di dataran rawan banjir.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kota impian Xi, dan tekanan politik untuk melindunginya, berdampak keputusan para pejabat tentang pengelolaan air banjir dari badai, yang menjadi peristiwa banjir paling parah di kawasan itu sejak pembangunan Xiong'an.
Buang Air Ke Wilayah Lain
Saat hujan lebat bergerak ke wilayah tersebut pada akhir Juli, pejabat pengendalian banjir China bertemu untuk membahas rencana tanggapan mereka. Pada 30 Juli, keputusan pertama dibuat untuk membuang air ke zona penyimpanan banjir, yakni area yang ditunjuk untuk luapan darurat air banjir, yang menampung ratusan ribu orang.
Zhuozhou, sebuah kota di selatan Beijing, terkena dampak terparah, dengan jalan-jalan, rumah dan lingkungan terendam air keruh bermeter-meter.
Di media sosial, beberapa warga mengaku tidak mendapat peringatan terlebih dahulu, yang lain mengatakan pemberitahuan evakuasi datang terlambat atau tidak menjelaskan seberapa serius situasinya.
Air banjir juga merendam desa dan lahan pertanian di Bazhou, kota lain di Hebei, di mana puluhan warga melakukan protes di luar kantor pemerintah kota untuk menuntut kompensasi.
Beberapa warga membentangkan spanduk merah bertuliskan: "Kembalikan rumahku. Banjir itu disebabkan oleh debit air banjir, bukan oleh curah hujan yang tinggi."
Di bawah hukum China, penduduk daerah penampungan banjir berhak mendapatkan kompensasi atas 70% kerusakan rumah.
Akibat hal ini, diketahui China hanya mengandalkan sistem pengendalian banjir yang tidak sempurna yang terkadang terbukti mahal. Salah satunya dengan melibatkan pembuangan air banjir yang tertahan ke lahan kering setelah badai besar.
Sementara daran dari pejabat bahwa keputusan tentang pelepasan air banjir ke Zhuozhou dan tempat lain di Hebei dibuat untuk meminimalkan dampak terhadap ibu kota Beijing, Xiong'an, dan kota pelabuhan Tianjin juga menimbulkan reaksi balik.
Secara khusus, ketua partai Hebei Ni Yuefeng membuat marah beberapa orang ketika dia menyebut provinsi itu sebagai parit untuk Beijing. Namun sensor pemerintah kemudian menghapus komentarnya dari internet China.
Pembangunan Berdasarkan Filosofi, Dihantui Risiko Banjir
Xiong'an secara luas dipandang sebagai jawaban Xi terhadap pusat teknologi pesisir Shenzhen yang ramai, terkait dengan mantan pemimpin Deng Xiaoping, dan pusat keuangan yang berkilauan di Area Baru Pudong Shanghai yang dipelopori oleh pendahulu lainnya, Jiang Zemin.
Namun, ketinggiannya yang relatif rendah dan lahan basah yang luas telah menimbulkan kekhawatiran tentang risiko banjir pada tahun 2017, ketika pemerintah pusat mengumumkan rencana kota tersebut.
Pada saat itu, para ahli yang mengevaluasi lingkungan daerah tersebut menemukan bahwa jika populasinya mencapai 5 juta hingga setengah dari bagian yang dikembangkan di Wilayah Baru Xiong'an akan berisiko jika terjadi banjir dengan tingkat 100 tahun.
"Area Baru memiliki keunggulan lokasi yang jelas, sumber daya tanah yang kaya, sementara ada beberapa masalah yang melibatkan kekurangan sumber daya air, pencemaran air permukaan yang serius, tingkat risiko bencana banjir yang tinggi," tulis mereka dalam penilaian yang diterbitkan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan China.
Tetapi insinyur dan politisi terkemuka Xu Kuangdi, mantan Wali Kota Shanghai yang mengepalai kelompok ahli dalam pengembangan Hebei, Tianjin, dan Beijing, meremehkan kekhawatiran banjir.
Xu menunjukkan alasan lain mengapa lokasi itu dipilih, termasuk filosofi tradisional Tiongkok dan signifikansi nasional lahan basah sebagai tempat pertempuran gaya gerilya melawan pasukan Jepang yang menyerang selama Perang Dunia 2, menurut catatan komentarnya pada saat itu.
Meskipun demikian, kota baru ini dilengkapi dengan pertahanan yang jauh lebih unggul dari tetangganya. Itu termasuk infrastruktur untuk menahan banjir dengan intensitas yang mungkin hanya terlihat sekali setiap 200 tahun, serta fitur "kota spons" seperti permukaan perkotaan yang permeabel yang dapat menyerap air, menurut laporan dan rencana yang tersedia secara online.
Pembangunan kota, yang bertujuan untuk menjadi lebih hijau dari Beijing dan mendukung pemulihan lahan basah Baiyangdian, menggemakan proyek ambisius China lainnya - seperti Bendungan Tiga Ngarai - yang telah menggunakan rekayasa skala besar untuk mengatasi tantangan alam. [SB]